Persoalan sampah plastik yang menggunung ternyata bisa diatasi dengan mudah oleh warga Bantul.
Bank Sampah Gerbang Pilah di Padukuhan Siten, Kelurahan Sumbermulyo, Kapanewon Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Yogyakarta yang diketuai Suratno bisa mengolah residu sampah plastik menjadi bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Sampah plastik diproses menggunakan alat yang bernama Pirolisis, yaitu sebuah alat yang menerapkan teknologi penyulingan untuk mendapatkan uap dari hasil pembakaran plastik. Uap itulah yang menjadi minyak tanah sebagai bahan bakar kompor.
Minyak yang dihasilkan dari hasil penyulingan residu sampah ini bukan hanya bisa digunakan untuk memasak kebutuhan sehari-hari tapi juga bisa dijual yang memberi masukan tambahan penghasilan bagi anggota Bank Sampah tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Suratno sebagai motor dari bank sampah patut diacungi jempol dan layak untuk ditiru masyarakat dalam mengatasi persoalan sampah. Bagaimana Suratno melakukan aktivitas ini, Agro Indonesia berkesempatan memancarainya.
Bagaimana awal mulanya?
Waktu itu saya hanya pemulung rongsokan dari tahun 2008. Karena tidak ada pekerjaan setelah gempa dan puing-puing korban gempa banyak sekali, terutama sak semen. Saya mulai berfikir mengumpulkan itu, dan menjual kembali. Pertama kita jual milik kita sendiri lalu mulai saya beli dari tetangga, dari tempat lain. .
Waktu mengumpulkan itu, mulai terlintas sampah plastik bisa dijadikan minyak?
Belum. Itu terjadi tahun 2019 riset dari Universitas Janabadra Yogyakarta. Sebelumnya tahun 2017 untuk mengatasi sampah yang ada disekitar kita, kita membentuk bank sampah yang kita beri nama Bank Sampah Gerbang Pilah. Bank sampah kita boleh dibilang aktif, sampah-sampah tidak pernah menumpuk bahkan tidak pernah sampai di Piyungan tempat penampungan sampah. Kita memilah sampah yang layak dijual. Tapi ternyata tidak semua sampah layak dijual dan bisa dimanfaatkan, ada yang tersisa, residu sampah.
Pada tahun 2019 kita diundang di desa yang intinya mengungkapkan apa-apa tentang kendala-kendala usaha. Hadir di pertemuan itu Bapak Agus Mulyono dosen Universitas Janabadra. Saya ditanya usahanya apa, rongsok. Dan saya sampaikan residu yang sifatnya tidak bisa dijual, tidak bisa dimanfaatkan berupa plastik-plastik, kresek dan sebagainya, bagaimana solusinya. Beliau bilang akan cari info bagaimana mengatasi plastik residu itu ke rekan-rekan lain. Dan ada rekan beliau Ir Samsiro yang baru pulang dari Jepang, menjelaskan, bahwa plastik itu kalau dibakar nyalanya seperti minyak tanah. Berarti itu bahannya bisa diubah jadi minyak tanah atau BBM. Dari situ dia mengenalkan alat yang namanya Pirolisis. Alat ini direkomendasikan oleh Universitas Janabadra disumbangkan ke bank sampah kami. Pirolisis itu untuk memasak plastiknya. Plastik dipanasi sampai 400 oC kemudian uapnya dimasukkan ke kondensator, (proses kondensasi) penyulingan, didinginkan dengan air akhirnya menetes jadi minyak.
Bagaimana hasilnya?
Pak Samsiro bilang hasilnya 80% dari bahan pokok. Jadi misal berat bahan 10 kg jadi 8 liter. Sudah diperhitungkan dengan rumus kimia. Tapi praktiknya tidak bisa sampai segitu. Saya coba mentok hanya dapat 12 liter dari bahan 20 kg. Jadi sekitar 50-60%. Dan itu ternyata tergantung bahannya. Kalau bahannya bersih, plastik bersih bisa mencapai kira-kira segitu. Tapi kalau harus plastik bersih tambah tenaga lagi. Jadi tidak kita bersihkan, yang penting itu tidak menjadi residu lagi.
Plastik kan macam-macam, ada botol minuman, ada kresek, kresek pun ada warna merah, hitam, putih dsb, itu semua plastik terpakai?
Yang kita olah hanya kresek saja, dan dari label-label botol minuman. Botol minumannya lebih baik kita jual karena laku lebih cepat jadi uang. Yang dibuat minyak tidak bisa dimanfaatkan untuk membuang residu, yang betul-betul tidak bisa dimanfaatkan, menjadi bisa dimanfaatkan. Kuncinya itu.
Ada keuntungan secara ekonomi?
Kalau kita perhitungkan dengan cara seperti itu, secara ekonomi ada keuntungan. Dengan menggunakan gas yang 3 kiloan, 1 tabung itu pas untuk memasak 20 kg residu sampah.
Bisa pakai kayu bakar tapi pemanasannya kurang. Kalau pakai arang batok kelapa pemanasan cukup tapi mahal. Solusinya pakai gas. Harga gas Rp20 ribu.
Untuk bahan 20 kg jadi minyak minimal 10 liter. Kalau dijual per liter Rp10 ribu ada masuk Rp100 ribu, dikurangi untuk gas. Kita masak seminggu sekali atau menunggu bahan sampai kurang lebih 20 kg Sesuai kapasitas mesin. Kalau dilihat daripada terbuang sia-sia itu menguntungkan sekaligus itu mengurangi pencemaran.
Sampai proses selesai butuh waktu berapa lama?
Kurang lebih 5 jam. Lebih tepatnya kalau sudah tidak menetes lagi. Sebab kalau sudah tidak menetes masih masak otomatis pemanasan muspro (percuma), tidak ada yang terbakar.
Karena itu kerja Bank Sampah berarti hasil milik semua?
Ya. Tapi minyaknya tidak diberikan gratis. Anggota atau warga lain yang perlu bisa membeli. Kita jual botol kecil per per liter Rp11.000. Anggota membeli minyak tersebut dan uang masuk kembali ke bank sampah, untuk biaya operasional lagi juga untuk menggaji anggota yang kerja.
Digaji?
Ya. Kita ada sistem gaji, yang masuk kerja dapat gaji dihitung harian. Kita juga ingin membuat anggota bank sampah ini bisa dapat penghasilan dan sejahtera. Kerjanya antara lain memilah sampah, memasak residu juga. Omset bank sampah kita Rp5-6 juta per bulan yang kita pakai untuk operasional, belanja dan gaji.
Harapan ke depan?
Pemerintah bisa menfasilitasi atau membuatkan inovasi mesin seperti ini dengan kapasitas lebih besar, sehingga bisa mengatasi masalah sampah yang ada. Kalau mesin yang ada disini kan hanya mengatasi rongsok dari saya dan warga sini, kalau rongsok-rongsok tempat lain? Masih banyak di tempat penampungan sampah, rongsok masih ada yang dibakar. Itukan residunya membuat pencemaran lingkungan. Kalau di tiap bank sampah, di beberapa tempat dibuatkan alat seperti ini, itu bisa membantu mengatasi residu sampah. Kerjanya juga tidak terlalu menyita waktu. Saat diproses, bisa ditinggal, tidak harus ditunggui lama, masukkan bahan ke alat itu, nyalakan kompor, ditinggal, dipantau sewaktu-waktu. Kalau gas nya sudah habis, atau sudah tidak menetes lagi, proses selesai.
Visi Misi?
Masa depan harus lebih baik dari sekarang. Misinya pekerjaan yang kecil ini bukan hanya bisa mensejahterakan pelaku itu sendiri, bisa untuk anggota,untuk masyarakat sekitar dan lingkungan juga untuk anak cucu. Kalau kita pikir lagi, kita itu ceroboh dengan sampah. Banyak pencemaran plastik Jadi kita harus bisa menyelamatkan lingkungan dan masa depan anak cucu kita. Mengembalikan seperti dulu.
Dari segi sosialnya peduli dengan lingkungan hidup, peduli dengan hal itu. Karena tanah ini bukan warisan dari nenek moyang untuk kita. Tapi titipan buat anak cucu. Pemikirannya kan harus seperti itu. Anak cucu kita jangan sampai menerima sampah, terima yang bersih. Kalau kita berpikir tanah warisan dari nenek moyang untuk kita, konotasinya warisan itu bisa sesukanya mau diapakan, sepertinya itu harta karun, terserah kita mau gunakan untuk apa. Anak cucu tidak dipikir. Tapi kalau itu sebagai titipan, itu berarti punya anak cucu besok, berarti itu harus dijaga dirawat supaya anak cucu tetap bisa menikmati.
Anna Zulfiyah