Insentif Bagi Pengelolaan Hutan dan DAS

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat perlu terus ditingkatkan, bahkan perlu adanya insentif dalam pengelolaan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pasalnya, kebijakan tersebut di beberapa tempat cukup signifikan menghambat laju kerusakan hutan dan menjadi sarana kompromi dalam penyelesaian permasalahan tenurial.

Menurut Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Djati Witjaksono Hadi, selama ini kerusakan dan penurunan daya dukung DAS serta konflik tenurial yang terjadi memang mendorong lahirnya kebijakan bidang kehutanan yang melibatkan masyarakat. Bentuknya mulai dari pemberian izin pengelolaan kawasan hutan maupun pelibatan dalam program atau kegiatan yang bersifat tematik.

Pemerintah, katanya, sudah mendorong masyarakat membangun hutan di lahan milik atau hutan rakyat. Hasilnya cukup signifikan menghambat laju kerusakan hutan, selain juga jadi sarana kompromi penyelesaian tenurial. “Namun, jika dilihat perkembangan secara nasional berdasarkan target-target yang telah ditetapkan, hasil yang dicapai masih jauh dari yang diharapkan,” ujar Djati.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), degradasi dan deforestasi telah menimbulkan lahan-lahan kritis dalam setiap unit DAS. Secara umum lahan kritis di luar kawasan hutan memang lebih luas dibandingkan di dalam kawasan hutan. Pada tahun 2000, luas lahan sangat kritis dan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15.106.234 hektare (ha) dan di dalam kawasan hutan mencapai 8.136.647 ha, dan pada tahun-tahun berikutnya luas lahan kritis cenderung meningkat.

Dengan gencarnya pelaksanaan program Kementerian Kehutanan dalam melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan di seluruh wilayah, maka luas lahan kritis  tahun 2007 tercatat seluas 30.196.801 ha, pada tahun 2011 luas lahan kritis menurun menjadi 27.294.842 ha, dan pada tahun 2014 luas lahan kritis tercatat 24.303.294 ha.

Yang jadi masalah, tantangan dan hambatan implementasi kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ternyata tidak sederhana. Menurut Djati, di tingkat regulator saja, pengelolaan hutan berbasis masyarakat masih belum didukung oleh kondisi pemungkin yang memadai. “Sementara pada tingkat operator kebijakan, keterbatasan kapasitas dan budaya keproyekan cenderung mereduksi apa-apa yang sebelumnya telah dirancang cukup baik,” katanya.

Di sisi lain, di level masyarakat, hambatan dan tantangan juga muncul akibat prioritas terhadap pemenuhan ekonomi jangka pendek, kapasitas kelembagaan, rendahnya akses pasar dan masih adanya praktik-praktik ijon. Selain itu, munculnya pula ketergantungan terhadap bantuan dari luar sebagai dampak dari kegiatan keproyekan yang dilaksanakan oleh pemerintah.  “Variasi kondisi dari tiga tingkatan tersebut berbeda-beda di setiap wilayah, sehingga tidak bisa diberlakukan pendekatan tunggal untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat.”

Diawali dari perumusan

Itu sebabnya, Djati menilai perlu ada insentif untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan serta program-program pembangunan berbais hutan dalam jangka panjang. Dengan insentif, maka ada rangsangan yang bisa mempengaruhi dan memotivasi masyarakat, baik individu maupun kelompok untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang bertujuan memperbaiki kondisi.

Insentif dapat berupa pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output. Bisa juga dorongan atau faktor yang dapat memotivasi dilakukannya suatu tindakan. “Insentif bisa pula syarat yang positif (berupa insentif) dan yang bersifat menghambat (berupa disinsentif), dan insentif tersebut dapat salah satu atau kombinasi dari hal-hal tersebut,” katanya.

Proses pemberian insentif dalam pengelolaan hutan dan DAS diawali dari perumusan kebijakan serta pemilihan insentif yang sesuai sangat tergantung kepada cara bagaimana kajian kebutuhan insentif itu dilakukan, dan kualitas kebijakan insentif akan sangat tergantung kepada ketersediaan dan penggunaan dara dan informasi serta pengetahuan yang relevan mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga termotivasi untuk bergerak menuju tujuan kebijakan yang telah ditetapkan.

Kebijakan tanpa dilandasi oleh pengetahuan yang cukup mengenai masalah di lapangan, atau konsep apa yang sepatutnya digunakan untuk memecahkan masalah, bisa menjadi tidak efektif. “Insentif akan efektif mempengaruhi hasil jika diterapkan dalam suatu kelembagaan yang mapan dan jaringan antar lembaga yang kondusif terhadap pencapaian tujuan,” paparnya. AI

Arti Penting COP 12 UNCCD

Kondisi lahan kritis telah menyebabkan keprihatinan dunia sehingga ditetapkannya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengendalian Penggurunan/degradasi lahan (UNCCD) bersamaan dengan Konvensi PBB yang lain tentang Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Tahun 2015 ini juga telah ditetapkan oleh PBB sebagai International Year of Soil.

Indonesia sendiri sudah memiliki UU No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang mengatur pelaksanaan konservasi tanah dan air secara lengkap dan menyeluruh.  Diharapkan UU tersebut dapat digunakan sebagai dasar hukum bagi kegiatan konservasi tanah dan air untuk kurun waktu yang lama. Kegiatan konservasi tanah sudah selayaknya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh individu, kelompok ataupun badan usaha yang mengelola dan memanfaatkan tanah.

Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi UNCCD, hingga berkewajiban mengikuti ketentuan-ketentuan yang digariskan Sekretariat UNCCD.  Salah satu agenda UNCCD adalah pelaksanaan Pertemuan the 12th Conference of Parties to the United Nations Convention to Combat Desertification (COP 12 UNCCD)Ankara, Turki, yang dilaksanakan pada 12-23 Oktober 2015.

Sidang COP 12 UNCCD berfokus pada isu penggurunan, degradasi lahan dan kekeringan, pencapaian target Land Degradation Neutrality (LDN), serta menyelaraskan goal  dan program aksi UNCCD dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam sambutannya, Presiden COP 12, Menteri Kehutanan dan Air Turki, Vesley Eroglu, menekankan bahwa perubahan iklim, penggurunan dan kekeringan merupakan isu utama yang berdampak langsung terhadap 1,5 miliar penduduk bumi. Selain itu, pembicara lainnya menyampaikan perlunya keputusan yang tegas jika LDN akan dijadikan target untuk mengarahkan konvensi sampai 15 tahun ke depan.

Negara-negara wakil kelompok kawasan dan badan PBB menyebutkan beberapa hal antara lain bahwa LDN akan menjadi pendorong untuk mengatasi isu ketahanan pangan, kemiskinan, kesehatan, dan keanekaragaman hayati.

COP12 diharapkan menghasilkan pesan yang kuat menjelang sidang UNFCCC di Paris tentang perlunya pendekatan land-based dalam mengatasi perubahan iklim. Konsep LDN perlu diperjelas khususnya dalam aspek impact measurements, tata kelola, metodologi, dan indikator. Mekanisme pendanaan LDN juga harus memastikan bahwa masyarakat dapat meningkatkan tata kelola lahan dan tidak sekedar menjadi sarana pengalihan lahan ke pihak ketiga. AI