Siti Tegas Tak Ada Masalah Legalitas

Ilustrasi pohon sawit

Langkah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk menyelesaikan tunggakan ‘PR’ masa lalu tak selalu berjalan mulus. Alih-alih mendapatkan pujian, langkah tersebut tak jarang malah menuai polemik.

Terbaru adalah langkah untuk membereskan proses pelepasan kawasan hutan yang telah dimulai sejak tahun 1997 atau 21 tahun lalu di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Meski lahan yang dilepas hanya sepertiga dari izin prinsip yang diberikan, sesuai prosedur, tak termasuk dalam kebijakan moratorium izin hutan dan gambut serta moratorium izin baru kebun kelapa sawit, namun nyatanya langkah Menteri Siti tetap menuai kritik dan protes.

Akhir tahun lalu, tepatnya 23 November 2018, Menteri Siti menandatangani Surat Keputusan (SK) No SK.517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit Atas Nama PT Hardaya Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 9.964 hektare (ha).

Menteri menegaskan, dari sisi legalitas tak ada persoalan dari terbitnya SK tersebut. Seluruh persyaratan yang mendukung penerbitan SK tersebut telah lengkap. “Kalau dari sisi legalitasnya sih nggak ada masalah, sebab seluruh persyaratannya, dasar hukumnya telah kuat. Nggak ada masalah,” kata dia kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/1/2019).

Proses pelepasan kawasan hutan tersebut memang sudah dimulai sejak tahun 1997. Saat itu, 27 Februari 1997, Menteri Kehutanan memberikan persetujuan pencadangan kawasan hutan seluas 31.750 ha di Kabupaten Buol, Toli-toli, Sulawesi Tengah kepada PT Cipta Cakra Murdaya (CCM) berdasarkan SK No. 238/Menhut-II/1997. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan-Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, lahan yang dialokasikan tersebut merupakan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL) untuk perluasan usaha budidaya perkebunan.

Para pemegang saham CCM kemudian setuju untuk mengalihkan seluruh izin-izin terkait usaha perkebunan kepada PT Hardaya Inti Plantation sesuai Akta No. 35 tertanggal 11 Maret 1997. Proses berlanjut dengan dilakukannya penataan batas areal yang akan akan dilepas. Hasilnya adalah seluas 32.113,3 ha berdasarkan Berita Acara Tata Batas tertanggal 23 Maret 1998.

Namun, prosesnya kemudian menghadapi berbagai dinamika. Termasuk soal penunjukan kawasan hutan Sulawesi Tengah pada tahun 1999 dan revisi RTWP Sulawesi Tengah tahun 2013 dan 2014.  Mengacu pada SK Menhut No. 869/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Sulawesi Tengah, areal yang sebelumnya telah ditata-batas telah mengalami perubahan fungsi, di mana HPK menjadi tinggal 16.065 ha.

Dinamika yang terjadi juga terkait dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 10 tahun 2010 tentang Penundaan Pemberia Izin Baru Bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut. Inpres moratorium hutan primer dan lahan gambut ini sudah beberapa kali diperpanjang, terakhir dengan Inpres No. 6 tahun 2017.

Hardaya Inti Plantation pun kemudian mengajukan permohonan untuk melakukan penataan batas ulang pada 4 Juni 2014 lewat suratnya bernomor 002/HIP-OL/Menhut/VI/2014. Panitia Batas dibentuk oleh Dirjen Planologi Kehutanan sesuai Peraturan Menteri No. 25 tahun 2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

Hasil telaah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) menemukan, dari 16.065 ha HPK, sekitar 6.037 hektare masih memiliki hutan primer. Jadi, areal yang dapat dilakukan penataan batas ulang hanya seluas 10.028 ha.

Proses terus bergulir sampai kemudian Menteri mengeluarkan SK 517/2018 tentang pelepasan kawasan HPK bagi Hardaya Inti Plantation seluas 9.964 ha. Terbitnya SK 517/2018 itu juga telah mempertimbangkan telaahan Direktorat Jenderal PKTL terkait Peta Indikatif Moratorium Hutan dan Gambut, Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial, dan Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Dalam putusan tersebut, Menteri Siti juga mewajibkan Hardaya Inti Plantation untuk  membangun kebun bagi masyarakat di sekitar dengan luas minimal 20% dari kawasan hutan yang dilepas. Perusahaan itu juga diwajibkan untuk mengembangkan kawasan hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF/High Conservastion Value Forest) di sebagian arealnya.

Inpres moratorium

Terbitnya pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit Hardaya Inti Plantation menjadi isu yang semakin panas. Pasalnya, selang sebulan sebelumnya, Presiden Joko Widodo memberlakukan moratorium izin sawit lewat Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang diteken 19 September 2018.

Menteri Siti memastikan, pelepasan hutan untuk kebun Hardaya Inti Plantation milik pengusaha Siti Hartati Tjakra Murdaya itu tidak bertentangan dengan Inpres moratorium sawit. Menurut dia, pelepasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation termasuk yang dikecualikan dari moratorium sawit. “Inpres juga ada klasifikasi mana yang tidak boleh sama sekali. Dan yang keluar di Buol itu sudah terpenuhi izin prinsipnya. Jadi meneruskan saja, sudah ada izin prinsip, di mana seluruh syarat telah terpenuhi,” katanya.

Mengacu pada Inpres 8/2018, Menteri LHK memang diinstruksikan untuk menunda pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk kebun sawit. Namun, instruksi itu berlaku untuk permohonan baru; permohonan yang telah diajukan, namun belum melengkapi persyaratan; permohonan yang telah diajukan, namun berada pada kawasan hutan yang masih produktif; dan permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip, namun belum melakukan penataan batas.

Meski menegaskan terbitnya pelepasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation sesuai prosedur dan tidak bertentangan dengan kebijakan moratorium hutan dan moratorium sawit, Menteri mengaku jajaran KLHK sedang melakukan pembahasan kembali. Namun dia tak menjelaskan, detil pembahasan apa yang dilakukan.

Sesuai prosedur

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga menyatakan pelepasan kawasan hutan bagi Hardaya Inti Plantation telah sesuai prosedur. Proses pelepasan tersebut juga telah  melibatkan Pemerintah Kabupaten Buol.

Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Sulteng, Haris Kariming dalam pernyataanya yang dirilis Kamis (24/1/2019) menjelaskan, dalam proses pelepasan kawasan hutan kepada Hardaya Inti Plantation telah dilakukan penataan batas ulang dan pembahasan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan. Termasuk anggota panitia atata batas tersebut adalah Kepala BAPPEDA Kabupaten Buol, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buol, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Buol serta Camat setempat.

Menurut Haris, berita Acara Tata Batas (BATB) yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas termasuk wakil-wakil dari Pemerintah Kabupaten Buol, yaitu Kepala BAPPEDA Buol, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Buol, Camat Tiloan, Camat Bukal, Camat Bokat, dan Camat Bunobogu serta diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah.

Soal adanya penolakan dari Pemerintah Kabupaten Buol, Haris menjelaskan Pemprov Sulteng selaku wakil Pemerintah Pusat di daerah telah beberapa kali melakukan mediasi dan koordinasi para pihak yang terkait termasuk Pemkab Buol dan Hardaya Inti Plantation.

Haris menjelaskan, dalam rapat koordinasi yang digelar 3 Mei 2018, Bupati Buol tetap pada sikap menolak pelepasan kawasan hutan. Oleh karena itu, Gubernur Sulawesi Tengah sesuai surat No. 522/236/DISHUT tanggal 28 Mei 2018 kepada Menteri LHK menjelaskan situasi tersebut. Gubernur menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri LHK untuk memutuskan sesuai dengan kewenangannya.

“Berkaitan dengan rencana Pemerintah Kabupaten Buol untuk melakukan upaya hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan Menteri LHK merupakan hak konstitusional Pemerintah Kabupaten Buol untuk memperoleh kepastian hukum,” kata Haris.

Sugiharto

Baca juga:

Disorot, Pelepasan Kebun Hartati Murdaya

Lahan Buat Tangkapan Air dan Pangan