oleh: Lisman Sumardjani (Ketua Yayasan Rotan Indonesia)
Pada tanggal 30 November 2011 pemerintah melalui Menteri Perdagangan RI, Gita Wiryawan, menandatangani Pelarangan Ekspor Mentah Dan Setengah Jadi Berdasar SK Mendag No 35/M-DAG/PER/11/2011. Surat itu ditanda tangani hanya satu bulan, setelah dia dilantik pada tanggal 19 Oktober 2011, menggantikan Mari Elka Pangestu yang telah menjadi Mendag selama 7 tahun sejak tanggal 21 Oktober 2004 di bawah Kabinet Indonesia Bersatu Presiden SBY. Sepertinya Gita Wiryawan memang ditugaskan untuk menandatangi pelarangan ekspor rotan, makanya dia cepat-cepat mendatangani SK Mendag tersebut tanpa pemahaman yang komprehensif tentang perdagangan rotan. Dia hanya mendengar demo dan tuntutan pengrajin rotan Cirebon yang ingin harga bahan baku rotan semurah-murahnya.
Mari Pangestu, sebagai seorang PhD dalam bidang Perdagangan Internasional, Keuangan, dan Ekonomi Moneter, dia dikenal sebagai seorang peneliti ekonomi terpandang di Indonesia dan aktif dalam forum Pacific Economic Cooperation Council (PECC), tidak mau menanda tangani pelarangan ekspor rotan. Di tahun 2005, Mari membolehkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi, tapi di tahun 2009 dia memperketat ekspor rotan asalan dan setengah jadi. Yang dia mau adalah ekspor rotan hanya boleh dilakukan setelah kebutuhan rotan dalam negeri dipenuhi.
Keengganan Mari Pangestu untuk menutup ekspor rotan sejalan dengan kajian akademik Yayasan Rotan Indonesia, sebagai hasil Seminar Nasional Rotan Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 27 Juli 2010 di Jakarta, dalam bentuk Roadmap Mencapai Kelestarian Rotan untuk Pemanfaatan dan Kesejahteraan Bangsa. Disitu disebutkan bahwa kondisi pengusahaan rotan di Indonesia belum mencapai kondisi Pareto Optimal. Sehingga pemerintah tidak perlu mengambil sikap kebijakan yang menyenangkan satu pihak tetapi menyusahkan pihak lain, dengan menutup ekspor rotan. Masih ada cara dan potensi ekonomi lain, sehingga pemerintah bisa mengambil kebijakan yang menguntungkan industri hilir rotan tapi saat yang sama tidak merugikan industri hulu rotan.
Padahal bukti empiris menunjukkan, pelarangan ekspor rotan dalam periode tahun 1990–1997 pertumbuhan nilai ekspor rotannya hanya tumbuh 1%. Pelarangan ekspor di tahun 2004 hanya meningkatkan ekspor 3%, sedangkan kebijakan tahun 2009 yang memperketat ekspor rotan asalan dan setengah jadi justru membuat pertumbuhan ekspor menurun atau minus 26% (lihat grafis).
Ternyata kebijakan pelarangan ekspor rotan di tahun 2011 pun ternyata berdampak sama, justru membuat nilai ekspor produk rotan menurun. Walaupun Menteri Perdagangan mengklaim nilai ekspor furnitur rotan di tahun 2012 naik 25%, pada kenyataannya itu hanya bualan belaka.
Berdasarkan analisis data BPS untuk selang periode 2011–2018, terlihat bahwa pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, yang niatnya agar industri furnitur rotan Indonesia tumbuh, ternyata justru yang terjadi adalah sebaliknya. Saat pelarangan efektif berlaku, di tahun 2012, ekspor furnitur rotan anjlok 45%. Penurunan ini berlangsung terus setiap tahun dimana rata-rata penurunan dalam periode 2012-2018 adalah minus 16%. Nilai ekspor mebel rotan yang di tahun 2011 sebesar 74 juta dolar AS, di tahun 2018 hanya tinggal 19 juta dolar. Anjlok sebesar 54 juta dolar, hanya tertinggal 26,8%-nya saja. Akibat turunnya Permendag No 35/2011 ini, Indonesia kehilangan devisa dari turunnya ekspor mebel rotan sebesar 54 juta dolar.
Sesungguhnya niatan pemerintah menerbitkan Permendag No 35/2022 tertulis sebagai: (i) Dalam rangka pemanfaatan rotan secara berkesinambungan,(ii) Menjaga ketersediaan bahan baku bagi industri produk rotan, serta (iii) Mendukung peningkatan ekspor produk industri rotan.
Namun yang disebut-sebut ke publik sebagai alasan utama diterbitkan aturan ini adalah untuk mendapatkan added value dari rotan. Buat apa mengekspor bahan baku? Bukankah lebih bagus menjual barang jadi sehingga bisa diperoleh nilai tambah buat masyarakat Indonesia? Demikian selalu diungkapkan oleh pendukung kebijakan pelarangan ekspor bahan baku rotan. Padahal apa yang dimaksud added-value di mebel rotan? Masuk rotan keluar rotan.
Alasan lain pelarangan ekspor bahan baku ini adalah karena sebagian industri produk jadi rotan (di Cirebon dan Surabaya), ingin mendapatkan bahan baku yang baik dengan harga yang lebih murah. Karena selama ini bahan baku tersebut diekspor ke luar negeri dengan harga tiga sampai 4 kali harga domestik — sehingga pabrik pesaing di luar negeri bisa mendapakan bahan baku terbaik yang berasal dari Indonesia.
Isu lain yang diangkat sebagai landasan terbitnya Permendag ini adalah menyangkut masalah kelestarian rotan dari ancaman over-eksploitasi. Namun tidak ada bukti empiris bahwa hal ini terjadi di Indonesia. Di Indonesia pemungutan rotan dilakukan secara lestari, karena rotan hanya diambil sebagian dari rumpun rotan yang ada. Jumlah rotan yang diekspor tidak pernah melebihi dari 40% jatah pemanfaatan yang diberikan.
Akibat adanya Permendag No 35/2011 ini, 3 tujuan yang diingin dicapai pemerintah, tidak tercapai semuanya. Hal ini dirasakan oleh petani rotan di Kalimantan dimana harga rotan tetap rendah hanya Rp1.000–2.000 per kg di kebun. Hasil rotan tidak bisa dijadikan tumpuan kehidupan, akibatnya kebun rotan dikonversi jadi kebun sawit atau tambang batubara. Petani pemungut rotan tidak lagi bisa merawat dan menjaga hutan rotan, menyebabkan hutan rusak dirambah atau dikonversi. Industri pengolahan rotan setengah jadi yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB semuanya tutup.
Bahkan produsen dan pengrajin mebel rotan di Cirebon dan Surabayapun mengeluh tidak ada bahan baku, sehingga tidak bisa berproduksi dan melakukan ekspor. Hal ini sudah diduga sejak Seminar Rotan Nasional di Jakarta, tahun 2010, bahwa harga yang terlalu murah akan menyebabkan petani rotan di hulu tidak bisa bekerja, dan sebagai akibatnya tidak ada bahan baku. Industri di hilirpun akhirnya kena.
Akibat Permendag 35/2011 terhadap perekonomian Indonesia bisa dilihat dari besaran ekspor – alih-alih meningkatnya ekspor produk rotan, yang terjadi justru merugi sebesar 54 juta dolar. Padahal bila rotan dikelola dengan bijaksana, bisa memberikan devisa sampai 385 juta dolar. Ditambah dengan nilai pasar dalam negeri sebesar 128 juta dolar, maka totalnya rotan bisa menyumbang ekonomi nasional sampai sebesar 513 juta dolar setahun.
Di tahun 2011 Pemerintah sudah diingatkan, bahwa secara historis kebijakan melarang ekspor rotan tidak pernah menguntungkan. Bila keunggulan Indonesia dalam industri rotan itu sebagai penyuplai bahan baku, maka hal itulah yang harus dijaga baik-baik. Mimpi menjadi produsen utama mebel rotan dunia, tidak bisa dicapai dengan hanya melarang ekspor. Penguatan SDM dibidang artistik produk maupun penguasaan pasar dunia perlu waktu dan upaya yang tidak mudah. Namun pemerintah berjanji akan memitigasi semua kekhawatiran Yayasan Rotan tersebut dengan berjanji akan melakukan 4 berikut:
1. Pemerintah akan segera melakukan HILIRISASI (pendirian pabrik barang jadi rotan) di daerah penghasil rotan ;
2. Pemerintah akan segera men-transmigrasi-kan pengrajin dari Cirebon ke daerah penghasil rotan di luar pulau Jawa untuk melakukan/mendukung hilirisasi tersebut;
3. Pemerintah akan menyerap semua produksi rotan dari daerah melalui sistim resi gudang ;
4. Mendatangkan investor untuk mengembangkan industri mebel dan kerajinan rotan di Indonesia termasuk luar Jawa
5. Akan melakukan evaluasi atas Permendag tersebut, setiap 6 bulan dan 1 tahun
Namun tak satupun direalisir. Bahkan yang paling mudahpun, melakukan evaluasi setiap 6 bulan tidak dilakukan juga. Akibatnya perkenomian Indonesia rugi, semua pemain rotan dari hulu sampai hilir semua rugi, dan yang paling gawat kelestarian rotan Indonesia dipastikan terancam. Petani rotan di Kalimantan rugi. Pemungut rotan di Sulawesi dan Sumatera rugi. Pengrajin rotan di Cirebon dan Surabaya juga rugi.
Yang diuntungkan dari kondisi memprihatinkan ini hanya produsen plastik (rotan) karena hampir tak ada lagi mebel rotan di pasar dalam negeri, yang ada mebel rotan imitasi. Filipina saat ini menguasai 70% pasar rotan bahan baku dunia. Saat petani dan pemungut rotan Indonesia gigit jari, petani di Filipina dan Indochina menikmati harga rotan yang tinggi.
Kebjakan tutup-buka ekspor rotan itu hanya alat atau tools. Saat suplai dalam negeri berlebih ya seharusnya buka keran ekspor. Saat permintaan dalam negeri tinggi ekspor rotan bisa ditutup. Saat Gita Wiryawan menutup ekspor rotan di tahun 2011, saat itu konsumsi dalam negeri hanya 13,5%, harusnya yang dia lakukan adalah mengizinkan ekspor. Ini malah melakukan sebaliknya. Akibatnya seluruh industri rotan Indonesia kolaps. Pelarangan ekspor bisa dilakukan bila konsumsi dalam negeri sudah lebih dari 60%.
Kalau saja pemerintah mau memberikan penghidupan bagi 5 juta keluarga petani dan pemungut rotan di seluruh Indonesia, yang semakin susah karena didera pademi virus corona saat ini. Hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah membuka ekspor rotan. Ulangi kebijakan Menteri Mari Pangestu. Saat ini bahan baku rotan hampir tidak ada yang menggunakan. Bila tidak dipakai sendiri – ya kita jual saja biar dipakai orang lain. Solusi terbaik adalah membuka ekspor bahan baku rotan.
Nilai ekonomi rotan yang pernah menyumbang ekonomi NKRI sebesar 500 juta dolar setahun, insya Allah bisa pulih lagi dalam 5 tahun ke depan. Inilah saatnya kita mengelola anugerah Tuhan dalam bentuk sumber daya alam dengan bijak dan sekaligus berpihak kepada orang kecil!