Perjanjian kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), akan diberlakukan awal Juli 2020, terutama untuk sapi bakalan impor dari Australia akan bebas Bea Masuk (BM).
Di satu sisi, IA-CEPA ini akan memberikan dampak positif bagi usaha feedlot alias penggemukan sapi. Namun, di sisi lain, peternak rakyat makin terpinggirkan karena usaha usaha tani ternak tidak efisien.
“Usaha peternakan kita itu tidak efisien, karena dijadikan sebagai usaha sampingan. Jika tidak efisien, maka kita sulit untuk bersaing dalam pasar global,” kata Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana, kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Dia mengatakan, pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) mau menandatangani perjanjian IA-CEPA, tahun 2017 PPSKI diminta pendapat oleh Menteri Perdagangan Mari Pangestu dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono.
“Waktu itu saya bilang peternak harus dilindung dan produksi ternak harus meningkat. Untuk produksi susu, perlu tambahan impor sapi perah 50.000 ekor selama lima tahun,” katanya.
Usulan ini, kata Teguh, untuk mempersiapkan diri agar pada saat IA-CEPA diberlakukan, peternak rakyat, terutama peternak sapi perah, sudah siap. Namun, usulan tersebut tidak dilaksanakan.
Menurut Teguh, dalam perjanjian IA-CEPA tidak hanya komoditi sapi bakalan saja, tetapi ada juga produk susu dan produk lainnya. Produk Indonesia memang akan diberlakukan hal yang sama jika ekspor ke negara Australia, namun komoditi apa yang bisa diekspor. “Australia pertaniannya lebih maju dan efisien, sehingga kecil kemungkinan kita ekspor produk pertanian. Entahlah kalau produk non-pertanian,” katanya.
Dia menyebutkan, jika masukan dari pelaku usaha dilakukan pemerintah, maka pada saat IA-CEPA diberlakukan, petani Indonesia relatif sudah siap. “Tiga belas tahun (2007-2020) waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan petani, terutama untuk meningkatkan efisien usaha peternakan,” tegasnya.
Teguh juga mengatakan, bagaimana investor mau investasi di usaha pembibitan jika acuan biaya produksi untuk menghasilkan seekor pedet tidak tahu.
“Saya pernah tanya mantan pejabat yang menangani pembibitan, soal biaya produksi untuk menghasilkan 1 ekor pedet dan biaya 1 ekor sapi sampai umur 18 bulan (siap potong). Tapi tidak dijawab. Mestinya kan mereka tahu. Kalau biaya produksinya saja tidak tahu, bagaimana investor mau investasi,” tegasnya.
Peternak perlu penguatan
Teguh menyebutkan, yang perlu dilakukan saat ini adalah pemerintah harus bisa membendung agar produk impor, terutama daging, tidak sampai merembes ke daerah.
“Jika daging impor masuk ke daerah, sudah dipastikan peternak kita makin terpinggirkan. Ini tugas pemerintah untuk menjaga agar impor daging tidak masuk daerah,” ungkapnya.
Dia juga mengatakan, impor daging adalah untuk memenuhi kekurangan produksi daging nasional. Khusus untuk impor daging kerbau, niat pemerintah baik, yaitu untuk menstabilkan harga daging nasional, sehingga masyarakat tetap makan daging.
“Namun, yang terjadi malah terbalik. Harga daging kerbau mengikuti harga daging sapi, sehingga harga daging tetap tinggi. Aneh!,” sergahnya. Teguh menambahkan, hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat akan daging masih tinggi. Akibatnya, harga daging kerbau pun tetap tinggi.
Untuk mengantisipasi serbuan impor, Teguh tetap menekankan penguatan di sektor peternak domestik. Hal itu guna meningkatkan produktivitas ekspor serta mengimbangi impor sapi Australia.
Dia juga menyebutkan, sebenarnya beberapa waktu lalu sapi lokal praktis sudah tidak mampu bersaing di Jabodetabek, kecuali sapi dari NTT (Nusa Tenggara Timur).
Sapi daerah bertahan di daerah masing-masing. Daerah Kalimantan masih dipasok dari NTT, NTB dan Sulawesi Selatan. Jadi, kalau ada pembebasan BM, maka makin memperkuat daya saing produk impor dari Australia di Jabodetabek dan Jawa Barat.
“Yang harus dicegah adalah bagaimana pasar daging di daerah tidak didistorsi dengan produk impor yang notabene lebih murah,” tegasnya.
Dia mengimbau pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) milenial untuk mengisi sektor ternak di tingkat menengah. Dia menilai, sektor peternakan sapi kelas menengah masih sangat minim di ranah domestik, sementara industri peternakan besar sapi di Australia jumlahnya cukup massif.
“Di Indonesia kan peternaknya kebanyakan itu peternak mandiri, jumlah sapi ternak yang dikelola pun tidak banyak,” kata Teguh. Dia menambahkan, untuk menguatkan peternak mandiri atau peternak sapi rakyat, maka diperlukan kerja sama kemitraan.
Teguh mengatakan, pola kerja sama kemitraan dengan industri peternakan sudah ada aturannya. Namun, selama ini, pola kerja sama ini tidak berjalan dengan baik. “Hanya satu-dua industri peternakan yang melakukan kemitraan, seperti yang terjadi di Lampung dan Jawa Timur. Pemerintah mesti gencarkan lagi pola kemitraan peternak sapi,” tegasnya.
Kemitraan peternak sapi dengan industri dinilai penting untuk meningkatkan atau menguatkan posisi peternak di masa mendatang. Teguh menyebutkan, kerja sama antarnegara seperti IA-CEPA ini akan terus dilakukan, setelah dengan Australia, mungkin dengan Selandia Baru dan negara lainnya.
Menurut dia, jika petani atau peternak Indonesia tidak disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, maka Indonesia tidak bisa memanfaatkan peluang tersebut.
Angin segar
Sementara Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) menilai, pemberlakuan kerja sama Indonesia-Australia ini merupakan angin segar bagi usaha feedlot yang sekarang sudah ‘megap-megap’.
“Kami menyambut baik perjanjian ini diberlakukan. Di tengah pandemi korona sekarang ini, usaha feedlot tidak terlalu menguntungkan karena semua biaya mengalami kenaikan,” kata Direktur Eksekutif Gapuspindo, Joni Liano kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (27/6/2020).
Dia menyebutkan, dengan pembebasan BM dari 5% menjadi nol, maka bisa menutupi kenaikan biaya produksi. Sebelumnya, pemerintah juga sudah memberikan relaksasi soal pajak. “Ya, kebijakan pemerintah memberikan keringanan ini untuk mendorong agar usaha masyarakat terutama peternakan tetap berjalan,” ungkapnya.
Joni belum berani menjamin dari kuota impor bakalan sebesar 575.000 ekor tersebut bisa direaliasikan 100% atau tidak. Namun, paling tidak dengan diberlakukan kerja sama ini, pengusaha feedlot mendapat keringanan.
“Kalau tidak terealisasi semua, kan masih ada tahun depan. Apalagi, tahun ini tinggal enam bulan lagi. Namun, kami akan usahakan bisa impor sesuai dengan kuota yang ditetapkan. Ini juga peluang,” katanya.
Dia menyebutkan, realisasi impor sapi bakalan tahun 2020 hinga Juni ini sudah masuk sekitar 220.000 ekor. Impor yang masuk ini tentunya masih dikenakan BM. Untuk ke depan, dengan diberlakukan IA-CEPA ini, maka impor sapi bakalan bebas BM.
Menurut Joni, IA-CEPA ini saling menguntungkan kedua negara. Australia, dikenal memiliki pembibitan sapi cukup baik, sementara Indonesia dikenal usaha penggemukan sapinya juga baik. “Jadi, satu sama lain saling keterkaitan,” tegasnya.
Joni juga tidak melihat kerja sama Indonesia-Australia ini mengancam usaha peternakan rakyat, karena untuk sapi bakalan hanya dilakukan pengusaha feedlot.
Produksi dagingnya, kata Joni, juga punya pasar tersendiri. Dia menambahkan, impor sapi bakalan, justru lebih baik dibandingkan dengan impor daging. “Kalau impor sapi bakalan itu memberikan nilai tambah bagi kita karena sapi dibesarkan (penggemukan). Artinya, ini bisa memberikan lapangan kerja dan lainnya,” tegasnya. Jamalzen
Kementan: Peternak Rakyat Tidak Mati
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita mengatakan, kerja sama Indonesia-Australia tidak akan mematikan usaha peternakan rakyat karena ruang geraknya berbeda.
“Peternakan rakyat tidak terganggu karena beda ruang lingkupnya. Misalnya, untuk daging eks sapi bakalan pasarnya kan tersendiri. Sementara daging sapi lokal juga sama,” katanya, di Jakarta, Jumat (26/6/2020).
Dia menyebutkan, impor sapi bakalan justru lebih baik dibandingkan dengan impor daging. Impor bakalan mempunyai nilai tambah seperti membuka lapangan kerja, investasi dan produk sampingan seperti jeroan dapat memberi tambahan penghasilan peternak.
“Selain itu, dengan bebas BM kita harapkan usaha feedlot lebih bergairah lagi,” tegasnya. Dia mengakui, untuk saat ini memang produk daging dalam negeri masih perlu ditopang dengan impor.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Direktur Kesehatan Hewan Fadjar Sumping Tjatur menambahkan, hasil revisi kebutuhan daging nasional Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan dari 711.000 ton menjadi sekitar 575.000 ton.
“Penurunan ini karena daya beli masyarakat turun dan kecenderung masyarakat cari alternatif yang lebih murah, misalnya daging ayam,” tegasnya.
Namun, lanjut Fajar, revisi BPS tersebut tidak diikut dengan revisi pasok daging nasional, sehingga dikhawatirkan seakan-akan produksi daging nasional cukup. “Pada saat kebutuhan normal naik lagi, maka akan terjadi defisit lagi,” katanya.
Fajar menyebutkan, dalam konteks kerja sama Indonesia-Australia, memang kuota sapi bakalan yang bebas BM sekitar 575.000 ekor. Jika impor dari Australia lebih dari jumlah kuota, maka akan dikenakan BM lagi.
Dia berharap, kuota impor sapi bakalan yang bebas BM seperti dalam perjanjian IA-CEPA dapat dimanfaatkan perusahan penggemukan. “Kita harapkan juga usaha penggemukan sapi kembali bergairah, sehingga bisa mensuplai kebutuhan daging nasional,” ungkapnya. Fajar juga berharap, daging sapi eks bakalan tidak masuk ke pasar tradisional sehingga tidak mengganggu pasar peternak lokal. Namun, untuk membendung ini, mestinya ada dasar hukumnya. Jamalzen