Indonesia mengambil langkah tegas melawan aksi diskriminatif Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit dengan melindungi data dan informasi mengenai perkebunan kelapa sawit. Selain bersifat privat, penutupan informasi untuk menghindari penyalahgunaan data yang akan memukul Indonesia, terutama isu deforestasi.
Di tengah ancaman UE mendiskriminasi produk biofuel berbahan baku minyak sawit (CPO) melalui Renewable Energy Directive (RED) II, Kantor Menko Perekonomian membuat langkah antisipatif. Data mengenai Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dikecualikan dari akses publik sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Apalagi, ada pengusaha perkebunan besar yang ingin menyelamatkan bisnisnya ke UE dengan memainkan informasi HGU. “Ada perusahaan besar yang main mata dengan sana (Uni Eropa),” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution kepada wartawan, Rabu (8/5/2019).
Untuk menutup celah permainan itu, keluarlah surat bernomor TAN.03.01/265/D.II.M.EKON./05/2019 tentang data dan informasi terkait kebun kelapa sawit yang diteken Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Musdhalifah Machmud. Isinya, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah tidak melayani permintaan data dan informasi mengenai HGU kebun sawit (nama pemegang, peta dan lokasi), meski permintaan itu dibenarkan dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang KIP.
Kalangan LSM kontan menyerang surat tersebut. Juru kampanye Forest Watch Indonesia, Agung Ady Setyawan menilai surat arahan itu bertentangan dengan UU KIP, terutama putusan Mahkamah Agung yang memutuskan data HGU kelapa sawit terbuka untuk publik. “Surat arahan pemerintah tersebut sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan harus diabaikan. Jika pemerintah dan industri sawit ingin membangun reputasi yang baik di mata dunia, seharusnya dimulai dari transparansi atas data,” katanya.
Greenpeace Indonesia juga mengingatkan putusan Mahkamah Agung, Maret 2017, yang menguatkan keputusan Komisi Informasi Pusat (KIP) soal HGU. KIP mengabulkan permohonan yang diajukan Forest Watch Indonesia agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional membuka data HGU kebun sawit di Kalimantan. Informasi yang dikabulkan meliputi nama pemegang izin HGU, tempat atau lokasi, luas HGU, komoditas, dan peta areal HGU dilengkapi titik koordinat.
Namun, keputusan pemerintah ini dibenarkan Prof. Budi Mulyanto. Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) ini menilai tidak seluruh data HGU sawit harus dibuka karena ada kepentingan privat di dalamnya yang secara hukum dilindung. “Tidak etis dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat, seperti titik koordinat HGU perusahaan. Apalagi, sampai meminta semua data terkait dokumen kepemilikan HGU untuk dibuka,” kata dia, Rabu (8/5/2019).
Hal yang sama disampaikan praktisi hukum kehutanan dan lingkungan hidup, Dr Sadino. Menurutnya, data umum HGU menyangkut luasan, tanggal penerbitan, nomor penerbitan dan data umum lainnya sudah terbuka dan bisa diakses publik. Yang jadi pertanyaan, untuk apa kelompok sipil meminta akses ke semua data HGU, termasuk peta koordinat SHP? “Untuk kepentingan apa data itu harus bisa diakses? Ujung-ujungnya data ini hanya akan dipergunakan sebagai alat kampanye hitam,” katanya. Permintaan yang berlebihan, memang. AI