Pemerintah cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) begitu gagah soal penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan kepada perusahaan pemegang konsesi pengusahaan lahan, baik perkebunan maupun izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH). Lihat saja bagaimana Kementerian LHK memberi sanksi bagi mereka yang lahannya terbakar dan dinilai lalai menjaga lahannya bebas dari sergapan api.
Sanksi administrasi berupa paksaan, pembekuan izin, bahkan pencabutan, dijatuhkan kepada sejumlah perusahaan. Tak hanya itu, untuk pertama kalinya pemerintah mengambil alih lahan konsesi yang terbakar. Ini adalah perintah dari Presiden Joko Widodo. Tak kurang dari 310.000 hektare (ha) lahan dan hutan terbakar ditarik oleh pemerintah.
Namun, kegagahan itu memudar belakangan. Pemerintah justru terkesan gagap mengambil aksi lanjutan terhadap lahan yang diambil alih. Bahkan, pemilik konsesi bisa mendekap kembali arealnya yang sempat ditarik pemerintah.
Itulah yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.77/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara Penanganan Areal yang Terbakar Dalam IUPHH pada Hutan Produksi. Ketentuan itu diteken Menteri LHK Siti Nurbaya pada 17 Desember 2015 dan diundangkan secara resmi oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 20 Januari 2016.
Ketentuan itu menyediakan skema pengelolaan lanjut atas areal yang terbakar. Salah satunya adalah dilanjutkan oleh pemegang izin dengan penyesuaian teknis dan kondisi lapangan, seperti diatur dalam pasal 11 ayat 2.
Jika ditelisik lebih dalam berdasarkan ketentuan tersebut, pemegang konsesi sesungguhnya pun tak pernah benar-benar kehilangan kendali atas areal yang diambil pemerintah. Dalam bahasa PermenLHK itu, pemegang izin diberi mandat untuk melakukan pengamanan.
Open access
Pengembalian areal eks kebakaran kepada pemegang konsesi memang tak ujug-ujug. Ada proses yang mesti dilalui, termasuk monitoring dan evaluasi. Namun, menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Christian Purba, dibukanya peluang bagi pemegang izin lama untuk kembali mengelola areal yang terbakar adalah sebuah blunder. “Mereka pernah gagal, mengapa pengelolaannya dikembalikan?” kata Bob, panggilan akrabnya, Kamis (17/3/2016).
Menurut dia, terhadap lahan bekas kebakaran memang tak bisa dibiarkan open access tanpa pengelola. Hal itu bisa memicu kebakaran berulang yang akhirnya bisa membuat masyarakat kembali menjadi tertuduh. Oleh karena itu, keberadaan pengelola sangat diperlukan. Hanya saja, kata Bob, pengelola itu harusnya bukan pengelola lama.
Pemerintah, katanya, harus membuka kesempatan kepada pihak swasta lain untuk mengelola areal tersebut. Pemerintah juga bisa membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola areal tersebut dalam skema seperti Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau Hutan Tanaman Rakyat (HTR). “Masyarakat pasti sanggup,” katanya yakin.
Dia mengingatkan, pemerintah punya target besar untuk mengembangkan perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha sesuai dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Jika melihat penyebaraan pengtuasaan hutan saat ini, maka target tersebut sulit untuk diwujudkan.
Bob juga menilai, komitmen penegakan hukum terhadap kasus kebakaran belum benar-benar direalisasikan pemerintah. Hal itu terlihat dari lambannya kemajuan penanganan kasus tersebut. “Seharusnya dibuka kepada publik bagaimana progresnya,” kata dia.
Sekadar mengingatkan, per Desember 2015, ada 23 perusahaan yang telah dijatuhi sanksi administrasi oleh Kementerian LHK. Rinciannya, 3 perusahaan dihukum pencabutan izin, 16 perusahaan dihukum pembekuan izin dan 4 perusahaan lainnya disanksi paksaan pemerintah. Hingga saat ini, belum ada tambahan perusahaan yang dikenai sanksi, meski sesungguhnya ada ratusan perusahan. Kementerian LHK bahkan sempat mengungkap 400 unit manajemen yang dievaluasi.
Dikonservasi
Sementara itu, pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya mengingatkan, lahan eks kebakaran seharusnya benar-benar direstorasi untuk kemudian dikonservasi. Jika dikembalikan ke pemegang izin, maka belum ada jaminan hal itu akan dilakukan.
Apalagi, berkaca kepada kenyataan selama ini, pengawasan pemerintah terhadap kawasan hutan sangat buruk. “Hari ini birokrasi masih kompleks dan kotor. Siapa yang memastikan kawasan eks kebakaran akan direstorasi?” katanya bertanya.
Lemahnya pengawasan pemerintah terlihat jelas kala Teguh melakukan kunjungan lapangan ke Nyaru Menteng baru-baru ini. Lokasi itu kini ditanami oleh sawit. Padahal, masih ada garis polisi melintang menandakan areal tersebut disegel. Yang berarti jangankan digarap untuk ditanami sawit, untuk masuk pun dilarang.
Soal lemahnya pengawasan, pemerintah selalu beralasan teknis seperti kekurangan orang di lapangan. Padahal, jumlah aparatur kehutanan bisa mencapai ribuan. Pada saat yang sama, pemerintah juga menutup partisipasi publik untuk ikut melakukan pengawasan.
Parahnya lagi, ungkap Teguh, ditutupnya akses publik untuk berpartisipasi dalam pengawasan hutan dikarenakan adanya oknum di kelembagaan pemerintah yang justru meraup keuntungan dari bencana kebakaran. “Banyak kejadian mengindikasikan hal itu,” katanya.
Buat Teguh, Permen LHK No P.77/2015 sesungguhnya punya niat baik dengan tujuan merestorasi hutan yang terbakar. Namun, ada ambiguitas dari ketentuan tersebut.
Pasalnya, sesuai izin yang diberikan, pemegang IUPHH harus mengelola konsesinya untuk tujuan produksi. Namun, berdasarkan Permen LHK No P.77/2015, perusahaan diperintahkan untuk melakukan kegiatan restorasi. “Mandat perusahaan sebenarnya untuk mengelola lahannya, kalau tidak malah kena sanksi,” katanya.
Itu sebabnya, kata Teguh, diperlukan lebih dari sekadar Permen LHK untuk mendorong restorasi lahan eks kebakaran. Dia menyatakan, perlu ada revisi Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang memungkinkan pemegang IUPHH bisa melaksanakan restorasi. Sugiharto