Oleh : Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)
DDalam perbincangan ringan dengan adik yang kebetulan menjadi anggota Direksi PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) Lhoksumawe, Aceh, seorang alumnus Teknik Elektro ITS, tiba-tiba muncul tiba tiba pertanyaannya yang menggelitik. Apa bedanya istilah rehabilitasi, reklamasi, restorasi dan recovery di bidang kehutanan?
Nampaknya dia sering mengikuti dan membaca perkembangan Taman Nasoinal (TN) Gunung Leuser yang wilayahnya mencakup provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagai pensiunan rimbawan yang sudah hampir tiga tahun tidak aktif bertugas lagi, saya menjelaskan bahwa jawaban ini cukup panjang dan hati hati karena menyangkut dengan peraturan perundangan dan tidak sekadar kontekstual tapi harus tekstual sesuai yang tertulis dalam pasal demi pasal berikut penjelasannya bila dimungkinkan.
Saya berjanji, suatu hari nanti bila adik bertugas lagi di Jakarta akan saya terangkan sesuai dengan tekstual maupun kontekstualnya setelah memperoleh bahan pustaka dan referensi yang dianggap cukup dan memadai.
Rehabilitasi Hutan
Dalam Undang undang No. 41/1999 tentang Kehutanan pasal 40 disebutkan bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif (pasal 41 ayat (1)). Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan. Rehabilitasi hutan dan lahan diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai, agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal. Rehabilitasi hutan bakau dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya. (Penjelasan pasal 41 ayat (1)).
Pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya. (Penjelasan pasal 41 ayat (2)).
Dalam penggunaan istilah dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan perlu berhati- hati karena terdapat pasal yang tidak memberlakukan kegiatan ini. Sebagai contoh belum lama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS KLHK menyebutkan bahwa pihaknya tahun 2019 ini menyiapkan anggaran Rp52 miliar untuk program rehabilitasi Cagar Alam Cycloop dan pemulihan Danau Sentani (harian Kompas, 24 April 2019). Pernyataan ini kurang cermat dan misleading (menyesatkan) karena dengan jelas dalam pasal 41 ayat (2) berikut penjelasannya mengatakan bahwa cagar alam tidak boleh/dilarang dilakukan kegiatan rehabilitasi. Pernyataan ini juga penulis tanggapi pada surat kepada redaksi dengan judul yang sama (harian Kompas, 31 Mei 2019).
Kegiatan rehabilitasi hutan telah dilaksanakan oleh pemerintah secara massal pada pemerintahan Orde Baru sejak terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Reboisasi dan Penghijauan tahun 1976 dan dilanjutkan pada era reformasi ini dengan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan hingga sekarang. Maksud dari kegiatan rehabilitasi hutan ini salah satunya adalah mengurangi luas lahan kritis dalam kawasan hutan dan menekan laju angka deforestasi yang makin cepat dan masif. Menurut data KLHK, deforestasi di Indonesia 0,63 juta ha (2016), 0,48 juta ha (2017), dan 0, 44 juta ha (2018). Sementara itu, lahan kritis dalam kawasan hutan yang masih tersisa hingga sekarang 14 juta ha yang tersebar Jawa 2,12 juta ha, Sumatra 4,5 juta ha, Kalimantan 2,8 juta ha, Sulawesi 1,8 juta ha, Papua 975 ribu ha, Bali dan Nusa Tenggara 953 ribu ha, dan Maluku 687 ribu ha.
Reklamasi Hutan
Reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kemballi lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya (UU No. 41/1999 pasal 44). Menurut PP No. 76/2008, reklamasi hutan dilakukan pada lahan dan vegetasi hutan pada kawasan hutan yang telah mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah akibat penggunaan kawasan hutan dan bencana alam. Yang dimaksud dengan perubahan permukaan tanah adalah berubahnya bentang alam pada kawasan hutan. Perubahan bentang alam sebagai akibat penggunaan kawasan hutan antara lain berupa pembangunan instalasi air, eksploitasi pertambangan, atau bencana alam, yang menyebabkan penurunan kualitas hutan secara ekonomi, sosial dan ekologi dalam keseimbangan ekosistem DAS. Yang dimaksud dengan perubahan penutupan tanah adalah berubahnya jenis-jenis vegetasi yang semula ada pada kawasan hutan.
Reklamasi hutan dapat dilakukan pada kegiatan bekas pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, instalasi air, kepentingan religi, kepentingan pertahanan keamanan, atau bencana alam. Reklamasi hutan akibat bencana alam dalam kawasan hutan dapat terjadi secara murni dan sebagai akibat kelalaian pemegang hak pengelolaan atau izin pemanfaatan hutan. Reklamasi hutan pada areal bencana alam dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Contoh reklamasi lahan sudah banyak dilakukan oleh perusahaan tambang di Indonesia. Salah satunya yakni tambang nikel PT Inco di Soroako, Sulawesi Tengah yang telah mengembangkan pohon unggulan seperti cempaka dan mahoni. PT Adaro Tbk yang merupakan perusahaan tambang batu bara di Kalsel juga berhasil melakukan reklamasi lahan tambangnya seluas 113 hektare itu kini bahkan sudah dihuni beberapa spesies. Di sana ada tiga kelompok bekantan. Setiap kelompok terdiri dari 15 hingga 20 ekor bekantan. Selain monyet berhidung panjang, ada 37 jenis burung yang menghuni areal tersebut.
Restorasi Hutan
Restorasi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam kegiatan pengawetan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Salah satu kegiatan pengawetan adalah pemulihan ekosistem. Pemulihan ekosistem dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
PP 28 tahun 2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam pasal 29 mengamanatkan bahwa tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem yang dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Restorasi dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain.
Sejak 2004, Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK) telah mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). Sebuah upaya mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya. Melalui kebijakan ini, hutan produksi dapat dikelola untuk dimanfaaatkan hasilnya mulai dari hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, serta pemanfaatan kawasan dan hasil hutan kayu setelah keseimbangan hayati dan ekosistemnya tercapai. IUPHHK-RE ini pula membuka peluang investasi baru di sektor kehutanan mengingat akan potensi ekonominya bagi pelaku usaha maupun masyarakat sekitar.
Dengan pengelolaan Restorasi Ekosistem, beberapa aspek lingkungan hidup dan kehutanan yang dapat diwujudkan. Sebut saja, membangun Indonesia dari pinggiran yang saat ini terdapat lebih dari 33.000 desa hutan atau mewujudkan kemandirian ekonomi serta ketahanan pangan dan energi. Disamping itu juga menunjukkan kehadiran negara dalam sistem reformasi dan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, serta melindungi keragaman hayati, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Restorasi Ekosistem juga menggambarkan pengelolaan hutan yang lestari, penting bagi kelestarian keragaman hayati serta sebagai mitigasi perubahan iklim. Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 1,79 juta ha kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem. Saat ini, sekitar 558,185 ribu ha hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE dan mengeluarkan 14 izin IUPHHK-RE yang termasuk di dalamnya Hutan Harapan, izin konsesi pertama RE di Indonesia yang diberikan kepada PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) pada 2008. Hutan seluas 98.554 ha ini terbentang di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan yang merupakan inisiasi bersama antara Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) dan Birdlife International.
Istilah restorasi juga dikenal dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Dalam PP No. 57/2016 pasal 30 ayat (3) disebutkan bahwa pemulihan fungsi ekosistem gambut dilakukan melalui suksesi alami; rehabilitasi; restorasi; dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Restorasi pada ekosistem gambut dilakukan dengan penerapan teknik-teknik restorasi: mencakup pengaturan tata air di tingkat tapak; pekerjaan konstruksi, operasi, dan pemeliharaan yang meliputi penataan infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut; dan/atau penerapan budidaya menurut kearifan lokal.
Restorasi ekosistem gambut telah dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) tahun 2016. Hasil kerja BRG akan dapat dilihat pada akhir tahun 2020, yang mengatur dan memfasilitasi restorasi 2 juta ha lahan gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Recovery Hutan
Dalam bahasa yang sederhana recovery hutan adalah pemulihan hutan dan merupakan suatu kegiatan untuk mengembalikan kondisi hutan seperti semula. Kegiatan pemulihan hutan, skala dan cakupannya lebih luas dibandingkan dengan rehabilitasi dan restorasi hutan. Pemulihan hutan dikenal dalam pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam serta pemulihan ekosistem lahan gambut. Kegiatan pemulihan hutan selain restorasi adalah mekanisme alam melalui suksesi alami, rehabilitasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.