Kementerian Pertanian (Kementan) diimbau hati-hati dalam mengklaim surplus jagung hingga 12,92 juta ton akibat adanya luas panen jagung sekitar 5,3 juta hektare (ha).
Imbauan itu disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka), Yeka Hendra Fatika kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Dia mengatakan, secara logika, untuk memenuhi luas areal 5,3 juta ha tanaman jagung dibutuhkan benih sekitar 106.000 ton, dengan asumsi per hektare butuh 20 kg benih. Di sisi lain, kapasitas produksi benih jagung nasional tidak pernah melampui 60.000 ton.
Itu sebabnya, Pataka mengingatkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman agar pernyataan surplus jagung disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, terutama harga.
Dia menyebutkan, ketika Indonesia masih ada impor jagung, misalnya 3,2 juta ton pada 2015, sering ada keluhan harga jagung dalam negeri anjlok.
“Apabila surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung. Mereka bisa tidak mau menanam jagung lagi di musim berikutnya karena harga jagung yang jatuh tidak karuan,” tuturnya.
Hendra menjelaskan, apabila ada surplus jagung, pemerintah juga tidak perlu melalukan impor gandum untuk pakan. Faktanya, berdasarkan data Grain Report United States Department Agriculture, pemerintah justru membuka impor gandum untuk pakan 3,1 juta ton pada periode 2018. Angka ini meningkat dibanding tahun 2017, yang hanya 2,8 juta ton dan 1,8 juta ton pada 2016.
Seperti kasus beras, kondisi keragaan jagung menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan. Bukannya mendapat keuntungan dari keputusan menutup impor jagung yang dilakukan sejak 2016, negara justru mendapat kerugian.
Kerugian itu dihitung dari akumulasi kenaikan harga pakan rata-rata Rp1.200/kg.
Dengan memperhatikan akumulasi jumlah pakan ayam — layer (petelur) dan broiler (pedaging) — selama 2016-2018 sebesar 52,5 juta ton, maka kerugian akibat penerapan kebijakan pengendalian impor jagung mencapai Rp63 triliun.
Selain dari sisi ekonomis, industri juga mengalami kerugian ketika impor gandum untuk pakan. Dibanding dengan menggunakan jagung sebagai pakan, ternak yang mengkonsumsi gandum cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah.
“Jadi, importasi gandum untuk pakan jelas keliru karena sudah ada produk pakan lain yang lebih baik dan murah, yakni jagung,” ucap Hendra. Jamalzen