Naiknya harga kayu bulat (log) di tanah air bisa menjadi pemicu kembalinya masa keemasan bisnis HPH dan bisnis kehutanan secara umum. Sejumlah izin HPH, yang selama ini ‘pingsan’, mendadak dapat suplemen untuk kembali aktif beroperasi. Situasi tentu positif di tengah kebijakan pemerintah saat ini yang sedang berupaya menggenjot ekspor. Namun, insentif dari pemerintah tetap diperlukan.
Ketua bidang Produksi Hutan Alam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), David memperkirakan, harga log meranti saat ini yang mencapai atas Rp3 juta/m3 sudah mencapai puncaknya. Dia berharap harga terus bertahan di level tersebut. Pasalnya, level harga saat ini sudah cukup ideal, meski masih pas-pasan untuk mendukung operasional izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) atau populer sebagai HPH.
Sebagai perbandingan, harga log di pasar internasional saat ini sekitar 300 dolar AS/m3. “Dengan harga saat ini, kami bisa bernafas sedikit lega,” kata David, Kamis (9/8/2018).
Berbekal harga yang lebih baik, David mengungkapkan banyak perusahaan HPH yang kini bersiap untuk kembali beroperasi setelah lama tidak aktif. Termasuk HPH yang dikendalikan oleh PT SLJ Global Tbk, di mana David menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur.
Dia mengungkapkan, dari lima unit konsesi yang dimiliki SLJ Global, ada dua unit yang akan kembali diaktifkan. Termasuk salah satunya adalah PT Esam Timber, yang terletak di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Esam Timber punya luas konsesi 35.800 hektare (ha). Kebetulan, proses perpanjangan izin HPH Esam Timber juga sudah selesai. “Kami akan kembali mengoperasikan dua HPH yang sebelumnya tidak aktif,” kata David.
Dia menuturkan, kenaikan harga log dan harga produk kayu olahan saat ini adalah momen bagus untuk meningkatkan kinerja ekspor kehutanan. Hal ini juga bisa mendukung upaya pemerintah untuk menarik devisa dan memperbaiki neraca perdagangan.
Namun, David berharap pemerintah bisa memberi insentif agar aktivasi perusahaan HPH bisa bergerak lebih cepat. Salah satunya adalah kemudahan untuk mengimpor barang modal, dalam hal ini adalah alat berat.
Menurut David, alat berat dibutuhkan dalam proses aktivasi HPH, khususnya untuk pembukaan wilayah dan membuat jalan logging. Namun, harga alat berat sangat mahal, apalagi jika alat berat tersebut gress keluaran pabrik. Untuk itu, pemerintah diharapkan bisa memberi kemudahan untuk membuka pintu impor alat berat bekas asal Malaysia.
“Karena aktivitas penebangan di Malaysia berkurang, banyak alat berat yang menganggur. Ini bisa kita manfaatkan untuk mengaktifkan HPH di tanah air guna mendorong ekspor produk kayu,” kata David.
Saat ini berlaku Peraturan Menteri Perdagangan No. 127 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru. Ketentuan itu memberi pembatasan untuk impor alat berat bekas yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produksi HPH. Salah satunya adalah impor alat berat maksimum berkekuatan 250 tenaga kuda. Padahal, dalam produksinya, HPH butuh alat berat dengan kekuatan di atas itu.
Harapan lain yang soal perluasan penampang produk kayu pertukangan yang bisa diekspor. Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.64 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, luas penampang kayu olahan yang bisa diekspor maksimum 4.000 mm2 dan khusus jenis merbau seluas 10.000 mm2.
Menurut David, dengan perluasan penampang produk kayu olahan, maka pasar produk kayu Indonesia akan semakin luas. Ini otomatis akan menyeret naiknya permintaan kayu bulat dari HPH untuk memasok industri pengolahan tanah air.
Rimba Campuran
Sementara Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menambahkan, pihaknya juga berharap dukungan pemerintah untuk mempromosikan penggunaan jenis kayu lain di luar jenis kayu yang saat ini sudah umum dimanfaatkan.
Dia menuturkan, saat ini jenis kayu yang paling diminati konsumen adalah dari kelompok meranti. Padahal, Indonesia memiliki jenis kayu lain yang diyakini punya kualitas tak kalah dengan jenis kayu tersebut.
“Menurut Badan Litbang dan Inovasi, ada setidaknya 45.000 jenis kayu di Indonesia. Namun, hanya sekitar 25% yang sudah dimanfaatkan secara komersial,” katanya.
Purwadi melanjutkan, pengalaman pemanfaatan jabon bisa menjadi pelajaran. Di masa lalu, pohon jabon yang merupakan tanaman pioner dan tumbuh secara alami usaha kegiatan produksi kerap diabaikan. Belakangan pohon jabon ternyata bisa diolah menjadi produk bernilai jual dan diminati konsumen. “Industri pengolahan juga harus terus melakukan uji coba pemanfaatan berbagai kayu rimba campuran,” katanya
Sementara itu Ketua Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan (ISWA), Soewarni berharap, pemerintah bisa memberi bantuan agar produk kayu di Indonesia mengalami peningkatan daya saing. Caranya dengan bersunguh-sungguh menghapus ekonomi biaya tinggi.
Dia menuturkan, ekonomi biaya tinggi ikut mendorong kenaikan harga log di atas harga riil-nya. “Pungutan-pungutan di daerah masih ada,” katanya.
Dia menuturkan, pemerintah sejatinya punya komitmen untuk membuat iklim usaha yang kondusif. Komitmen itu, katanya, perlu untuk benar-benar diwujudkan.
Baca juga:
Rekor Harga Log Meranti
Bisnis Kehutanan Bangkit
Sementara pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional, Gunawan Salim menuturkan, salah satu cara untuk membuat iklim usaha pengolahan lebih baik adalah dengan kebijakan yang tepat. “Misalnya soal pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) Log yang harus direvisi,” kata Gunawan.
Dia menjelaskan, log sejatinya belum menghasilkan nilai tambah sehingga tidak tepat pemerintah mengenakan PPN. Memang, PPN log bisa direstitusi jika telah dibuat produk kayu olahan untuk kemudian diperdagangkan. Namun, prosesnya makan waktu, bahkan hingga tahunan dan belum tentu permohonan restitusi cair seluruhnya. Sugiharto
Pemerintah Siap Fasilitasi
Fenomena kenaikan harga log diintip Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai peluang untuk mendorong kembali aktifnya perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).
Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Hilman Nugroho menyatakan, pihaknya terus memfasilitasi agar pemegang IUPHHK bisa segera beroperasi. “Kami bantu cari solusinya kenapa mereka sampai tidak aktif,” katanya.
Berdasarkan data KLHK, saat ini ada 253 unit manajemen IUPHHK hutan alam (HPH) dengan luas areal konsesi 18,4 juta hektare (ha). Sementara itu ada 293 unit manajemen IUPHHK hutan tanaman (HTI) dengan luas konsesi 11,6 juta ha.
Hilman menuturkan, salah satu cara untuk mendorong pemegang izin HPH dan HTI untuk aktif bekerja adalah dengan melakukan evaluasi kinerja HPH-HTI. Hasil evaluasi bisa dipetakan untuk mencari solusi bagi perusahaan tersebut untuk bisa beroperasi.
Berdasarkan hasil evaluasi, ada 164 unit manajemen HPH yang dikategorikan aktif berkinerja, 64 unit unit manajemen didorong berkinerja, dan 25 unit lainnya layak dievaluasi berdasarkan Peraturan Menteri LHK No P.39 tahun 2008.
Sementara untuk HTI, ada 119 unit manajemen yang layak dilanjutkan, 60 unit layak dilanjutkan dengan catatan, 71 unit layak dilanjutkan dengan pengawasan, dan 17 lainnya layak dievaluasi.
Hilman menyatakan, saat ini adalah saat yang tepat bagi pelaku usaha pengusahaan hutan untuk kembali beroperasi. Terbukti, pelaku usaha asal negeri jiran Malaysia pun melirik investasi di Indonesia. “Investor Malaysia berniat untuk berinvestasi di Indonesia karena iklim usaha kita semakin menarik,” katanya. Sugiharto