Turun, Tapi Masih di Atas HPP

Pada tahun 2016 ini, Perum Bulog (Persero) menargetkan pengadaan beras hingga 3,9 juta ton dari petani. Target tersebut terdiri dari pengadaan beras medium untuk penugasan pemerintah (public service obligation/PSO) sebanyak 3,2 juta ton, dan 700.000 ton beras premium dengan skim komersial.

Dari target tersebut, hingga 31 Maret 2016, penyerapan beras oleh Perum Bulog baru mencapai 154.189 ton setara beras. Padahal, masa panen raya hanya tinggal dua pekan lagi.

Walaupun penyerapan masih rendah, namun Dirut Perum Bulog Djarot Kusumayakti tetap yakin pada musim panen ini pihaknya bisa menyerap beras sebanyak 2-3 juta ton. “Harapannya, ya 2-3 juta ton,” ujar Djarot, usai mengiktui rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, pekan lalu.

Menurutnya, saat ini beras atau gabah masih terus berdatangan ke gudang-gudang Bulog. Selain itu, untuk meningkatkan penyerapan, Bulog juga terus meningkatkan kontrak pembelian beras dengan mitra Bulog di daerah-daerah.

Dengan target penyerapan yang cukup besar pada musim rendeng (hujan) ini, Djarot yakin Indonesia tidak perlu impor beras. Apalagi, saat ini stok beras yang dimiliki Perum Bulog mencapai 1,5 juta ton. “Sementara belum perlu, kan panen raya,” ucapnya.

Turun, tapi masih di atas HPP

Yang jadi pertanyaan, mengapa pengadaan beras Bulog begitu seret? Badan Pusat Statistik (BPS) punya jawaban. Menurut BPS, masih minimnya volume beras yang diserap Bulog hingga akhir Maret 2016 ini terjadi akibat harga Gabah Kering Panen (GKP) di pasaran masih di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Kepala BPS, Suryamin dalam paparannya akhir pekan lalu menyatakan, meskipun harga GKP di tingkat petani turun hingga 9,76%, namun secara nominal rata-rata harga GKP nasional mencapai Rp4.703/kg. Harga GKP ini jauh lebih tinggi dari HPP yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp3.700/kg.

“Dengan kondisi ini, yang dikhawatirkan Bulog enggak bisa beli. Yang beli, ya yang mampu beli (pedagang),” ujarnya.

Suryamin juga menyebutkan, kendala Perum Bulog dalam menyerap beras adalah anggaran yang dialokasikan untuk Bulog menyerap gabah petani sudah dipatok dalam APBN. “Kalau Bulog enggak mampu beli, nanti cadangan beras pemerintah untuk operasi pasar — kalau ada kenaikan harga — akan terganggu,” kata Suryamin khawatir.

BPS sendiri mencatat, sepanjang Maret 2016 harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sudah turun hampir 10%, tepatnya 9,76 % jika dibandingkan dengan harga GKP bulan Februari 2016.

Namun, penurunan yang cukup signifikan itu tidak tercermin pada harga beras di tingkat penggilingan, di mana harga beras di tingkat penggilingan pada periode yang sama hanya turun 1,84%. “Bahkan, penurunan harga beras di level pedagang grosir lebih rendah lagi, hanya 0,44%  dan penurunan harga di tingkat pedagang eceran sebesar 0,56%,” paparnya.

Dikatakannya, harga beras di tingkat penggilingan mengalami penurunan di semua jenis beras, yakin kualitas premium, medium, dan rendah. Harga beras kualitas premium turun 2,18%, kualitas medium turun 1,84%, sementara kualitas rendah turun 2,17%.

Pada bulan Maret, walaupun panen raya sudah tiba, harga beras kelas medium masih stabil tinggi. Bahkan, harga beras jenis IR 54 I yang pada awal Februari hanya mencapai Rp10.000/kg, pada awal Maret mengalami kenaikan menjadi Rp10.300/kg. Begitu juga dengan beras jenis IR 64 III. Jika pada awal Februari harganya Rp 8.200/kg, maka pada awal Maret harganya melonjak menjadi Rp8.300/kg, sedangkan harga beras jenis IR 64 II tetap stabil di posisi Rp9.200/kg, baik untuk awal Februari maupun awal Maret.

Namun, seiring dengan banyaknya daerah yang mulai panen, harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang sepanjang Maret hingga awal April menunjukkan tren penurunan. Pada 1 April 2014, harga beras IR 64 I berubah menjadi Rp9.900/kg, sementara beras jenis IR 64 II dan IR 64 III juga mengalami penurunan dengan masing-masing berada di posisi Rp8.900/kg dan Rp8.100/kg.

Sementara untuk stok beras yang ada di Pasar Induk Cipinang, pada akhir Januari mencapai 33.466 ton. Namun, pada periode Februari, pemasukan beras ke pasar tersebut mengalami peningkatan dibandingkan pengeluaran sehingga stok beras yang ada pada akhir Februari mencpai 53.146 ton.

Sedangkan pemasukan beras ke pasar tersebut selama Maret cenderung menurun sehingga stok pun tergerus karena pemasukan jauh lebih kecil dari pengeluaran beras. Data Pasar Induk Beras Cipinang menunjukkan kalau stok beras yang ada di pasar itu pada akhir Maret mencapai 36.693 ton. B Wibowo

Kuasa Besar Pedagang Perantara 

Kinerja penyerapan beras Bulog bukan persoalan enteng. Pasalnya, lembaga ini adalah benteng terakhir yang menjaga stabilitas harga beras tetap terjangkau. Dengan kinerja serapan per 31 Maret 2016 baru 154.189 ton, berarti target pencapaian 3,2 juta ton beras medium dan 700.000 ton beras premium sampai akhir tahun bisa terancam gagal.

Kegagalan ini bisa berakibat fatal. Setidaknya, pemerintah bakal kesulitan menjaga stabilitas harga. Dan ini tentu punya dampak sosial dan politis yang tinggi, mengingat beras makanan pokok. Itu sebabnya, pengamat ekonomi pertanian M. Husein Sawit mendesak agar penyerapan beras ditinjau ulang.

“Pemerintah kan meminta agar Bulog menyerap gabah petani. Persoalannya, bagaimana dengan infrastruktur dan tenaga di Bulog? Yang ada malah terjadi konflik. Semakin didorong, maka semakin sedikit serapan Bulog,” ujar Husein Sawit kepada Agro Indonesia.

Menurutnya, yang menguasai beras adalah pedagang perantara dan pedagang desa. Mereka ini paham soal kualitas gabah petani dan membelinya pun di tengah sawah. “Jika Bulog turun tapi tidak menggunakan mereka, Bulog sudah pasti sangat kesulitan. Jangankan Bulog, penggilingan besar saja tidak mampu membeli gabah tanpa mereka,” papar Husein.

Selain itu, petani di sejumlah wilayah menjual padinya dalam bentuk tebasan. “Nah, biasanya para penebas itu juga merangkap sebagai pedagang,” tambah Husein.

Jadi, kalau ingin meningkatkan serapan, berarti Bulog harus menambah tenaga lapangan. Selain itu, Bulog juga harus memiliki mesin pengering (dryer). Ini yang belum optimal. Kalau ini bisa diatasi, maka baru melakukan kerjasama dengan para pedagang perantara. “Mereka jangan dimatikan karena mereka kan UKM. Yang harus diberantas adalah preman-preman yang mengutip pungutan atas gabah yang diangkut,” paparnya.

Menurut Husein, untuk mengetahui kinerja serapan Bulog biasanya dihitung selama empat bulan dari Maret sampai Juni. Biasanya, jika Juni serapan beras mencapai 2,5 juta ton, maka pengadaan Bulog aman. Pasalnya, sampai Juni serapan Bulog berkisar antara 75%-80% dari total pengadaan.

“Tapi jika di bawah 1,5 juta ton, bahkan tak sampai 1 juta ton, angka itu tidak aman. Dengan kata lain, tiap bulannya serapan Bulog harus sekitar 600.000 ton hingga mencapai 2,5 juta ton pada Juni. Tapi angka serapan per 31 Maret ternyata baru 154.000 ton, ini agak riskan,” tandas Husein.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pola panen padi sendiri dalam tiga tahun terakhir relatif sama. Puncak serapan tertinggi memang terjadi pada Maret dan menurun terus dan melandai sampai Juni (musim tanam Oktober-Maret). Panen meningkat lagi pada Juli-September, di mana puncaknya terjadi pada Agustus (musim tanam April-September).

Jadi, mengikuti pola yang ada, puncak panen harusnya terjadi pada Maret. Namun, mengingat musim tanam sempat mundur akibat El Nino, bisa jadi panen puncak terjadi April ini. Hanya saja, yang perlu diwaspadai, BMKG memperkirakan musim kemarau tahun ini juga datang lebih cepat. Jika benar, siap-siap serapan Bulog benar-benar mampet. AI