Tata Kelola Air Gambut pun Masih Kontroversi

Tantangan sepertinya terus dihadapi pelaku usaha yang berbisnis di lahan gambut. Isu moratorium sudah dihembuskan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Kini, tantangan baru muncul lagi.

Kali ini datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang mulai menggarap penilaian Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan) bagi pemegang konsesi di lahan gambut. Padahal, bagaimana tata kelola air yang baik di lahan gambut, yang mendominasi indikator penilaian Proper, masih menjadi perdebatan.

Langkah Kementerian LHK menggelar penilaian Proper resmi digelar lewat Surat Keputusan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan No SK.23/PPKL/Set/WAS.3/2016. “Saat ini proses penilaian Proper sudah berjalan. Kami sedang melakukan sosialisasi dengan calon peserta,” kata Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Wahyu Indraningsih yang dihubungi Sabtu (6/8/2016).

Dia menjelaskan, penilaian Proper ditujukan untuk mendorong perbaikan pengelolaan lingkungan bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnisnya di lahan gambut. Menurut Indraningsih, hal ini menjadi bagian dari perbaikan pengelolaan gambut secara keseluruhan di tanah air.

Untuk tahun 2016, akan ada 30 perusahaan yang menjadi peserta penilaian Proper. Rinciannya, sebanyak 11 perusahaan perkebunan dan 19 perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri (HTI). Pemilihan peserta Proper sendiri didasarkan atas luasan usaha, berada di kubah gambut, mewakili provinsi di Indonesia dan tidak sedang bermasalah dengan penegakan hukum. Jika melihat agenda penilaian, maka penilaian akan selesai pada pertengahan Oktober, untuk selanjutnya memasuki masa sanggah dan diumumkan hasil finalnya pada Desember 2016.

Proses penilaian Proper nantinya dilakukan oleh staf Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama para pakar yang tergabung dalam tim teknis.

Indraningsih mengungkapkan, karena masih tahap awal, maka Proper gambut 2016 masih menekankan pada hal-hal yang sifatnya administratif. Dari aspek pemetaan, misalnya, pengelola gambut harus memiliki peta kontur dengan skala minimal 1:10.000, memiliki peta hidrotopografi dengan skala minimal 1:10.000, memiliki peta kedalaman gambut dengan skala minimal 1:50.000 dan memiliki peta desain kanal.

Sementara dari aspek pemantauan, pengelola gambut harus sudah memiliki titik-titik pemantauan air gambut.  “Tujuan akhirnya adalah bagaimana perusahaan pengelola gambut memiliki titik pemantauan air gambut yang memadai,” kata Indraningsih.

Seperti halnya Proper pada bidang usaha lain, Proper gambut akan terdiri dari beberapa peringkat. Termasuk peringkat hijau dan emas. Namun, untuk tahun 2016, karena masih bersifat administrasi, peringkat Proper gambut hanya dibatasi pada hitam, merah, dan biru (lihat grafis).

PP 71/2014

Penilaian yang masih bersifat administrasi untuk Proper gambut tak lepas masih belum adanya ketentuan yang lebih teknis tentang pengelolaan gambut. Saat ini, Kementerian LHK masih menggodok Peraturan Menteri (Permen) LHK tentang Tata Kelola Air di Ekosistem Gambut. Permen LHK itu dipayungi Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014  tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Jadi, jangan heran jika penilaian Proper menuai reaksi. Apalagi, PP 71/2014 sesungguhnya masih kontroversi. Bahkan, di kalangan pakar gambut, masih terjadi perdebatan. Hal itu tidak lepas dari kriteria yang menyatakan gambut rusak jika tinggi muka air lebih dari 0,4 meter dari permukaan  gambut.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang dengan jengkel menyatakan, kebijakan saat ini sepertinya memang bertujuan untuk mematikan usaha di lahan gambut. “Mau bikin kebijakan apapun terserah saja. Tumbangkan saja kelapa sawitnya sekalian,” sergahnya.

Dia mengingatkan, soal kelestarian perkebunan, Indonesia sesungguhnya sudah memiliki skema Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Pemegang sertifikat ISPO, lanjut dia, sudah membuktikan mengelola kebunnya secara berkelanjutan.

Gapki sesungguhnya sudah memberikan masukan tajam terkait kebijakan tata kelola gambut. Dalam suratnya kepada Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian LHK, tertanggal 28 Juli 2016, Gapki menilai kriteria baku kerusakan gambut untuk fungsi budidaya — di mana tinggi muka air maksimal 0,4 meter dari permukaan gambut — dalam implementasinya akan sangat berat untuk dipenuhi, khususnya oleh perkebunan kelapa sawit.

Menurut Gapki, batas tinggi muka air gambut tersebut secara kontinyu dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Selain itu, kenyataan di lapangan bahwa muka air tanah selalu mengalami fluktuasi mengikuti kondisi iklim, termasuk curah hujan. Gapki pun meminta Kementerian LHK meninjau kembali kriteria baku kerusakan gambut untuk fungsi budidaya tersebut.

Untuk perbaikan kriteria kerusakan gambut, Gapki menyarankan agar kriteria kerusakan bukan dalam bentuk berapa kedalaman muka air tanahnya, tetapi diganti dengan kriteria baku kerusakan gambut. Misalnya, “gambut menjadi hidrofobik”. Ini berarti gambut tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Kriteria ini dilengkapi nilai rerata kadar air kritis terjadinya hidrofobisitas. Untuk gambut saprik 150% w/w; gambut hemik 250% w/w; da gambut fibrik 350% w/w.

Usul Gapki tersebut sejatinya konsisten dan sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo No. 236/GAPKI/X/2014 tentang peninjauan kembali PP 71/2014, tertanggal 23 Oktober 2014. Surat Gapki bersama enam asosiasi lainnya kepada Presiden tertanggal 12 November 2014 tentang untuk Peninjauan kembali PP 71/2014 dan surat kepada Menteri LHK Siti Nurbaya Siti Nurbaya Bakar No. 088/GAPKI/VI/2016 tentang Usulan Revisi PP 71/2014.

Lebih pro

Togar mengingatkan tentang strategisnya industri perkebunan kelapa sawit dan turunannya. Untuk itu, pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang lebih pro kepada industri kelapa sawit.

Menurut dia, pada tahun 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor produk CPO dan produk turunannya mencapai 18,65 miliar dolar AS. “Minyak sawit merupakan penghasil devisa negara terbesar di Indonesia, jika dibandingkan minyak dan gas (migas). Minyak sawit sudah melampaui migas dalam hal penghasil devisa saat ini,” katanya.

Dia juga mengingatkan tentang besarnya peluang kerja yang ditimbulkan industri kelapa sawit. Togar menyebutkan, total tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit mencapai 7,9 juta jiwa di 2015, meningkat dibandingkan tahun 2014 sebanyak 7,6 juta jiwa.

Dari sisi produktivitas, sawit juga unggul jauh ketimbang tanaman penghasil minyak nabati lain. Menurut dia, produktivitas minyak sawit mencapai 3,8 ton/hektare, sedangkan minyak nabati lain dibawah 1 ton/hektare. Sawit merupakan tanaman tahunan, sementara kedelai, rapeseed dan bunga matahari tanaman semusim. “Sehingga sawit lebih besar menyerap oksigen ketimbang tanaman minyak nabati lainnya,” tambahnya.

Dalam pengembangan biofuel, Indonesia telah menjadi negara produsen biodiesel terbesar di dunia. Kita sekarang sudah menerapkan kewajiban penggunaan biodiesel mencapai 20% (B20), bahkan 10 atau 20 tahun mendatang bisa B100. “Kebutuhan solar 40 juta kiloliter (KL) itu dapat dipenuhi dari biodiesel. Industri dapat menjadi negara kaya, jika sawit menjadi bagian energi masa depan,” katanya. Sugiharto