Budidaya Maggot BSF Layak Dilirik

Henri OMJ

Jika mendengar kata ulat atau belatung banyak yang akan merasa jijik. Pasalnya binatang ini dianggap sebagai hama serta membawa penyakit. Tetapi, ulat yang satu ini, ternyata ulat yang unik, berbeda dengan ulat atau belatung umumnya. Belatung ini bukanlah belatung biasa, melainkan larva dari Black Soldier Fly (BSF). Dalam tubuh BSF mengandung zat antibiotik alami sehingga tidak membawa agen penyakit.

Meski dikelompokkan sebagai lalat, BSF tidak hinggap di sampah dan tidak membawa penyakit. Larva BSF yang disebut maggot juga berbeda dengan belatung lalat hijau dan lalat hitam yang menyebarkan penyakit.

Maggot tidak menimbulkan bau busuk dan bukan pembawa sumber penyakit. Karena sangat aman, anak kecil pun berani bermain-main dengan cara memegangnya.

Maggot BSF

Maggot BSF merupakan inovasi yang menggembirakan dan menguntungkan bagi para peternak, petani, dan masyarakat secara luas. Maggot BSF bisa dimanfaatkan sebagai pakan ikan dan ternak unggas. Penggunaan maggot sebagai pakan ikan bisa semakin menggairahkan budidaya ikan konsumsi karena harganya yang relatif murah. Untuk pakan ternak, maggot bisa mempercepat kenaikan bobot ternak.

Maggot BSF ini juga bisa membantu permasalahan sampah organik yang menggunung. Sekitar 750 kg maggot BSF mampu mengurai sekitar 2 ton sampah organik hanya dalam kurun waktu 2-3 minggu.

Ini menjadikan usaha budidaya maggot sebagai alternatif usaha yang menjanjikan. Apalagi masa panennya relatif cepat, sekitar 15 hari. Jadi budidaya maggot BSF perlu dicoba oleh siapa saja, terutama para petani dan peternak.

Peluang ini yang juga dilirik oleh mas Henri Supranto atau sering disapa dengan nama Henri OMJ (Omah Maggot Jogja) dari Melikan, Sumberharjo, Prambanan Yogyakarta. Henri menekuni budidaya maggot karena mudah cara membudidayakannya, tidak butuh lahan yang luas dan hasil keuntungan  yang besar.

“Budidaya maggot cukup mudah dan murah karena tidak memerlukan teknologi yang canggih dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, Maggot memiliki manfaat sebagai pakan ikan karena memiliki banyak protein,” ujarnya ketika ditemui beberapa waktu lalu.

Membudidayakan maggot BSF cukup mudah dikerjakan. Tidak memerlukan teknik khusus,  jadi siapa saja bisa melakukan. Budidaya maggot BSF juga tidak menyita waktu karena tidak perlu sering dikontrol.

Untuk bahan ternak yaitu sampah organik bisa diambil dari sampah rumah tangga, seperti sampah sayuran dan sisa-sisa makanan. Lahannya juga tidak harus luas, bisa menyesuaikan. Tidak ada syarat minimal area lahan yang dibutuhkan budidaya maggot. Ruang terbatas pun bisa menghasilkan ternak maggot yang menguntungkan secara finansial.

Henri merintis budidaya maggot sejak Mei 2016 dan mulai terlihat hasilnya di awal 2017. Dia tidak mengira sampai sekarang tetap bertahan dan semakin meningkat. Bahkan di masa pandemi corona ini, dimana banyak usaha gulung tikar, banyak yang menganggur, usaha budidaya maggot yang dilakoni Henri tetap bertahan.

“Kondisi covid tidak ada masalah, tidak ada pengaruh, malah justru covid ini banyak  yang ke rumah, mau kerja apa tidak ada, jadi ke sini mau belajar dan juga mempraktikan untuk usaha. Karena usaha ini kan bisa dilakukan dirumah. Syaratnya simple, tahu ilmu dasarnya dan telaten,” jelasnya.

Omah Maggot Jogja sering didatangi mereka yang ingin tahu bagaimana budidaya maggot

Mengais keuntungan dari maggot, memang bukan tanpa usaha. Henri mengaku memulai usahanya juga situasional, waktu itu.

“Sebenarnya tadinya bukan ini usaha saya, saya awalnya beternak lele selama 5 tahun, tetapi karena bahan makannya berat, keuntungan tidak ada, capai. Saya mulai berfikir dan berusaha. Cari alternatif.  Ketemu Bapak Ahmad Adilah, Ketua Koloni BSF Indonesia di Cianjur. Saya belajar dari beliau dan membeli pupa waktu itu 5 kg (Rp150.000/kg). Saya beli,saya pelajari dan saya kembangkan, ternyata maggot itu potensinya luar biasa. Karena ke center manapun masuk. Alhamdulillah sampai sekarang pembeli selalu ada bahkan  yang pesan sudah sampai ke luar Jawa dan banyak yang datang kesini untuk belajar beternak juga,” kata Henri bercerita.

Sukses

Sebagai perintis budidaya maggot di Yogya, kini Henri sudah bisa menikmati hasilnya. Dari yang dulu tidak dipandang, bahkan dilihat aneh, mengusung-usung sampah, memelihara ulat, dianggap kotor dan menjijikkan, kini sukses. Henri bahkan sudah bisa menggaji karyawan. Sekarang sosoknya dikenal sebagai pengusaha maggot yang sukses. Meski sudah berhasil, Henri tetap membantu banyak orang yang ingin memulai usaha dan tidak pelit dalam berbagi ilmu. Dari yang hanya sekedar bertanya sampai yang ingin waktu khusus untuk pelatihan, dilayani dan dibantu dengan baik. Tujuan sekarang memang untuk edukasi.

“Pertama, bukan produksi maggotnya, maggotnya untuk sendiri, dan pengecer sendiri. 1 hari bisa 50 kg. Bisa dipasarkan. Untuk kebutuhan makan untuk lele, untuk industri kecil masih bisa melayani tapi kalau untuk produksi yang besar, seperti ternak ayam, yang harus rutin dan skala besar memang belum bisa melayani. Sekarang lebih banyak untuk edukasi untuk pelatihan dan penyediaan bibit,” jelasnya

Saat ditanya omset Henri menjawab, ”Saya tidak ngitung omset. Terus jalan. Nambah nambah. Ada pupa, telur, maggot. Macem macem, kadang telur sebulan bisa hampir 1 kg, 1 gram telur bisa 30.000-an larva. 1 kg maggot fresh, harga menyesuaikan, misal untuk peternak lele dan unggas nilai harus dibawah pelet, jadi antara Rp5 ribu-Rp8 ribu. Tapi kita bisa juga jual maggot yang sama dengan nilai yang lebih,  bisa sampai Rp50 ribu/kg. Ke siapa? ke pemacing, peternak burung, jual per gram. Jadi antara Rp5 ribu-Rp50ribu/kg, tergantung pasar atau pembelinya.”

Bagaimana dengan kebutuhan pakan maggot? Henri  menyatakan limbah adalah pakan yg utama. Maggot skala menengah ke atas, butuh pakan banyak. Prinsipnya harus dengan limbah. “Kalau tidak dengan limbah, cost tidak bisa menutup yang harga 5-8 ribu. Bisa juga dengan bahan lain, bekatul, tahu. Tapi itukan beli. Kalau beli itu berapa? Cost  tinggi. 1 kg maggot butuh 10 kg lebih pakan. Jadi harus cari limbah. Supaya terpenuhi cost-nya. Pakan bisa jadi hambatan, permintaan banyak tapi pakan yang kurang, maka produksi juga kurang,” katanya.

Sebagai pengusaha pasti punya harapan target kedepan, begitu juga dengan Henri. Dia berharap bukan sekadar pengembangan usaha, meningkatkan produksi maggot tetapi juga soal pengelolaan sampah organik.

“Arahan saya ke penanganan limbah, harapan ke depan, limbah tidak harus ke TPA tapi bisa diolah di rumah, maggot diintegrasikan dengan unggas. Saya punya program IMUT (Integrasi Maggot Unggas Tanaman) untuk pengolahan limbah sekaligus beternak ayam. IMUT sudah saya rintis. Harapan saya, setiap rumah punya. Mengolah sampah itu males, sampah itu kotor. Adanya budidaya maggot jadi kegiatan yang mengasyikan, punya ayam atau unggas, maggot sebagai pengurai sampah, jadi pupuk, bisa untuk tanaman, tanaman sayuran atau tanaman lain.  Ibu-ibu (yang umumnya lebih dekat dengan ini), akan senang ada hasil. Itu bisa dari skala kecil, menengah atau besar. Dari maggot kita berikan ke ayam dan tanaman. Mengefisienkan tenaga dalam mencari pakan dan mengolah sampah,” katanya

Anna Zulfiyah