Masihkah ‘Hijau’ Bumi Ini?

Hutan Perhutani

hermundandoOleh: Hermudananto, M.Sc. (Dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada)

 

Satu bulan setelah memperingati Hari Air Sedunia, kita menyambut Hari Bumi Internasional setiap tanggal 22 April yang diprakarsai sejak tahun 1970 silam. Gaylord Nelson, seorang politikus, pengajar lingkungan hidup dan senator Amerika Serikat, yang berani menyuarakan isu-isu lingkungan dalam agenda Senat untuk pertama kalinya, serta dukungan sekitar jutaan warga Amerika Serikat, mahasiswa dari berbagai universitas, dan siswa dari berbagai sekolah turut mengkampanyekan perihal keberlangsungan lingkungan dan kesehatan di wilayah New York, Washington D.C., dan California. Gerakan ini mendorong peningkatan kesadaran dan apresiasi terhadap Bumi sejak saat itu di berbagai negara.

Gerakan Lingkungan dalam Peringatan Hari Bumi Internasional

Apakah seremoni tahunan ini cukup dengan mengkampanyekan ‘langkah kecil untuk memperingati Hari Bumi Internasional? Pertanyaan ini juga mengemuka oleh Robert Cahn dan Patricia Cahn dalam artikelnya tahun 1990 di jurnal Environment: Science and Policy for Sustainable Development yang berjudul ‘Did Earth Day: Change The World?’ Tidak salah untuk terus mengajak orang lain untuk tidak membuang sampah sembarangan, yang sudah sangat familiar terdengar sejak masih kecil. Namun, dalam kenyataannya kita mudah sekali untuk menemukan sampah-sampah berserakan di pinggir jalan umum atau di kali dekat rumah. Nasehat untuk menggunakan air dan listrik seperlunya juga tidak asing kita dengar dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak sedikit juga pembangunan gedung bertingkat atau perhotelan dimana penggunaan air dan listriknya masih bergantung pada kesadaran lingkungan konsumennya. Selain itu, membawa kantong belanjaan sendiri dari rumah juga baik untuk mengurangi penggunaan kantong plastik yang berpotensi menjadi limbah yang sulit terurai, namun tidak mudah untuk menemukan konsumen di pusat perbelanjaan atau pasar tradisional yang menerapkan upaya ini. Dalam bertransportasi untuk menggunakan kendaraan umum juga ide yang baik untuk dapat mengurangi polusi atau konsumsi penggunaan bahan bakar fosil yang terus semakin berkurang, namun kendaraan pribadi, baik roda dua atau empat, sepertinya masih menjadi primadona bagi sebagian besar masyarakat untuk menempuh perjalanan ke tempat kerjanya.

Media cetak atau online nampaknya belum dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengkampanyekan kesadaran lingkungan, seperti artikel yang ditulis oleh Michael X. Delli Carpini dan Bruce A. Williams tahun 1994 dalam jurnal Cultural Studies yang berpandangan bahwa perayaan hari Bumi di televisi mungkin lebih bermuatan politis yang hanya berpura-pura atau sekedar komedi saja. Sepertinya, langkah kecil ini dirasa tidak cukup dan perlu ada gerakan yang lebih besar dan nyata untuk menyelamatkan Bumi ini dari kerusakan.

Ajaran Agama mengenai Lingkungan

Semua agama di Indonesia juga mengajarkan untuk tidak berbuat kerusakan di Bumi ini. Agama tidak hanya mengajarkan kepercayaan terhadap Tuhan saja atau kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Namun juga memberikan salah satunya cara pandang manusia terhadap alam (diri dan dunia).

Sebagai contoh, Agama Kristen dan Katolik menyebutkan di dalam Alkitab yaitu Kejadian 1:26-27 dan 2:7 bahwa manusia diciptakan sebagai bagian dari seluruh ciptaan sekaligus sebagai penatalayan ciptaan Allah yang lain, selain itu manusia juga ditugaskan untuk memakai dan memelihara bumi/ciptaan lain seperti tertuang di dalam Kejadian 2:15.

Sama halnya agama Hindu. Di dalam kitab Veda juga mengajarkan bahwa perlunya untuk tidak menebang pohon karena mereka dapat melenyapkan polusi (Rig Veda, 6:48:17), serta larangan untuk menganggu langit dan mengotori udara yang tertuang dalam Yajur Veda 5:43.

Ajaran Budha juga demikian. Buddhisme dalam kitab Brahmajala Sutta mengajarkan untuk tidak melakukan perusakan hutan dan lingkungan, yaitu “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan”.

Selanjutnya, San Cai, atau Tiga Entitas Utama merupakan ontologi dari filsafat dan agama Khonghucu dimana penekanannya pada tanggungjawab manusia kepada Tuhan kepada sesama manusia, dan kepada Bumi sebagai tempat hidupnya, yang dikenal dengan konsep Tian Ren He Yi atau Tuhan dan Manusia bersatu.

Serta agama Islam, dimana Indonesia menjadi tempat populasi umat muslim terbesar di dunia, juga mengajarkan untuk menjaga Bumi ini, yang tertuang di dalam Al-Quran (QS. Al-A’raaf:56), yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Lantas, mengapa kerusakan di muka Bumi ini masih terus terjadi?

Tempat Tinggal Selain di Bumi

Adakah planet lain untuk ditempati oleh mahluk hidup selain di Bumi? Dalam usianya yang diperkirakan sudah 4,54milliar tahun, Bumi masih menjadi satu-satunya tempat di alam semesta yang diketahui oleh manusia sebagai tempat tinggal. Sebagai planet paling padat di sistem tata surya dan planet terbesar di antara tiga planet terrestrial lainnya, yaitu Merkurius, Venus, dan Mars, hampir 70% kandungan dari Bumi adalah air sebagai salah satu sumber utama dan sangat dibutuhkan oleh setiap mahluk hidup.

Pada November 2017, situs berita angkasa dan astronomi, www.space.com, memaparkan hasil riset yang sudah dilakukan selama lebih dari 15 tahun untuk mencari keberadaan air di planet lainnya, misalnya Mars (planet merah), untuk mencari bukti. Namun hal ini masih jauh dari harapan untuk menjadikan planet ini sebagai tempat tinggal alternatif mahluk hidup.

Dalam buku yang berjudul ‘The Earth Around Us: Maintaining A Livable Planet‘ yang diedit oleh Jill S. Schneiderman, disampaikan oleh beberapa ilmuwan dengan informasi ilmiah mengenai kemampuan manusia (Homo sapiens) untuk menjaga Bumi agar tetap lestari dengan sudut pandang akan kesadaran ramah lingkungan. Hal ini secara tidak langsung ingin menyampaikan bahwa merawat Bumi jauh lebih baik daripada mencari solusi planet lainnya sebagai tempat tinggal.

Peran Manusia

Setiap kita manusia bisa berkontribusi untuk kebaikan Bumi ini dengan menjalankan tugas dan tanggung jawab kita masing-masing sesuai dengan bidang pekerjaan yang kita geluti saat ini. Sebagai contoh, hampir sepuluh tahun saya berkarya sebagai auditor independen di sebuah lembaga sertifikasi nasional di Indonesia untuk bidang kehutanan, industri kayu, dan kelapa sawit. Saya berusaha untuk melakukan kegiatan verifikasi lapangan dan dokumen dalam setiap kunjungan audit di perusahaan-perusahaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dianggap baik untuk saat ini. Jika tidak, maka kerusakan di muka bumi ini akan terus terjadi akibat pengelolaan area yang tidak tepat.

Mulai tahun ini, peran saya beralih ke akademisi menjadi seorang dosen di perguruan tinggi negeri peringkat ke-tiga di Indonesia dalam bidang Kehutanan, maka kewajiban saya untuk melaksanakan tridharma universitas yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat harus saya jalani dengan baik dan sungguh-sungguh. Tidak hanya bertanggungjawab untuk mencerdaskan anak bangsa dalam bidang kehutanan, namun juga agar mahasiswa dapat menjadi agent of change untuk pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

Bulan depan saya mendapat kesempatan untukmenyuarakan pengelolaan hutan lestari Indonesia dalam konferensi internasional International Union of Forest Research Organizations (IUFRO) di Kroasia dengan tema Sustainable Forest Management for the Future. Demikian halnya untuk peran masing-masing individu sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Jika hal itu dilaksanakan sebaik-baiknya, maka saya yakin Bumi ini akan terus terjaga kelestariannya. Selamat hari Bumi internasional…!