Bisnis kehutanan memang sedang terseok-seok. Namun, para pelakunya tetap optimis. Apalagi, sejatinya banyak harapan agar bisnis yang sempat menjadi motor pertumbuhan nasional ini bangkit kembali.
Yang menarik, ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tak banyak bergerak untuk mendongkrak usaha kehutanan, instansi pemerintah lain justru terasa semakin antusias.
Apa yang dimunculkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil adalah salah satu contohnya. Menteri Sofyan mengusulkan agar kawasan hutan bisa dibebani hak kepemilikan. Selain bisa meningkatkan nilai tawarnya terhadap lembaga pembiayaan, pemberian hak kepemilikan ala areal non kawasan hutan akan meningkatkan akuntabilitas pengelolaannya.
“Dengan hak kepemilikan akan meningkatkan leverage dan accountability-nya,” kata Sofyan di Jakarta, Kamis (15/9/2016). Dia menyatakan hal itu saat pembukaan Rapat Kerja Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun 2016.
Sofyan sangat serius. Gagasan itu sudah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri Kabinet Kerja dalam rapat terbatas beberapa waktu lalu. Menteri LHK Siti Nurbaya turut hadir dalam kesempatan tersebut.
Sofyan menyatakan, menurut peraturan perundang-undangan, kawasan hutan adalah milik negara. Namun, kenyataanya, tak ada pengelolanya di lapangan. Kawasan hutan banyak yang open access. “Hutan milik Negara, tapi di lapangan dikuasai pembalak liar, pembakar lahan, dan perambah,” kritik Sofyan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 — yang terakhir diubah dengan PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan — kawasan hutan dikuasai negara. Untuk pemanfaatan kawasan hutan, Pemerintah bisa menerbitkan izin pemanfaatan. Izin tersebut tak bisa dijadikan jaminan, agunan, atau dijaminkan kepada pihak lain. Izin juga tidak dapat dipindah-tangankan tanpa persetujuan dari Pemerintah.
Sementara hak atas tanah diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Ada beberapa hak yang diatur dalam ketentuan tersebut, termasuk hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai. Hak-hak tersebut bisa diagunkan dan bisa dipindah-tangankan.
Sofyan menuturkan, berdasarkan UU Kehutanan, pemegang konsesi hutan tidak dapat menjadikan izinnya sebagai agunan. Ini berbeda dengan para pemegang hak seperti HGU yang bisa menjadikannya sebagai agunan di bank. Peluang untuk menjadikan hak tanah sebagai agunan, membuatnya memiliki leverage yang lebih baik ketimbang izin kehutanan.
Sejumlah pemilik konsesi hutan, lanjut Sofyan, terbukti memang dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank untuk menjalankan bisnisnya. Namun, hal itu lebih dikarenakan kepercayaan perbankan atas pribadi orang itu.
“Kalau Pak Sukanto Tanoto dapat pinjaman, itu karena personal guarantee, bukan karena mengagunkan konsesinya,” kata Sofyan, menunjuk bos kelompok Raja Garuda Emas, salah satu konglomerasi hutan di Indonesia.
Dengan situasi tersebut, tutur Sofyan, jangan heran jika konsesi hutan berbasis rakyat, seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR), tak banyak perkembangannya. Masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan untuk menanami konsesi yang telah diberikan oleh pemerintah. “Karena tak ada HGU-nya, tidak dapat pembiayaan untuk penanaman,” katanya.
Tanggung jawab sama
Yang menarik, meski tak punya keistimewaan soal jaminan perbankan, namun tanggung jawab pemegang konsesi hutan dan pemegang HGU soal pengelolaan lahan sesungguhnya setara. Mereka, misalnya, harus menjaga konsesinya bebas dari kebakaran. Jika tidak, sanksi berat akan dijatuhkan. “Secara de facto, tanggung jawab pengusaha hutan yang punya konsesi 1 juta hektare itu sama dengan pemilik HGU 1 juta hektare. Namun, yang satu tak punya leverage dan pinjam uang, yang satu lagi bisa,” ujar Sofyan.
Menteri ATR/Kepala BPN juga yakin, pemberian hak di kawasan hutan bisa meningkatkan tanggung jawab pengelolaannya. Apalagi, sanksi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah lebih bertaji. Menurut Sofyan, jika pemegang hak atas tanah tidak mengelola lahannya dengan baik, maka pemerintah bisa tidak memperpanjang haknya begitu masanya berakhir. Lahan tersebut, kemudian bisa diberikan haknya kepada pihak lain.
Ini berbeda dengan konsesi hutan yang sulit untuk dicabut, karena akan menyebabkan open acces.
Omnibus law
Sofyan menyatakan akan terus bergerilya mengusung gagasan ini di internal pemerintahan. Apalagi, tak mudah untuk mewujudkan wacana tersebut. Tembok besar, berupa revisi UU Kehutanan dan aturan turunannya mesti dilakukan.
Untuk itu, dia mengusulkan agar Indonesia mengadopsi prinsip omnibus bill atau omnibus law dalam penyusunan regulasi. Dengan pendekatan itu, misalnya, pemerintah dan parlemen tidak harus merevisi UU satu per satu, melainkan cukup membuat satu UU baru yang mengamendemen pasal-pasal dalam beberapa UU sekaligus.
“Kalau ada pasal-pasal yang saling mengunci bisa dibatalkan lewat satu UU baru. Ini untuk menembus banyak peraturan yang tidak cocok,” ujarnya.
Sofyan mengatakan, konsep omnibus law telah diterapkan di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat. Pendekatan tersebut dinilai mantan Menko Perekonomian ini cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki banyak regulasi tumpang tindih dan proses legislasi yang berbelit-belit.
Menurut Sofyan, implementasi omnibus law ini sesuai dengan visi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang menghendaki deregulasi peraturan-peraturan yang membebani dunia usaha. Paket Kebijakan Ekonomi yang sudah dirilis belasan jilid adalah langkah merevisi peraturan-peraturan yang levelnya di bawah UU.
Namun, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini tidak dapat memastikan kapan pendekatan itu diterapkan untuk level UU. Apalagi, penyusunan UU harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Tapi Presiden sudah menangkap usulan ini dan setuju,” kata sarjana hukum dari Universitas Indonesia (UI) ini. Sugiharto
Kementerian LHK Minta Hati-hati
Usul Menteri Sofyan memang sangat revolusioner. Namun, pagi-pagi Menteri LHK Siti Nurbaya sudah memberi sinyal penolakan. Menteri Nurbaya menyatakan, perlu kajian mendalam sebelum pembebanan hak di kawasan hutan diimplementasikan.
“Mesti hati-hati. Jangan langsung operasional, nanti jumping,” katanya di Jakarta, Jumat (16/9/2016).
Menteri Nurbaya membenarkan bahwa ide yang diusung oleh Menteri Sofyan sudah dibawa dan dibahas dalam rapat terbatas di antara menteri-menteri Kabinet Kerja. Menurut dia, ada konsep yang sangat mendasar yang akan diubah dengan usulan soal pembebanan hak di kawasan hutan. Oleh karenanya, ini harus direspons secara berhati-hati.
Nurbaya menyatakan, dirinya sudah meminta izin kepada Presiden Joko Widodo agar tidak diambil langkah-langkah terlebih dahulu terhadap usulan tersebut, kecuali dilakukan kajian secara mendalam dari seluruh aspek. Termasuk dari aspek hukum tata negara dan politik. “Karena masalah tanah ini banyak aspek. Nah, negara Ini mau bagaimana,” katanya.
Ditanya apakah ada pembicaraan khusus antara Menteri Sofyan terkait usulan tersebut, Menteri Nurbaya menyatakan belum. Namun, dia menyatakan argumen perlunya kehati-hatian terhadap usulan Menteri Sofyan sudah disampaikan secara langsung dalam rapat terbatas yang diselenggarakan beberapa waktu lalu. “Di ratas (rapat terbatas) sudah diomongin, tapi sudah langsung saya jawab,” katanya. Sugiharto