Tidak Anti Asing

Direktur Utama PT Garam, Dr. Budi Sasongko, SH, SE, MH, MM, Ak.

Buat Dr. Budi Sasongko, SH, SE, MH, MM, Ak, garam tidak seharusnya menjadi barang inferior yang ditempatkan di bagian bawah. Kelasnya, di warung-warung atau kios semi modern. Apalagi, garam dicampur arang atau abu.

“Kalau penempatannya di bagian bawah, bagaimana komoditas garam bisa welcome?,” ujar Budi yang kini diberi amanah sebagai Direktur Utama PT Garam sejak September 2017 ini.

Itu sebabnya, Budi dan jajarannya berupaya merubah cap yang kadung disematkan untuk garam dengan teknik dan strategi pemasaran. Garam pun diberi make up. Kemasan garam dibuat menarik. Semua ini agar garam menjadi produk yang dibutuhkan.

Dengan value addition, garam menjadi komoditas yang tidak hanya sebatas kebutuhan, tapi lebih dari itu, kata Budi kelahiran Blitar, 17 Agustus 1963. Dijelaskan, keberanian akrobatik pemasaran adalah salah satu acuan PT Garam. Perusahaan plat merah ini pun menangani pemasaran mulai dari lini satu, dua, tiga sampai end user dengan percaya diri.

Untuk mengetahui langkah-langkah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang garam ini berikut bincang-bincang dengan Budi yang memiliki dua gelar sarjana, dua gelar master dan satu gelar doktor serta beberapa pendidikan lainnya.

Hingga saat ini antara penawaran dengan permintaan garam masih ada jurang. Apa saja upaya untuk menjembataninya?

Permintaan Indonesia terhadap garam selalu naik. Kondisi sekarang mencapai 4,4 juta ton. Yang terbesar untuk garam industri. Jangan lihat dulu konsumsi dan aneka pangan. Bahan baku dalam negeri harus terpenuhi. Kita sudah 4 juta ton. Kita harus sediakan lahan 40 ribu hektar.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), jumlah keseluruhan lahan garam mencapai 25.000 hektar, plus milik PT Garam sekitar 5.000 hektar. Kalau semuanya bisa mencapai full capacity, kami yakin target produksi tercapai.

Hitung-hitungan kami, 1 hektar mencapai 100 ton per hektar per musim. Secara simultan, kami bisa memanfaatkan fasilitas kredit usaha rakyat untuk petani garam. KKP dan Kementerian Perindustrian juga sudah membantu geomembran, teknologi untuk percepatan penguapan. Kami akan menyerap 124 ribu ton garam rakyat. Pendanaannya, melalui bank terkoordinasi pada KKP, termasuk pembangunan resi gudang di sentra-sentra produksi. Resi gudang efektif, terutama ketika musim puncak. PT Garam memberikan penjaminan. Pendanaan tetap dari bank. Semuanya simultan berjalan kalau musim bagus dan terik matahari tinggi.

Bagi keuntungannya seperti apa?

Keuntungan dibagi merata. Ketika produksi garam terbatas, mereka penyelenggara resi gudang mengumpulkan garam dari petani. Kami bisa intercept praktik tengkulak, sehingga harga tidak bisa dimainkan. PT Garam hadir, beli garam di gudang dengan harga wajar. Sementara dari Permodalan Nasional Mandiri (PNM), kami bisa mengadakan revolving fund. PNM lebih mengarah pada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, dananya terbatas.

Kami sempat mengajukan pada PNM, sekian milyar rupiah. Kami bisa dapat garam di atas 200 ribu ton. Kami gunakan dari keuntungan untuk garam rakyat juga. Mudah-mudahan cash flow baik, kami bisa gunakan keuntungannya untuk penyerapan garam rakyat.

Untuk PT Garam sendiri, ada kah negara yang menjadi kiblat pergaraman dan kemudian akan mengadopsi teknologinya untuk performa garam nasional?

Yang pasti, sesuai arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, PT Garam harus segera mengawal kedaulatan garam. PT Garam segera studi banding terhadap teknologi yang paling maju di dunia. Saya sempat ke India. Ternyata musim di India bagus.

Kami akan studi banding ke China. Kami akan melihat on farm dan off farm di sana. Kami tertarik dengan keberhasilan China. Info yang saya terima, kapasitas produksi mereka sudah mencapai 58 juta ton per bulan. Untuk 58 juta ton, apa melalui on farm, solar evaporasi, melalui danau garam, tambang atau garam yang diciptakan murni pabrik, akan kami pelajari semuanya. Setelah itu proses selanjutnya menjadi kualitas yang bagus.

Saya belum punya bayangan, kalau ada inovasi di China. Memang ada teknologi berupa penciptaan air murni menjadi garam. Kita prioritaskan, kalau pengolahannya dengan next process setelah bahan baku. Setelah harvesting, washing, kami kan terus meningkat kualitasnya.

Jadi kombinasi on farm dan off farm penting untuk pergaraman. Kelemahan on farm, garam tidak bisa homogen. Sehingga kalau garam dicuci baru homogen. Sama seperti pohon mangga, satu pohon kan tidak semuanya manis. Sama seperti di ladang garam. Kita menciptakan garam, tidak menjamin prosentase hasil. Kualitas ini, karena heterogen.  Kita melakukan pencucian, itu SNI Indonesia. Garam wajib dicuci supaya homogen, selain meningkatkan kadar Natrium Klorida (NaCl), bersih bahan baku dan meningkatkan kualitasnya.

Bagaimana pembelajaran dari negeri lainnya yang juga hebat dalam pergaraman?

Saya sempat ke Australia. Saya sudah belajar, sampai mengetahui yang paling bagus dari matahari. Contoh Australia yang salinitasnya bagus dan dievaporasi dengan standard operating procedure PT Garam.

Dia menjadi garam dalam posisi 25-26 derajat bumi. Kristalisasi bisa diambil sebulan, tidak diambil sampai 20 tahun, bisa saja. NaCl semakin meningkat, ditreat apa pun, 1% kotoran, 97% garam, 3% berupa  besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), molibdenum (Mo) dan selenium (Se).

Jika tidak menutup diri dengan teknologi asing, apa terbuka juga dengan investasi asing?

PT Garam tidak anti asing. Investasi asing bisa untuk on farm mau pun off farm. Teknologi penciptaan air murni menjadi garam berhasil di China. Ini bisa menjadi prioritas alih teknologi di Indonesia. Proses selanjutnya, garam yang sudah dipanen bisa dicuci. Hal ini bisa meningkatkan kualitas garam. Keduanya, on farm dan off farm penting. Garam kan tidak homogen. Kualitas ini pasti heterogen, pasti dapat dilakukan washing, itu Standar Nasional Indonesia. Dulu kan ada keputusan presiden mengenai ketentuan bahwa garam wajib dicuci, sehingga homogen. Selain kadar NaCl meningkat, impurities lain hilang. Tapi impurities tidak hilang 100%.

Fenny YL Budiman