Pemerintah mengubah keputusan pembekuan izin perusahaan hutan dan kebun yang di areal kerjanya terjadi kebakaran hebat hingga menyebabkan tragedi asap tahun 2015. Areal yang terbakar cukup direhabilitasi dan setelah dua tahun pengelolaan dikembalikan. LSM pun meradang dan menyebut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melakukan blunder. Ada apa sebenarnya?
Di tengah berita munculnya kembali hotspot (titik panas) di Sumatera dan Kalimantan, kabar tak kalah panas juga mencuat. Kementerian LHK ternyata telah merevisi tindakan t[huge_it_share]egas pembekuan izin perusahaan kehutanan dan perkebunan — yang tahun 2015 lalu menjadi sumber penyebab tragedi asap dan mempermalukan negeri ini di fora internasional. Lewat Peraturan Menteri LHK No P.77/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara Penanganan Areal yang Terbakar Dalam IUPHH pada Hutan Produksi, belasan konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang sempat dibekukan izinnya kini terbuka untuk dicairkan kembali. Ada apa?
Tindakan pemerintah membekukan izin memang mengundang kontroversi. Langkah itu diambil berdasarkan pasal 76 ayat 2 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hanya saja, pembekuan dalam pasal tersebut adalah izin lingkungan, bukan izin operasional. Sementara pembekuan berakibat terhentinya operasional perusahaan. Dan, ini yang menakutkan. Tanpa pengelola, berarti areal menjadi open access dan ancaman terbakar lagi jadi lebih besar.
Menteri LHK Siti Nurbaya mengakui, Permen No P.77/2015 prinsipnya adalah pembinaan bagi pemegang IUPHH. Itu sebabnya, pemegang izin diperintahkan untuk merehabilitasi areal eks kebakaran. “Jika setelah dua tahun sudah tidak ada masalah, pengelolaannya bisa dilanjutkan,” katanya, Rabu (16/3/2016). Selain di sektor kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional juga akan mengeluarkan ketentuan sejenis untuk mengatur penanganan areal terbakar pada konsesi perkebunan.
Namun, solusi logis ini mendapat kecaman keras LSM. Menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, Christian Purba, pemerintah melakukan blunder dengan membuka peluang pemegang izin lama kembali mengelola areal yang terbakar. “Mereka pernah gagal, mengapa pengelolaannya dikembalikan?” kata Bob, Kamis (17/3/2016).
Harusnya, pemerintah membuka kesempatan swasta lain mengelola areal tersebut. Bahkan, pemerintah juga bisa beri kesempatan masyarakat yang mengelolanya dengan skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), atau Hutan Tanaman Rakyat (HTR). “Masyarakat pasti sanggup,” katanya yakin.
Pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya juga mengingatkan pemerintah belum ada jaminan lahan eks kebakaran benar-benar direstorasi untuk kemudian dikonservasi. “Hari ini birokrasi masih kompleks dan kotor. Siapa yang memastikan kawasan eks kebakaran akan direstorasi?” katanya bertanya. AI