“Yang Menang Laksamana Cheng Ho”

Masa depan Kementerian Kehutanan di ujung tanduk. Instansi yang selama ini memegang otoritas untuk mengelola lahan seluas 130,6 juta hektare (ha) atau sekitar 67% dari total luas daratan di Indonesia, bakal kehilangan taringnya. Manggala Wanabhakti, kantor pusat Kemenhut yang megah, ramai dengan banyak pengusaha mondar-mandir mengurus perizinan pun boleh jadi bakal senyap.

Situasi itu bakal terjadi jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sepenuhnya tuntutan pengujian Undang-undang (UU) No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Dipimpin Isran Noor, Apkasi juga mengugat uji materi UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Dikabulkannya tuntutan Apkasi bakal menjadikan kewenangan Kemenhut terpangkas, hanya di hutan lindung dan kawasan konservasi, yang relatif tak bisa diutak-atik. Sementara kewenangan di kawasan hutan produksi yang mendominasi dari total kawasan hutan dengan luas 77,4 juta hektare (60%), dan selama ini menjadi tempat utama berbagai perizinan kehutanan, bakal dialihkan ke pemerintah daerah.

Sidang pendahuluan gugatan uji materi itu sudah digelar, Rabu (3/9/2014).  Kuasa hukum Apkasi, Yusril Ihza Mahendra menyatakan, UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 pasca amandemen dan UU lainnya seperti UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Khususnya pasal menyangkut proses perizinan dan pemanfaatan kawasan hutan,” katanya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Muhammad Alim.

Pasal yang digugat masing-masing Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), (2), Pasal 38 ayat (2), (5), Pasal 50 ayat (3) huruf g, dan Pasal 66 ayat (1), (2), (3) UU Kehutanan.

Yusril menyatakan, pemerintah kabupaten yang lebih tepat mengelola hutan, bukan pemerintah pusat seperti yang dicantumkan dalam UU Kehutanan dan UU Pemerintahan Daerah. Sebab, di tengah keragaman Indonesia yang begitu besar, Pemerintah dianggap tidak mungkin menyelenggarakan kekuasaan negaranya secara sentralistis.

Terlebih, sebagian besar hutan di Indonesia berada di wilayah kabupaten, terutama hutan yang berada di daerah luar Pulau Jawa. Para bupati dianggap lebih mengetahui keadaan hutan di daerah yang dipimpinnya dibanding presiden dan menteri kehutanan yang mewakili pemerintah pusat.

Selain itu, UU Kehutanan juga dianggap berbenturan dengan UU Pemerintahan Daerah. Sebab, dalam UU Pemda dan UUD 1945 justru dinyatakan Pemda berwenang menjalankan kewenangannya melakukan pemerintahan di daerah. UU Kehutanan pun dianggap tidak mewakili isi UUD 1945 pasca amandemen yang penuh semangat perubahan.

Menurut Yusril, UU Kehutanan disahkan pada masa peralihan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan Reformasi di bawah Presiden BJ Habibie. Tidak heran bila ketentuan tentang hutan sebagai sumber daya alam yang dikuasai oleh negara saat itu dipahami dikuasai oleh pemerintah pusat dan menteri kehutanan. “Pada saat itu sama sekali tidak membicarakan tentang kewenangan pemerintahan daerah,” katanya.

Belakangan, setelah berlaku UU Pemerintahan Daerah, muncul beberapa peraturan-peraturan pemerintah yang menyebutkan adanya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam hal menjalankan pemerintahan di bidang kehutanan itu berbagi kewenangan antara pusat dan daerah. “Namun, penerapannya sampai sekarang kewenangan dari pemerintah pusat dalam hal ini dari kementerian kehutanan sangat besar sekali,” katanya.

Siapkan tim kuat

Kemenhut sendiri mengaku sudah bersiap menghadapi gugatan yang diajukan Apkasi. Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto mengungkapkan, sudah ada tim kuat untuk bertarung di sidang MK. Yang menarik, tim juga melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk merespon tuntutan Apkasi. “Kami punya dukungan dari KPK, untuk memastikan wewenang pemerintah pusat terhadap kawasan hutan tidak terlepas,” katanya.

Dukungan moral dari KPK memang menambah tebal rasa percaya diri Kemenhut menghadapi persidangan di MK. Maklum, selama ini MK selalu mengabulkan tuntutan uji materi UU Kehutanan, meski hanya sebagian. Sebut saja uji materi soal penetapan kawasan hutan, hutan adat, maupun soal pengakuan atas hak masyarakat.

Hadi sendiri menilai, catatan dikabulkan sebagian dari uji materi UU di MK bukan berarti kekalahan bagi Kemenhut. Sebab, pada faktanya, MK tetap mempertahankan peran pemerintah pusat. “Jadi, kami optimis menghadapi tuntutan Apkasi,” katanya.

Apalagi, sejarah buruk pemberian izin pengelolaan hutan pernah tercatat di awal reformasi. Lewat SK Menhutbun No.310/Kpts-II/1999 tertanggal 7 Mei 1999, pemerintah pusat memberi kewenangan bupati kepala daerah tingkat II mengeluarkan izin “HPH mini”, yakni Hak Pemungutan Hasil Hutan maksimal seluas 100 hektare dengan jangka izin 1 tahun.

Namun, yang terjadi kemudian, izin diberikan serampangan dan menjadi pemicu hancurnya hutan di Indonesia. Tak sampai setahun, aturan itu dibetot lagi oleh menteri kehutan dan perkebunan lewat SK 084/Kpts-II/2000 tanggal 13 April 2000. Sebagai informasi, Kemenhut mencatat bahwa laju deforestasi pada periode 1996-2000 mencapai 3,5 juta ha/tahun, yang merupakan rekor tertinggi. “Pengalaman itu seharusnya pelajaran. Bagaimana tata kelola hutan ketika diserahkan ke daerah,” kata Hadi.

Dia melanjutkan, buruknya tata kelola perizinan yang kini menjadi kewenangan bupati juga bisa dilihat pada sektor pertambangan. Bupati mengobral izin yang bukan hanya tidak prosedural, tapi juga ternyata tumpang tindih antar-izin, bahkan menabrak kawasan konservasi.

Hati-hati

Soal kewenangan pengelolan hutan bagi pemerintah daerah sebenarnya sudah diatur dalam  Pasal 66 UU Kehutanan, yang menyatakan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan diserahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal itu juga diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 soal adanya penyelenggaraan bagian pemerintahan yang bersifat concurrent atau bersama-sama.

Jadi, lanjut Hadi, pemerintah daerah sebenarnya sudah memiliki kewenangan dalam pengelolaan hutan. Terbukti, dalam setiap perizinan kehutanan, kepala daerah selalu dimintai rekomendasinya. “Tapi yang dituntut sepertinya soal kewenangan penerbitan izin,” katanya.

Ditanya soal munculnya tuntutan uji materi karena respon Kemenhut yang lamban memproses perizinan yang diajukan oleh pemerintah daerah, Hadi menyatakan pemerintah daerah boleh saja menuding hal itu. Namun, dia juga mengingatkan proses penerbitan perizinan di Kemenhut harus melalui proses kehati-hatian untuk mempertahankan kelestarian hutan.  “Menerbitkan IMB saja ada prosesnya, apalagi menyangkut hutan yang luasnya berhektare-hektare,” ujar Hadi.

Dia mengingatkan, Apkasi sejatinya tidak tepat mengajukan tuntutan uji materi ke MK. Pasalnya, organisasi itu bukanlah pemegang kewenangan pengelolaan hutan. Apkasi hanya wadah bagi para kepala daerah dan tidak punya legal standing untuk mengajukan uji materi.

Hadi melanjutkan, dengan kenyataan seperti itu, maka apa yang kini dituntut Apkasi di MK sebenarnya tak lebih dari pepesan kosong. “Yang menang cuma Laksamana Cheng Ho,” sindir Hadi merujuk kepada peran “Laksamana Cheng Ho” yang dimainkan Yusril Ihza Mahendra dalam film berjudul sama. Sugiharto