Saksi Ahli Gunakan Data Palsu Melanggar Etika Akademik

Pemadaman karhutla (foto: Twitter KLHK)

Seorang akademisi harus memegang prinsip untuk tidak boleh berbohong demi tujuan apapun. Selain melanggar etika, hal itu juga bisa membahayakan kepentingan publik yang lebih luas.

Demikian pandangan dari pakar ilmu tanah Dr Basuki Sumawinata dan Dr Gunawan Djajakirana, yang dihubungi wartawan, Senin (4/12/2017). Keduanya menanggapi hasil persidangan gugatan perdata yang diajukan PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) kepada akademisi yang ditunjuk pemerintah sebagai saksi ahli Basuki Wasis, karena menggunakan data palsu.

Dalam gugatannya, PT JJP menilai Basuki Wasis telah melakukan perbuatan melawan hukum. Selain itu tabel hasil pengujian tanah bekas terbakar yang diterbitkan Laboratorium Pengaruh Hutan Bagian Ekologi Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, tertanggal 18 November 2013 dan Surat Keterangan Ahli untuk kasus perusakan lingkungan melalui pembakaran di PT JJP, Kabupaten Rokan Hlir, Riau tanggal 12 Desember 2013 yang ditandatangani Basuki Wasis  adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan batal demi hukum.

PT JJP juga menggugat perdata Basuki Wasis ganti rugi sebesar Rp610 miliar. Selain itu PT JJP menggugat Basuki Wasis untuk membayar uang paksa sebesar Rp10 juta per hari apabila lalai melaksanakan putusan pengadilan. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa (28/11/2017), hakim memutus terjadi perdamaian setelah adanya pengakuan dari Basuki Wasis.

“Ilmuwan itu tidak boleh berbohong apapun tujuannya. Sebagai ilmuwan, boleh saja salah tapi prinsipnya tidak boleh berbohong,” Basuki Sumawinata.

Gunawan menambahkan, kesalahan yang dilakukan oleh akademisi adalah manusiawi sepanjang tidak memanipulasi data. Kesalahan misalnya, teori lama yang digunakan ternyata terpatahkan dengan adanya teori baru. Kesalahan yang dibuat pun harus diakui untuk diperbaiki.

“Tapi kalau sampai berbohong, apalagi memanipulasi data, itu melanggar etika,” kata Gunawan.

Dia menyayangkan, saat ini di Indonesia justru banyak orang yang mengaku-ngaku ahli padahal sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Sebagai contoh, saat ramai dibicarakan soal pengembangan tanaman jarak untuk biodisel, tiba-tiba banyak orang yang mengaku sebagai ahli jarak. Hal ini bisa membhayakan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

“Ini juga begitu, mengaku ahli tanah, tapi teori yang dinyatakan bertentangan dengan kaidah ilmu tanah,” katanya.

Gunawan menjelaskan, teori ilmu tanah tidak bisa saling bertentangan. Penjelasan mudahnya, jika sifat tanah A,B, C, maka sifat selanjutnya pasti C. “Ini seperti kalau melihat orang gemuk bertubuh besar, pasti bobotnya berat,” katanya.

Dia mengingatkan bahayanya orang yang tidak ahli kemudian mengaku sebagai ahli. Dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, bisa terjadi sebuah perusahaan diputus bersalah meski orang yang ditunjuk sebagai saksi ahli ternyata tak punya keahlian.

Gunawan menyatakan, akdemisi yang melanggar etika sejatinya terancam sanksi akademik yang cukup berat. Selain bisa dipecat dari perguruan tinggi tempatnya mengajar, gelar akademiknya juga layak dicopot. “Di beberapa perguruan tinggi sanksi itu sudah pernah diterapkan,” katanya.

Untuk dikatehui, sebelumnya atas gugatan yang diajukan Kementerian LHK, PT JJP divonis denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri Rokan Hilir untuk kebakaran yang terjadi di kebunnya (12/7/2017).

Pada kasus yang sama, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengabulkan gugatan banding perkara perdata yang diajukan  Kementerian LHK kepada PT JJP untuk membayar ganti rugi dan biaya pemulihan lahan sebesar total Rp491 miliar, Mei 2017. Dalam kasus tersebut salah satu saksi ahli yang diajukan Kementerian LHK adalah Basuki Wasis. Sugiharto