Upaya penolakan penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% terhadap komoditas primer pertanian, perkebunan dan kehutanan terus digulirkan asosiasi-asosiasi yang terkait dengan usaha perkebunan, pertanian dan kehutanan di dalam negeri.
Belum lama ini, sejumlah asosiasi seperti Asosiasi Ekportir Kopi Indonesia (AEKI), Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), Asosiasi Teh Indonesia (ATI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) serta Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA) menggelar pertemuan untuk bersatu menolak penerapan PPN 10% tersebut.
Upaya mereka menolak peraturan tersebut juga tidak sia-sia karena mendapat dukungan dari sejumlah kementerian terkait. “Sedikitnya ada empat kementerian yang mendukung upaya kami untuk menolak penerapan PPN tersebut,” ujar Ketua Umum AEKI, Irfan Anwar.
Menurutnya, empat kementerian mendukung keberatan sejumlah asosiasi terhadap kebijakan penerapan PPN 10% — setelah dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HM/2014 yang membatalkan sebagian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31/2007. Keempatnya adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dan UKM.
“Sementara Kementerian Keuangan belum bersedia memberikan dukungan bagi penghentian penerapan PPN tersebut,” ujarnya.
Irfan menegaskan, penerapan PPN 10% untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan tersebut selain merugikan para konsumen, yang paling terkena imbas besar adalah para petani. “Penerapan ini berdampak langsung terhadap para petani, mereka tidak mendapatkan kesejahteraan yang cukup,” ucapnya.
Selain itu, beberapa hal yang dinilai akan menjadi konsekuensi dari putusan tersebut adalah, menurunnya semangat para petani menghasilkan komoditas primer sehingga menurunkan jumlah produksi, dan dunia industri akan mengalami kekurangan pasokan.
“Ini juga akan mematikan industri dalam negeri, dan juga memperlemah daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional,” kata Irfan. Padahal, saat ini komoditas kopi Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan ekspornya setelah produsen utama kopi dunia, Brasil, sedang menghadapi masalah dalam budidaya kopinya.
Kebingungan
Menurutnya, adanya keputusan MA tersebut mengakibatkan kebingungan bagi pelaku usaha, dan juga dinilai akan memberatkan para eksportir yang membutuhkan modal kerja lebih besar untuk membayar PPN 10%, sementara bunga perbankan dalam negeri tidak kompetitif jika dibandingkan negara lain. “Pemerintah diharapkan bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan dalam waktu dekat,” tukas Irfan.
Dia mengungkapkan, saat ini produsen kopi kelas menengah bawah di dalam negeri sedang menghadapi tantangan keras dengan masuknya investor-investor besar yang mampu melakukan kegiatan promosi dan pemasaran secara besara-besaran karena dukungan dana yang besar.
Dalam PP Nomor 31/2007 tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan PPN. Namun, putusan MA Nomor 70P/HM/2014 membatalkan sebagian isi PP tersebut, yakni pasal 1 ayat 1 huruf c (barang hasil pertanian), Pasal 1 ayat 2 huruf a (Barang Hasil pertanian, perkebunan, dan Kehutanan), Pasal 2 ayat 1 huruf f barang hasil pertanian, dan Pasal 2 ayat 2 huruf c (Barang Hasil Pertanian). Dengan demikian, barang-barang itu dikenakan PPN kembali.
Berdasarkan putusan MA tersebut, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor 24/PJ/2014 yang mengatur pemberlakuan pengenaan PPN atas produk pertanian dan perkebunan terhitung tanggal 22 Juli 2014.
Desak Kadin
Ini yang memicu protes asosiasi. Itu sebabnya, langkah pertama yang dilakukan asosiasi menolak penerapan PPN 10% itu adalah meminta pemerintah menghentikan pungutan PPN 10% tersebut. Selain itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk mengajukan permohonan ke MA untuk membatalkan penerapan PPN itu. Selain itu, ini yang penting, asosiasi-asosiasi tersebut juga akan meminta Kadin untuk mengajukan permohoan pembatalan ke MA.
Permintaan kepada pemerintah telah dilakukan Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) yang pada tanggal 25 Agustus 20014 lalu telah melayangkan surat kepada MA, Presiden RI Susilo BambangYudhoyono dan Menko Perekonomian Chaerul Tanjung yang berisi penolakan atas keputusan MA No. 70P/HUM/2013.
Ketua Umum Gapkindo, Daud Husni Bastari menjelaskan, PP No. 31 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai merupakan peraturan yang sangat berpihak kepada petani kecil/rakyat yang menghasilkan barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan.
Dia mengatakan, perkebunan karet rakyat skala kecil mayoritas dikelola atau diusahakan masyarakat petani dalam bentuk usaha perorangan yang meliputi 85% produksi karet Indonesia. Sisanya, 15% produksi lainnya dikelola atau dihasilkan perusahaan perkebunan besar, sehingga PP 31/2007 yang membebaskan PPN terhadap barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan merupakan kebijakan yang tepat dalam memberikan perlindungan kepada pelaku usaha perkebunan skala kecil.
“Uji materi yang diajukan Kadin Indonesia hanya mewakili dunia usaha. Sebagai penghasil barang pertanian, perusahan besar ini keterwakilanya hanya 15%. Dengan begitu, mayoritas perkebunan yang dikelola oleh petani justru tidak terwakili kepentingannya dalam substansi uji materi terhadap PP 31/2007 tentang PPN,” tegas Daud.
Asosiasi Petani Kakao Indonesia juga menyatakan akan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait putusan MA tersebut. Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia, Arief Zamroni menilai keputusan tersebut akan sangat berdampak pada kelangsungan usaha petani akibat tekanan harga yang dibebankan pengusaha. “Keputusan ini akan memukul telak karena memberatkan petani. Kami akan menyurati Presiden untuk meninjau ulang agar aturan itu tidak diberlakukan,” katanya.
Dia mengatakan, pengajuan uji materi yang dilakukan Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia tersebut pada awalnya ditujukan untuk komoditas kelapa sawit, namun ternyata MA memutuskan untuk mengenakan kepada beberapa produk lainnya seperti kakao, kopi, biji pala, biji mete, lada, cengkeh dan getah karet.
Menurutnya, hal tersebut akan berpengaruh pada penurunan daya saing komoditas kakao dalam negeri. “Produksi pertanian kita akan semakin melemah. Kalau ini sangat merugikan tentu untuk kakao akan beralih ke komoditas lain,” jelasnya.
Tanda-tanda beralihnya kegiatan usahatani sudah terlihat pada komoditas teh. Berdasarkan data Asosiasi Teh Indonesia (ATI), saat ini sudah ada beberapa petani atau perusahaan pengelola kebun teh yang mengkonversi lahannya menjadi lahan budidaya komoditas lain.
Gapki bantah
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Fadhil Hasan membantah jika asosiasinya dikatakan sebagai inisiator pengajuan uji materil ke MA. “Soal PPN 10% itu bukan GAPKI yang mengajukan, tetapi dari Kadin yang minta,” katanya.
Walaupun begitu, Fadhil mengakui bisa saja perusahan-perusahaan kelapa sawit yang juga anggota Gapki, mengajukan usul uji materi tersebut. “Tetapi kalau dari Gapki sebagai asosiasi, tidak ada,” paparnya.
Sedangkan Ketua Umum Kadin Indonesia, Suryo Bambang Sulisto mengaku belum mendapatkan keberatan atau penolak dari asosiasi-asosiasi yang merasa dirugikan dengan adanya penerapan PPN 10% terhadap komoditi primer itu.
“Saya belum mendengar soal itu (keberatan Asosiasi terkait penerapan PPN 10%). Tapi yang jelas, PPN 10% itu kan tujuannya baik untuk mendorong industri hilir sehingga produksi dalam negeri memiliki nilai tambah,” ucapnya. E.Y Wijianti/B Wibowo