Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan “sapu bersih” kapal-kapal penangkap ikan eks asing di laut nasional, menindaklanjuti beleid moratorium perizinan usaha perikanan tangkap yang sudah berakhir sejak Oktober 2015. Sayangnya, keputusan yang menimbulkan keresahan dan bakal menghanguskan investasi triliunan rupiah tersebut hanya berdasarkan surat pemberitahuan sekretaris jenderal KKP.
Pemerintah terus mengejar kapal-kapal ikan eks asing (kapal yang dibuat di luar negeri) yang sudah nongkrong setahun lebih tak bisa melaut. Setelah tidak memperpanjang keputusan moratorium izin penangkapan kapal-kapal ikan tersebut, mendadak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan susulan. Seluruh 1.132 unit kapal eks asing, yang tercatat dari hasil analisis dan evaluasi (anev), tidak boleh lagi menangkap ikan di negeri ini.
Keputusan itu berdasarkan surat pemberitahuan Sekjen KKP No. B-195/SJ/II/2016, tanggal 11 Februari 2016 perihal Penghapusan Kapal Eks Asing dari Daftar Kapal Indonesia, yang ditandatangani Sjarief Widjaja. Dari surat ini, tercatat 81 perusahaan dan perorangan yang memiliki 390 kapal penangkap ikan diminta menghapus kapal ikannya dari Daftar Kapal Indonesia. Pencoretan ini berarti vonis mati karena kapal itu harus hengkang dari wilayah Indonesia. Bisa dijual ke luar kalau laku, atau paling sial: jadikan besi tua!
Namun, keputusan ini dinilai aneh. Pasalnya, berdasarkan anev KKP, seluruh 390 kapal itu tidak masuk dalam daftar hitam. Artinya, mereka tidak kena sanksi pencabutan izin usaha perikanan, tidak menjalani proses penyelidikan atau penyidikan aparat hukum serta tingkat kepatuhannya terhadap aturan perikanan masih bisa ditolerir.
“Bagaimana bisa dua lembar surat pemberitahuan (surat Sekjen) menggugurkan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Kenapa kapal yang tergolong ‘white list’ harus dicoret? Padahal, sesuai Permen Moratorium, apabila hasil anev terhadap kapal-kapal yang SIPI dan SIKPI-nya masih berlaku ditemukan pelanggaran, maka dikenakan sanksi administrasi. Jadi, sanksi hanya yang melanggar,” ujar Ketua Bidang Hukum dan Organisasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), Muhammad Billahmar, pekan lalu.
Dia mengingatkan Menteri KKP Susi Pudjiastuti tak sekadar melarang dan menghapus kapal eks asing, tapi bagaimana membangun perikanan tangkap ke depan. Apalagi, kapal bukan sekadar besi terapung, tapi investasi. Berdasarkan data Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115), dari total 1.132 unit kapal tinggal tersisa 718 kapal. Jika satu kapal rata-rata bernilai Rp3-4 miliar/unit, berarti kebijakan deregistrasi menghanguskan investasi Rp2,1-Rp2,8 triliun.
Itu sebabnya, salah satu perusahaan yang harus melakukan deregistrasi, PT Ocean Tirtamas mengeluh. “Aset kami sebanyak 13 kapal berkisar Rp100 miliar. Masa akan berakhir begitu saja dan hanya menjadi besi tua yang dihargai Rp1.000/kg?” ujar Direksi PT Ocean Mitramas, Yanti Djuari, Jumat (26/2). Dan, ini yang miris, seluruh aset itu dibeli dengan kredit bank, yang sampai kini belum lunas. Wow. AI