Menyelamatkan Danau Batur, Menyelamatkan Kehidupan

Sejumlah siswa dari SMK 2 Kintamani, Bangli, Bali sibuk mencabuti tumbuhan eceng gondok yang tumbuh subur di tepi pesisir Danau Batur. Tak ada rasa jijik, meski harus berlumur lumpur. Bahkan, mereka melakukannya dengan semangat sambil sesekali bersenda gurau.

Sebagai bagian dari Kelompok Siswa Relawan Danau, mereka memang diajak untuk secara sukarela mengumpulkan eceng gondok. Nantinya, gulma itu ditimbun di sekolah untuk kemudian dicincang dan diolah menjadi berbagai pupuk organik, seperti pupuk cair, pupuk kompos, maupun kascing.

Kepala SMK 2 Kintamani, Nyoman Muliawan menyatakan, kegiatan siswanya yang mengumpulkan dan mengolah eceng gondok merupakan sumbangsih kecil untuk penyelamatan Danau Batur. “Jika sejak dini mereka diajak menyelamatkan Danau Batur, maka kesadaran itu diharapkan terus tumbuh hingga dewasa. Siswa juga bisa menularkan kesadaran tersebut kepada keluarga dan lingkungannya,” kata Muliawan, Rabu (11/11/2015).

Eceng gondok memang menjadi salah satu problem utama di Danau Batur. Meski belum ada data pasti luas invasinya, namun secara nyata eceng gondok memenuhi banyak titik di Danau Batur. Eceng gondok dalam jumlah yang banyak menyebabkan penguapan yang tinggi melalui daun tanaman. Selain itu, terjadi pula penurunan jumlah cahaya yang masuk ke dalam perairan sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kelarutan oksigen dalam air. Tumbuhan eceng gondok yang sudah mati akan turun ke dasar perairan sehingga mempercepat terjadinya proses pendangkalan.

Aktivis pertanian organik, Ni Luh Kartini — yang mendampingi kegiatan pengolahan eceng gondok di SMK Kintamani — mengungkapkan, hasil pantauan yang dilakukan, tinggi muka air Danau Batur turun hingga 1,5 meter dalam sebulan. “Kalau tidak ada tindakan nyata, Danau Batur akan semakin terancam,” katanya.

Suburnya eceng gondok di Danau Batur adalah akibat dari tingginya kandungan fosfat sisa dari kegiatan budidaya perikanan di keramba jaring apung (KJA). Saat ini ada ratusan keramba jaring apung di Danau Batur. Padahal, kata Kartini, Danau Batur seharusnya tidak boleh budidaya perikanan dengan sistem KJA. “Danau Batur adalah danau cengkaman tertutup yang tidak ada outlet-nya. Ini membuat seluruh residu pakan ikan menumpuk di dasar danau,” katanya.

Tumpukan residu pakan itu juga sejatinya adalah racun yang bisa mematikan seluruh ikan yang dipelihara jika terjadi arus yang mengangkatnya ke atas (upwelling). Kartini, yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana menuturkan, air Danau Batur makin tercemar akibat pertanian konvensional yang boros pestisida dan pupuk kimia oleh masyarakat sekitar. “Belum lagi kegiatan peternakan di sekelilingnya yang juga menghasilkan limbah,” katanya.

Itu sebabnya, mengolah eceng gondok dan sampah organik menjadi kompos, pupuk cair, maupun kascing adalah pilihan yang ideal. Pupuk alami tersebut nantinya bisa dimanfaatkan masyarakat untuk kemudian mengalihkan sistem budidayanya ke pertanian orgaik. Langkah itu tentu saja akan secara langsung mengurangi racun dari perstida dan pupuk kimia.

Sumber air penting

Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rijaluzzaman menuturkan, pengembangan pertanian organik memang menjadi salah satu program yang didorong. “Pertanian organik bisa menjadi salah satu solusi penyelamatan Danau Batur,” katanya.

Rijal berharap, agar upaya yang saat ini dilakukan para siswa di SMKN 2 Kintamani juga dapat dilakukan oleh masyarakat secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Jika tidak, tutupan eceng gondok akan sulit dikurangi karena pertumbuhannya yang cepat.

Dia mengingatkan pentingnya penyelamatan Danau Batur. Bersama dengan Danau Berantan, Bulian, dan Tamblingan, Danau Batur adalah sumber air utama bagi masyarakat Bali. “Penyelamatan Danau Batur berarti mempertahankan sumber air untuk kehidupan masyarakat Bali,” kata Rijal.

Selain racun pestisida dan eutrofikasi (permasalahan akibat kandungan fosfat yang berlebihan), Danau batur juga menghadapi sederet masalah lain. Misalnya saja soal kerusakan dan penyempitan areal hutan, sebagai daerah tangkapa airnya. Ada juga persoalan alih fungsi lahan. Ditambah lagi soal erosi dan sedimentasi. Selain itu, ada juga persoalan pemanfaatan air yang berlebihan.

“Penyelamatan Danau batur butuh dukungan dan keterlibatan masyarakat,” kata Rijal.

Pengurangan jaring apung

Danau Batur termasuk jenis danau kaldera aktif yang berada pada ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut (dpl). Daerah sekitar Danau Batur dipengaruhi oleh iklim tropis dengan dua musim, yaitu musim penghujan yang ditandai dengan berhembusnya angin Muson Barat dan musim kemarau yang dipengaruhi oleh angin Muson Timur dengan rata-rata kecepatan angin harian tiap tahunnya adalah 0,62 meter/detik.

Sebagian besar lahan di sekitar danau dimanfaatkan sebagai tegalan yang mencapai 49,35%. Lahan ini digunakan untuk budidaya tanaman sayur-sayuran dan hortikultura, terutama di bagian barat dan selatan danau.

Di sekitar danau terdapat sebaran hutan berupa hutan rakyat dan hutan negara. Sebaran hutan negara di sekitar danau meliputi areal seluas 3.281,7 ha (27,84%), meliputi hutan lindung di bagian utara dan selatan danau dan hutan taman wisata alam di bagian barat. Lahan yang dimanfaatkan untuk kebun sebesar 4,59%, lahan untuk pekarangan hanya sebesar 2,22% dan selebihnya berupa lahan lain-lain, yaitu lahan kritis bekas lahan Gunung Batur.

Kepala Sub Direktorat Pengendalian Kerusakan Danau Kementerian LHK Syamsuhari mengungkapkan, Danau Batur sudah masuk dalam daftar daftar 15 Danau prioritas, di mana penangannya akan dilakukan secara intensif.

Dia menuturkan, untuk penyelamatan Danau Batur ada beberapa upaya yang harus dilakukan. Dari sisi kelembagaan, perlu dibentuk kelompok kerja yang terdiri dari unsur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pokja perlu diatur dengan peraturan Bupati Bangli.

Sementara aksi yang harus segera dilakukan di antaranya adalah program pengendalian sedimentasi, pencemaran air, dan eceng gondok. “Pembangunan sabuk hijau di sempadan Danau Batur juga harus mulai dilakukan,” katanya.

Soal KJA, berdasarkan pedoman pengelolaan ekosistem danau dan mengacu kepada pendekatan daya tampung beban pencemaran air danau/waduk berdasarkan Peraturan Menteri LH NO 28 tahun 2009, maka Danau Batur yang tidak memiliki outlet seharusnya bebas dari KJA. Untuk itu, perlu pengurangan KJA secara bertahap.

Syamsuhari juga menyatakan perluya penyusunan dan penetapan zonasi di Danau Batur. Zonasi ini akan mengatur arahan pemanfaatan kawasan Danau batur, termasuk pengaturan sempadan, perikanan wisata, dan kegiatan pemanfaatan lainnnya. AI