Sorotan terhadap aktivitas bisnis Sinar Mas Grup dalam waktu dekat nampaknya bakal makin “meriah”, terutama di pasar internasional. Pasalnya, kerja sama erat raksasa industri pulp dan kertas ini mendadak putus dengan organisasi lingkungan hidup dunia, Greenpeace. Sejauh ini, tak ada suara apapun dari pemerintah.
Forest Conservation Policy (FCP) menjadi ‘kartu sakti’ buat raksasa Asia Pulp & Paper (APP) atau Sinar Mas Grup untuk menghalau semua berita miring terkait perusakan lingkungan, termasuk aksi maut pemboikotan produk di pasar dunia. Bisnis pun aman. Maklum, melalui FCP yang dibuat tahun 2013 ini, APP-Sinar Mas sukses menggaet organisasi lingkungan terkemuka dunia, Greenpeace. Sejak itu, Greenpeace pun jadi tameng dan corong yang membela Sinar Mas.
Berdasarkan perjanjian itu, Greenpeace setuju menghentikan kampanye global menentang APP-Sinar Mas apabila mereka berkomitmen mengakhiri pembalakan, penyerobotan lahan dan konflik dengan masyarakat setempat. Tak percaya? “Kami siap membela APP jika ada yang menjelek-jelekan produk mereka. Akan kami kampanyekan bahwa produk APP berasal dari nol deforestasi,” kata Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia (saat itu), Bustar Maitar usai peresmian kerja sama di Jakarta, Februari 2013. Bahkan, Bustar meminta konsumen tak perlu ragu untuk berbisnis dengan APP-Sinar Mas.
Kesaktian kerja sama juga terbukti ketika kebakaran hutan hebat September 2015 menghanguskan areal konsesi HTI PT Bumi Andalas Permai 1 dan 2, PT Bumi Mekar Hijau 5, 3 dan 4, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan menciptakan polusi kabut asap ke negara jiran (AgroIndonesia, 13 Oktober 2015). APP-Sinar Mas masih mampu tenang. Padahal, meski tidak disebut anak usaha, nama-nama HTI itu adalah pemasok bahan baku kayu untuk Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) dan Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry (LPPPI) — dua listed company yang jadi anak usaha APP.
Namun, hubungan mesra yang sudah berjalan lima tahun itu mendadak putus. Lewat pernyataan pers (16/5/2018), Greenpeace menuding APP-Sinar Mas kembali mengulang dosa lama melakukan praktik deforestasi. “Pada tahun 2013, perusahaan ini berkomitmen mengakhiri praktik deforestasi dengan menerapkan FCP. Terdapat perkembangan positif dan negatif dalam implementasinya, tetapi sekarang kondisi dalam bahaya, karena perusahaan ini kembali terlibat dalam kegiatan pengrusakan hutan,” kata Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia ketika dihubungi, Jumat (22/6/2018).
Kasus yang dipersoalkan adalah pembukaan hutan dan lahan gambut oleh HTI PT Muara Sungai Landak (MSL) serta perusahaan tambang Golden Energy and Resource (GEAR) di kawasan konsesi HTI PT Hutan Rindang Banua (HRB) di Kalimantan Selatan. APP-Sinar Mas dinilai gagal memberikan penjelasan yang kredibel atau mengambil tindakan untuk menyelesaikannya.
Putusnya kerja sama itu kontan melahirkan rentetan isu panas. Lembaga sertifikasi hutan global, FSC (Forest Stewardship Council), melayangkan ultimatum kepada APP untuk membuktikan komitmen terhadap perlindungan hutan alam dan HAM sampai 11 Juni 2018. Sementara Koalisi Anti Mafia Hutan (KAMH) mendedah puluhan perusahaan pemasok kayu yang terkait dengan APP dan struktur kepemilikannya yang patut diwaspadai sebagai struktur atas nama (nominee structures). Struktur ini rentan dipakai untuk tujuan lain, semisal penghindaran pajak atau pengelakan risiko.
Pemerintah sendiri, sampai kini, masih diam. Padahal, tudingan Greenpeace jelas terkait aktvitas pemanfaatan lahan dan tata ruang yang harus ada izin pemerintah. Apa yang ditunggu?AI