Rusaknya daerah aliran sungai (DAS) ternyata tidak sederhana, terutama di Jawa. DAS Citarum, contohnya. Degradasi yang terjadi di wilayah hulu malah bisa berbuntut panjang dan mengancam berbagai obyek vital seperti bendungan. Bahkan, dalam kasus DAS Citarum, penduduk Jakarta juga bisa terancam karena pemanfaatan air yang tercemar berat.
Gambaran itu setidaknya mengemuka dalam lokakarya pengendalian kerusakan hutan dan lingkungan melalui pencegahan degradasi DAS yang digagas Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut) Yayasan Sarana Wanajaya bekerja sama dengan CWMBC: Citarum Watershed Management and Biodiversity Conservation ADB Grant di Jakarta, akhir bulan lalu. Bahkan, saking mendesaknya untuk dilakukan pembenahan, salah satu rekomendasi lokakarya ini meminta pemerintah menghilangkan ego sektoral di tingkat Pusat, Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) sampai tingkat tapak.
Harap maklum, masalah yang ditimbulkan di hilir merupakan rentetan yang terjadi di hulu dan bersifat kompleks. Di hulu DAS Citarum terjadi perubahan fungsi dan tataguna lahan, sehingga berpengaruh terhadap sumber daya air, mengingat DAS/sub-DAS merupakan unit hidrologi yang independen.
“Terjadinya perubahan penutupan lahan di bagian hulu berakibat terjadinya tingkat erosi dan sedimentasi yang berat, terutama menurunnya fungsi bangunan sarana dan prasarana SDA berupa pendangkalan sungai di daerah hilir, tengah dan hulu DAS, sehingga terjadi debit puncak yang tinggi melebihi kapasitas daya tampung saluran yang ada,” demikian rumusan diskusi.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Apalagi, DAS sepanjang 269 km dan luas sekitar 695.500 hektare ini punya peran strategis dalam pembangunan wilayah lokal maupun regional. Namun, dalam 20 tahun terakhir terus mengalami degradasi.
“Ada tiga ciri degradasi DAS Citarum. Pertama, menurunnya daya dukung. Kedua, tingginya pencemaran limbah. Ketiga, ancaman terhadap ekosistem sumberdaya hutan DAS Citarum yang punya keunikan biodiversitas bernilai tinggi.” Asal tahu saja, ekosistem hutan pegunungan di wilayah DAS Citarum adalah habitat sekitar 56% flora dan fauna jenis endemik Pulau Jawa.
Quick win
Penurunan ekosistem DAS Citarum ini memang mendapat perhatian serius Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Terbukti, DAS Citarum termasuk salah satu dari 15 DAS Super Prioritas Indonesia dalam Program Quick Win untuk ditangani pemulihannya. Upaya rehabilitasi dan penyelamatan telah dilakukan melalui berbagai program dan proyek, baik oleh pemerintah, bantuan luar negeri maupun para pihak terkait.
Maklum, di DAS Citarum ini punya tiga waduk besar: Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Tiga waduk ini menghadapi tingkat erosi dan sedimentasi yang berat. Tak hanya itu. Yang memprihatinkan adalah tingkat pencemaran di tiga waduk tersebut sudah masuk kategori mengkhawatirkan.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada kisaran 305-522 titik pantau dari tahun 2009 sampai 2013 menunjukkan 75% titik pantau tersebut berada pada status tercemar berat. Secara umum, sumber pencemar masuk ke sungai Citarum melalui anak sungai dan langsung melalui runoff. “Perlu diketahui, air yang dihasilkan DAS Citarum dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lebih 10 juta penduduk, termasuk DKI,” demikian rumusan tersebut.
Tingginya konsentrasi polutan tersebut antara lain disebabkan banyaknya aktivitas masyarakat di sempadan anak sungai — yang bermuara ke Sungai Citarum — dan membuang air limbah dan limbah padat ke sungai. Di samping itu, kemiringan hidrolik Sungai Citarum yang sangat kecil (landai) menyebabkan terakumulasinya polutan yang masuk dan reaerasi yang terjadi juga sangat lambat, sehingga kemampuan sungai memurnikan sendiri (self furification) sangat kecil, yang akhirnya menyebabkan konsentrasi bahan pencemar di kolom air tinggi.
“Berdasarkan analisis hasil simulasi menunjukan, Sungai Citarum tidak memiliki Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) lagi. Oleh karena itu, penurunan beban pencemar dari setiap segmen agar kualitas air Sungai Citarum memenuhi kelas yang ditetapkan, baik untuk parameter COD maupun parameter BOD, merupakan suatu keniscayaan.”
Untuk meningkatkan daya dukung DAS, maka pengelolaan DAS Citarum dilakukan berdasarkan RPDAS terpadu dan menjadi acuan Rencana Pembangunan Sektor dan Rencana Pembangunan Wilayah, dengan filosofi “keep water into soil and keep soil in place, decrease storm flow and increase base flow”.
Dengan kondisi itu, tidak aneh jika penanganan pemulihan DAS Citarum masuk dalam kategori super prioritas. Peningkatan status dari prioritas jadi super prioritas ini memang punya dua makna. Pertama, upaya penyelamatan DAS Citarum selama ini belum optimal, sementara intensitas kerusakan malah meningkat. Kedua, dari sisi evaluatif pertanyaan mengenai efektivitas pendekatan yang dipakai dalam upaya penyelamatan DAS Citarum selama ini menjadi sangat relevan. AI
Tahan, Air Hujan Selama Mungkin
Lalu, bagaimana kira-kira strategi pemulihan yang disarankan? Prioritas utama adalah menghapus ego sektoral antara pemerintah Pusat, Daerah (provinsi, kabupaten/kota) sampai tingkat tapak dan penanganan dilakukan secara komprehensif.
Pemerintah juga bisa mengembangkan replikasi Model Desa Konservasi (MDK) di desa-desa perbatasan. Balai menyiapkan program konservasi (rehabilitasi/restorasi) dan pengembangan MDK. “Dalam penanganan tersebut peranan masyarakat sangat menentukan. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah dan para pihak terkait perlu melakukan sosialisi, pembinaan, pendampingan, pelatihan masyarakat dengan sebaik-baiknya,” demikian rekomendasi lokakarya.
Selain itu, untuk memastikan terwujudnya pembiayaan yang berkelanjutan bagi konservasi kawasan serta mempermudah pelaksanaan di lapangan, perlu dirumuskan kebijakan jasa lingkungan (Payment for Environmental Services/PES).
Yang jelas, strategi pelestarian SDA DAS Citarum adalah bagaimana menahan air hujan sebanyak dan selama mungkin dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air, baik melalui cara vegetatif, agronomi, sipil teknis, managemen maupun penerapan teknologi baru.
Momentum penerapan teknik Konservasi Tanah dan Air (KTA) itu saat ini tepat sekali, terutama dengan telah diterbitkannya UU No. 37 Tahun 2014 tentang KTA termasuk PP Penyelenggaraan KTA yang sedang diselesaikan.
DAS sebagai sistem penyangga kehidupan antara lain dicirikan adanya kompetisi penggunaan lahan antar sektor maupun antar fungsi ekosistem. Ada masalah trade-off di sini, yaitu antara pembangunan dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan berbasis landskap/bentang alam menjadi penting, karena pendekatan ini menyediakan alat dan konsep untuk mengalokasikan dan mengelola lahan untuk mencapai tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan di wilayah DAS.
Pendekataan bentang alam yang lebih menekankan pada “proses” bukan pada “output” seperti program terintegrasi yang lazim dilakukan selama ini memberi peluang pada para pemangku kepentingan dan pihak yang terlibat langsung dapat terlibat dalam proses tersebut, sehingga upaya penyelamatan sekaligus pengelolaan DAS dapat mendukung pembangunan yang memperhatikan pilar kelestarian yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan.
DAS Citarum dengan luas 659.500 ha merupakan DAS terbesar di Jawa Barat. Sehingga memiliki peranan penting dalam perekonomian regional. Keberadaan, juga menjadi penupang bagi tiga waduk besar seperti Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Jatiluhur selama ini berperan sebagai pembangkit energi listrik untuk kebutuhan bagi Jawa dan Bali. Di samping itu juga menjadi pemasok bahan baku air bagi pertanian serta pemenuhan air bersih bagi warga Jakarta. AI