Rekor Harga Log Meranti

ilustrasi hutan

“Selama saya di bisnis kayu, belum pernah harga log setinggi saat ini,” kata Ketua bidang Produksi Hutan Alam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), David, Kamis (9/8/2018).

Asal tahu saja, Wakil Presiden Direktur PT SLJ Global Tbk. itu bukan anak bawang di bisnis pengusahaan hutan. David puluhan tahun menggeluti bisnis kayu. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode pasar SULI itu menjadi satu dari sedikit perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA), atau  populer sebagai HPH, yang bisa eksis sejak tahun 1980. Ya, SLJ Global dulunya bernama Sumalindo Lestari Jaya, salah satu perusahaan HPH terkemuka.

Jadi, David tahu benar bagaimana pergerakan harga kayu bulat. Menurut David, harga kayu bulat di tanah air saat ini terus merangkak naik, khususnya meranti, jenis kayu paling populer dari Indonesia dan sangat diminati pasar karena bisa diolah menjadi produk berkualitas nomor satu.

Dengan bersemangat David menuturkan, kenaikan harga log mulai terjadi sejak kuartal terakhir tahun 2017 lalu. Dari awalnya hanya di kisaran Rp1,5 juta/m3 lalu naik menjadi sekitar Rp2 juta/m3 di awal tahun 2018. “Sekarang, harga log sudah di atas 3 juta/m3,” katanya.

Harga tersebut berlaku untuk log meranti dengan diameter di atas 50 cm, sudah termasuk kewajiban pembayaran Dana Reboisasi (DR) sebesar 14,5-16,5 dolar AS dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang sebesar 10% dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah. Ini berarti sejak kuartal terakhir 2017 hingga saat ini telah terjadi kenaikan harga log lebih dari 100%!

Buyer vs Seller

Melambungnya harga log tak lepas dari terus naiknya harga produk kayu olahan Indonesia di pasar-pasar ekspor utama. Di Amerika Serikat (AS), kebijakan Presiden Donald Trump yang mengibarkan perang dagang membuat ratusan perusahaan kayu lapis asal China dikenai tambahan bea masuk anti dumping (BMAD) dan bea masuk imbalan (countervailing duty).

Berdasarkan putusan Departemen Perdagangan AS yang diumumkan lewat International Wood Products Association (IWPA), lebih dari 400 unit industri kayu lapis China dikenakan BMAD sebesar 183,3%. Putusan ini mulai berlaku terhitung 4 Januari 2018. Meski demikian pengenaan BMAD mulai diperhitungan sejak Juni 2017.

Selain BMAD, Departemen Perdagangan AS juga mengenakan bea masuk imbalan untuk produk kayu lapis China karena dinilai mendapat subsidi yang mengakibatkan produsen kayu lapis AS menderita kerugian. Sebanyak 60 industri kayu di China dikenakan bea masuk imbalan sebesar 194,9%, sementara dua industri lainnya dikenakan 22,9%. Seperti pengenaan BMAD, kebijakan itu berlaku mulai 4 Januari 2018, meski demikian mulai diperhitungkan sejak April 2017.

Efeknya, buyer AS mencari alternatif pasokan kayu lapis, termasuk ke Indonesia, walau sejatinya produk Indonesia punya spesifikasi dan segmen yang berbeda dengan produk asal China. Produk China umumnya adalah general purposes plywood sementara produk Indonesia kebanyakan berketebalan 2,7 mm yang merupakan produk premium. Meski pasarnya tak besar, namun produk premium punya harga jual yang lebih tinggi.

Toh, hal itu tetap mengerek naik harga kayu lapis Indonesia. Jika biasanya harga kayu lapis berada di rentang 600-700 dolar AS/m3, kini harga sudah ada di kisaran 800-820 dolar/m3 (FOB). Bahkan, untuk ukuran khusus, harganya bisa mencapai 1.000 dolar AS/m3.

Fenomena naiknya harga produk kayu Indonesia juga terjadi pasar Jepang, salah satu konsumen produk kayu terbesar di dunia. Berdasarkan laporan pasar organisasi kayu tropis Internasional (ITTO), harga plywood jenis floor base dengan ketebalan 11,5 mm sudah mencapai 780 dolar AS/m3 (C&F) di pasar Jepang. Harga itu sudah melampaui harga tertinggi yang pernah dicapai sekitar 730-740 dolar AS/m3.

Bahkan, menurut David, untuk produk premium dengan ketebalan 2,4 mm, harga plywood Indonesia di pasar Jepang sudah di atas 1.000 dolar AS/m3.

Kayu pertukangan

Tak cuma kayu lapis, kenaikan harga juga terjadi untuk produk kayu pertukangan. Ketua Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Pertukangan (ISWA), Soewarni mengungkapkan, ada sedikit kenaikan untuk produk kayu pertukangan meski tak merata mengingat banyaknya klasifikasi jenis produk kayu tersebut. “Ada sedikit kenaikan, memang,” katanya.

Untuk jenis moulding (HS 4409), misalnya. Harga rata-rata per Maret 2018 sudah mencapai 958,15 dolar AS/m3. Sementara pada periode yang sama tahun 2017 lalu, harga rata-ratanya 890 dolar AS/m3.

Jepang menjadi negara tujuan utama kedua untuk produk kayu pertukangan Indonesia. Sampai Maret 2018, Jepang menyerap produk kayu pertukangan senilai 74,8 juta dolar AS dengan nilai rata-rata sebesar 893,92 dolar AS/m3.

Secara umum, ekspor produk kayu pertukangan Januari-Maret 2018 mencapai 550 juta dolar AS dengan nilai rata-rata 538 dolar AS/m3. Sementara sepanjang tahun 2017 lalu, ekspor kayu pertukangan mencapai 2,1 miliar dolar AS dengan nilai rata-rata 501 dolar AS/m3.

Namun, yang menarik menurut Soewarni, kenaikan harga produk kayu tidak murni dikerek oleh permintaan pasar. Menurut dia, naiknya harga justru didorong oleh faktor internal di dalam negeri. Naiknya harga produk kayu, kata dia, lebih dikarenakan adanya kenaikan harga kayu bulat. “Buyer menerima kenaikan harga karena bahan baku di Indonesia juga naik,” katanya.

Baca juga:

Bisnis Kehutanan Bangkit

HPH Menggeliat Lagi

Dirjen Pengelolaan Hasil Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hilman Nugroho menuturkan, kenaikan harga log di tanah air ikut dipacu oleh kondisi iklim yang relatif basah di sepanjang tahun 2017 dan awal 2018. Ini membuat pemegang izin HPH kesulitan berproduksi yang berakibat pada kelangkaan log di dalam negeri. “Kalau hujan, medannya berat, produksi sulit,” katanya.

Namun, situasi itu tak tergambar jika dilihat laporan produksi kayu bulat di Sistem Informasi Penatausahan Hasil Hutan KLHK. Berdasarkan data tersebut, produk kayu bulat hutan alam pada tahun 2017 sebanyak 5,42 juta m3. Tak jauh berbeda dengan produksi tahun 2016, saat harga log belum melambung, yang sebesar 5,45 juta m3. Tahun ini, sampai semester pertama berakhir, produksi justru punya tren meningkat dan tercatat 2,9 juta m3.

Faktor Malaysia

Soal fenomena harga log, David punya analisis lebih detil. Menurut dia, melambungnya harga log di tanah air yang berujung pada kenaikan harga produk kayu olahan di pasar ekspor ikut dipengaruhi oleh kebijakan pegelolaan hutan di Malaysia. Negeri jiran itu, kini mengurangi produksi karena semakin sedikitnya potensi tegakan di sana, khususnya di wilayah Sabah dan Sarawak. “Malaysia mengurangi produksi karena potensi hutannya sudah berkurang,” kata dia.

Malaysia, bersama Indonesia dan Papua Nugini, merupakan pemasok produk kayu utama ke pasar dunia. Meski demikian, Indonesia secara umum unggul secara kualitas, baik dilihat dari bahan baku maupun produk hasil olahan.

Situasi itu membuat kebijakan yang diambil Malaysia akan turut berpengaruh ke Indonesia. Mengutip laporan ITTO, akhir Juli 2018, pemerintah Negara Bagian Serawak Malaysia sudah menyatakan akan menyetop sementara penerbitan izin penebangan kayu alam. Banyak izin penebangan hutan alam yang ternyata kemudian menjelma menjadi perkebunan kelapa sawit.

Langkah Serawak menyusul Negara bagian Sabah yang lebih dulu menyetop ekspor kayu bulat. Seperti dilaporkan ITTO, Mei 2018, kebijakan untuk menutup keran ekspor log didorong oleh menurunnya stok tegakan di hutan alam. Kebijakan itu juga bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan baku log untuk industri di Malaysia.

“Buyer akhirnya mengalihkan pembelian ke produk Indonesia. Ini ikut mengerek naik harga log di dalam negeri,” kata David. Sugiharto

 

Produksi Kayu Bulat Nasional

Jenis Izin 2016 2017
IUPHHK-HA 5.454.202,97 5.425.781,62
IUPHHK-HT 32.647.675,13 38.316.083,99
KPHP 2.061,71 1.001,61
Perum Perhutani 563.386,38 655.907,62
IPK/IPPKH/HAT 1.616.828,18 2.140.582,78
Jumlah 40.284.154 46.539.357,62

 

Sumber: KLHK

Keterangan: IUPHHK-HA = izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam; IUPHHK-HT = izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman; KPHP = Kesatuan Pengelolan Hutan Produksi; IPK = izin pemanfaatan kayu; IPPKH = izin pinjam pakai kawasan hutan; HAT = hak atas tanah.