Sutera sejak lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan berbagai suku di Indonesia. Dikenal memiliki keindahan dan serat yang halus membuat sutera bisa diolah menjadi berbagai jenis produk sandang, seperti kain tenun, batik, kebaya, hingga sarung yang khas dan berkelas.
Sayangnya, sebagian besar kebutuhan benang sutera nasional masih mengandalkan impor. Dari sekitar 800-900 ton kebutuhan benang sutera nasional, sekitar 95%-nya berasal dari impor, terutama dari China dan Jepang.
Padahal, Indonesia punya potensi besar untuk bisa swasembada, bahkan menjadi eksportir sutera. Beberapa syarat yang dibutuhkan pun sudah dimiliki Indonesia. Secara geografis dan geologis, Indonesia punya iklim dan kondisi lahan yang sangat sesuai untuk pembudidayaan ulat sutera (Bombyx mori). Dengan permintaan pasar yang besar, maka budidaya ulat sutera bisa menjanjikan penghasilan bagi petani, terutama yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Bagi masyarakat yang berminat dengan sutera, mereka bisa belajar ke lembaga pelatihan dan pemagangan wanawiyata widyakarya Kelompok Tani Hutan (KTH) Bina Mandiri di Desa Sukamaju, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
“Kami telah membudidayakan ulat sutera selama sekitar 14 tahun,” kata Haji Edi Yusuf, Ketua KTH Bina Mandiri.
Edi, yang tahun 2019 lalu mendapat penghargaan Innovation Award dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dikenal memiliki kegigihan dan pantang menyerah untuk mengembangkan usaha budidaya ulat sutera di Sukabumi. Edi dan anggota kelompoknya pun dengan senang hati mau berbagi ilmu dan pengetahuannya.
Terlanjur cinta
Kisah Edi bergelut dengan budidaya ulat sutera dimulai pada tahun 2003. Saat itu, dia baru saja kehilangan pekerjaannya di sebuah perusahaan penghasil benang sutera karena berhenti beroperasi. Edi yang sudah terlanjur cinta tetap berniat untuk mengembangkan budidaya ulat sutera.
Berbekal pengalaman dan keahliannya, dia memilih Kadudampit sebagai lokasi pengembangan ulat sutera bersama dengan petani yang pernah menjadi mitra perusahaan tempat kerjanya dulu.
Tekad Edi semakin kuat setelah bertemu dengan mantan customer di tempatnya bekerja dulu. Sang mantan pelanggan itu menyatakan bersedia menjadi mitra kerja. Edi juga menjalin kerja sama dengan petani mitra di Cikidang, Kabandungan, Gegerbitung, dan Nyalindung.
Edi juga mendapat dukungan dari penyuluh kehutanan dan Dinas Kehutanan. “Tahun 2006 terbentuklah KTH Bina Mandiri,” kata Edi. Belakangan, sebuah perusahaan industri kain sutera menjalin kerja sama dan siap menampung produksi yang dihasilkan.
KTH Bina Mandiri disokong penuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Termasuk untuk mendapat bibit ulat sutera dan tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera.
Asal tahu, KLHK telah mengembangkan hibrid (keturunan) jenis ulat sutera unggul yang bisa menghasilkan benang sutera berkualitas tinggi. Awalnya, ada varietas BS yang dilepas dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 369/Menhut-II/2004 pada 8 Oktober 2004. Varietas ulat sutera itu kemudian disempurnakan lagi menjadi PS 01 dan diluncurkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 794/Menhut-II/2013 pada 13 November 2013.
Varietas PS 01 bisa menghasilkan filamen sutera yang bagus dan produktivitasnya tinggi, meski dibudidayakan dengan dalam kondisi tidak optimal, persis pada kondisi pembudidayaan yang umum dilakukan petani.
KLHK juga telah menghasilkan tanaman murbei unggul sebagai pakan untuk ulat sutera, yaitu varietas SULI. Produk ini telah diluncurkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 793/Menhut-II/2013 pada 13 November 2013. SULI memiliki produktivitas yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan berbagai kondisi alam di Indonesia.
Menguntungkan
Edi menjelaskan, ada sekitar 25.000 butir telur dalam satu boks paket pemeliharaan ulat sutera. Dalam satu boks bisa menghasilkan sekitar 38-40 kg kokon (kepompong) ulat sutera. Kokon ini yang akan diambil seratnya untuk dijadikan benang sutera oleh industri.
Untuk kebutuhan pakan, dibutuhkan sekitar 850 kg daun murbei. Tanaman murbei bisa dipelihara di lahan seluas 1 hektare (ha) dengan pola tumpang sari. “Saat ini harga 1 kg kokon sekitar Rp41.000,” kata Edi.
Dia melanjutkan, siklus budidaya ulat sutera tidaklah panjang. Dari awal pemeliharaan sampai panen bisa dilakukan dalam waktu sekitar 27-30 hari. Modal yang dibutuhkan sekitar Rp150.000 saja untuk satu kali siklus budidaya. “Dalam setahun bisa dilakukan 8-10 kali pemeliharaan,” katanya.
Edi menuturkan, dalam satu kali siklus pemeliharaan, omset yang bisa diperoleh petani sekitar Rp2,5 juta. Ini berarti dalam setahun, petani bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp20 juta dari budidaya ulat sutera saja. Pendapatan total akan jauh lebih besar dengan memperhitungkan panen dari komoditas lain yang dihasilkan di areal tumpang sari.
Aan Supriyatna, petani mitra dari KTH Bina Mandiri menambahkan, budidaya ulat sutera sungguh bisa diandalkan. Dalam 0,5 ha lahan tanaman murbei, petani sudah bisa memelihara 2 boks ulat sutera.
Hanya saja, kata dia, butuh ketelatenan dalam budidaya ulat sutera, terutama untuk memberi pakan. Pasalnya, ulat sutera butuh banyak makan sebelum melakukan proses metamorfosis menjadi kepompong. Namun Aan menyatakan, meski butuh ketelatenan, namun budidaya ulat sutera sesungguhnya sangat mudah. “Ibaratnya, kita tidur pun digaji oleh ulat,” kata Aan, yang keempat anaknya bisa bersekolah hingga perguruan tinggi berkat budidaya ulat sutera.
Edi menuturkan, kunci keberhasilan budidaya ulat sutera adalah ketersediaan daun murbei. Dengan memiliki kebun murbei sendiri, maka biaya produksi dapat ditekan. Dia juga menyatakan pentingnya menjaga kebersihan kandang. Terutama saat ulat masih kecil pada umur 0-12 hari.
“Ulat sutera kecil tidak tahan terhadap bau-bauan, misalnya bau rokok dan parfum. Sehingga orang atau pekerja yang masuk kandang tidak boleh mengandung aroma tersebut,” katanya.
Edi menyatakan akan terus mengembangkan usaha budidaya ulat sutera. KTH Bina Mandiri yang dipimpinnya telah ditetapkan sebagai lembaga pelatihan dan pemagangan usaha kehutanan swadaya (LP2UKS) wanawiyata widyakarya oleh Pusat Penyuluhan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) KLHK pada tahun 2015.
Sebagai wanawiyata widyakarya, KTH Bina Mandiri mendapat dukungan sarana dan prasarana. KTH Bina Mandiri diharapkan bisa mentrasfer ilmu pengetahuannya ke masyarakat lain melalui pelatihan dan pemagangan, sehingga muncul wirausahawan-wirausahawan baru.
Edi menuturkan, berkat dukungan dan dampak dari kegiatan pemagangan juga, KTH Bina Mandiri telah bermitra dengan 8 kelompok tani yang tersebar di wilayah Sukabumi dan Cianjur.
Jika semakin banyak kelompok tani yang berlatih dan magang di wanawiyata widayakarya, harapan untuk memacu produksi sutera nasional bukanlah pepesan kosong. Di masa datang, impor sutera yang menguras devisa pun bisa dikurangi. AI