Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Indonesia kehilangan hutan primer 27 persen atau 292.000 hektar pada 2023. Temuan ini berdasarkan analisis data satelit yang dirilis Global Forest Watch (GFW)-World Resources Institute (WRI). Dalam analisis ini, hutan primer didefinisikan sebagai kawasan tutupan hutan alami dan tua yang belum ditebangi dan ditanam kembali (Kompas, 6/4/2024).
Menurut laporan GFW, pada 2001, Indonesia memiliki 93,8 juta hektar hutan primer, mencakup lebih dari 50 persen wilayah daratnya. Dari tahun 2002 sampai 2023, Indonesia kehilangan 10,5 juta hektar hutan primer basah, menyumbang 35 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Indonesia berkurang 11 perasen dalam periode waktu ini. Indonesia mengalami peningkatan kehilangan hutan primer sebesar 27 persen pada 2023 yang merupakan tahun El Nino. Total hutan primer di Indonesia yang hilang pada 2023 seluas 292.000 hektar. Namun angka itu jauh di bawah angka pada pertengan tahun 2010-an. Sebanyak 107.000 haektar dari kehilangan ini ditemukan berada dalam kelas tutupan lahan hutan resmi Indonesia dan dengan ukuran petak lebih besar dari 2 hektar menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)-WRI.
Sayangnya analisis GFW ini, sebagian besar kehilangan hutan primer di Indonesia berada di dalam wilayah yang diklasifikasikan Indonesia sebagai hutan sekunder dan tutupan lahan lainnya, misalnya pertanian lahan kering campuran, tanaman perkebunan, dan hutan tanaman perdu. Hal ini disebabkan definisi hutan primer GFW berbeda dengan definisi dan klasifikasi hutan primer resmi Indonesia. Oleh karena itu, statistik GFW tentang kehilangan hutan primer di Indonesia jauh lebih tinggi daripada statistik resmi Indonesia tentang deforestasi di hutan primer. Apa yang sebenarnya dengan hutan primer di Indonesia, dan apa pula yang terjadi dengan hutan primer di Indonesia setelah era penebangan hutan baik secara legal maupun ilegal yang menyebabkan menyusutnya luas hutan primer di Indonesia. Berikut di bawah ini, sebagai rimbawan jebolan Fakultas Kehutanan IPB yang telah malang melintang bekerja di institusi pemerintah yang mengurusi kehutanan selama lebih dari 35 tahun, saya mencoba menguliknya seputar dengan hutan primer dari sejak terbitnya undang-undang (UU) no. 5/1967 tentang ketentuan pokok-pokok kehutanan hingga saat ini.
Terminologi Hutan Primer
Dalam UU no. 5/1967, secara tekstual tidak ditemukan adanya terminologi hutan primer yang ada adalah hutan alam yakni hutan terbentuk secara alami dan bukan ditanami oleh manusia. Sudah dapat dipastikan bahwa hutan alam tropika basah Indonesia yang pada saat terbitnya UU tersebut seluas 122 juta hektar, hampir 100 persen adalah hutan alam yang telah terbentuk rausan tahun sebelum Indonesia merdeka. Secara kontekstual, hutan alam Indonesia adalah hutan primer tropika basah dengan ratusan jenis pohon/tanaman dan telah menyatu membentuk ekosistem hutan yang seimbang (equilibrium ecosystem) dan mencapai kondisi stabil (klimaks) melalui proses ratusan tahun membentuk sebagai hutan alam tropika basah (humida) di Indonesia. Oleh karenanya, pada saat itu (1967) Indonesia belum mengenal adanya hutan alam sekunder, kecuali hutan tanaman di P. Jawa yang dirintis oleh pemerintahan Hindia Benlanda berupa hutan jati dan pinus.
Dalam operasinalisasinya, dengan terbitnya peraturan pemerintah (PP) no. 21/1970 , tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH), sejak saat itu hutan alam primer dibuka secara besar-besaran untuk memperoleh devisa negara dalam rangka menggerakkan roda pembangunan di Indonesia. Sejak saat itu pula secara cepat, Indonesia mulai kehilangan hutan alam primer dan Indonesia mulai mengenal istilah/terminologi hutan alam sekunder sisa-sisa bekas tebangan/ logging over area (LOA).
Sewaktu saya menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB tahun 1978-1981, terminologi, hutan primer dan hutan sekunder dapat diperoleh dari buku diktat mata kuliah “Silvika” karangan Wiratmoko Soekotjo yang menyebut bahwa hutan primer adalah hutan alam yang terbentuk secara alami dan natural melalui proses suksesi alami yang berlangsung bertahun-tahun dan telah mencapai kondisi ekosistem yan g stabil (klimaks). Sementara itu hutan sekunder adalah hutan yang telah mengalami penebangan (deforestasi) pohon-pohannya dan dipulihkan kembali dengan cara menanam pohon baru atau tumbuh secara alami baik melalui anakan maupun terubusan. Staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB, Syafii Manan dalam sebuah tulisannya di harian Kompas tahun 1978, menyebut bahwa dari luas hutan alam primer Indonesia 122 juta hektar, tidak kurang dari 40 juta hektar hutan primer yang telah terdeforestasi dan terdegradasi yang teridiri dari lahan kritis dalam kawasan hutan, lahan tidak produktif, semak belukar dan sejenisnya.
Sampai dengan adanya revisi UU no.5/1967 menjadi UU no. 41/1999 tentang kehutanan, secara tekstualpun, tidak ditemukan terminologi adanya hutan alam primer. Terminologi HPH dan HPHH, telah dirubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu dari hutan alam. Pada tahun 2000, setelah terbitnya UU no. 41/1999; jumlah IUPHHK-HA (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan alam primer lebih dari 64 juta hektar. Secara matematis, luas hutan alam primer pada kawasan hutan produksi yang diusahakan oleh perusahaan/korporasi pemegang IUPHHK-HA akab erkurang seluas 64 juta hektar pula.
Perdebatan Definisi Hutan Primer
Pada tahun 2020 mencuat perdebatan definisi hutan primer antara pemerintah Indonesia dan GFW. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan Indonesia memiliki terminologi dan definisi soal klasifikasi hutan yang secara ilmiah diakui oleh komunitas internasional. Terminologi dan definisi tersebut menjadi rujukan dalam pemantauan hutan di Indonesia. Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Belinda Arunarwati Margono (waktu itu) menyatakan Indonesia menetapkan klasifikasi kelas hutan dengan mengacu pada beberapa ketentuan termasuk Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Nomor P.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL (Forest Reference Emissions Level) 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014. Klasifikasi kelas itu terbagi menjadi hutan alam yang mencakup hutan primer dan sekunder. Ada juga satu kelas hutan tanaman. Hutan primer didefinisikan sebagai seluruh penampakan hutan yang belum menunjukkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh penampakan hutan yang telah menunjukkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder. Secara sederhana, hutan alam merupakan gabungan antara hutan primer dan hutan sekunder, sedangkan hutan sendiri mencakup hutan primer, hutan sekunder, dan hutan tanaman.
Sebelumnya, data University of Maryland yang dipublikasikan Global Forest Watch (GFW) pada 4 Juni 2020 menyatakan daerah tropis kehilangan 11,9 juta hektare tutupan pohon pada tahun 2019. Hampir sepertiga dari kehilangan tersebut, yaitu 3,8 juta hektare, terjadi di hutan primer tropis lembap. Angka tersebut setara dengan kehilangan hutan primer (primary forest) seluas lapangan sepak bola setiap 6 detik sepanjang tahun. Data tersebut juga menyebut Indonesia berhasil mempertahankan tren penurunan kehilangan hutan untuk tiga tahun berturut-turut. Kehilangan hutan primer di Indonesia menurun 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia dinyatakan belum pernah mengalami kehilangan hutan primer yang begitu rendah sejak awal abad ini. Meski demikian, dalam data tersebut Indonesia ditempatkan di posisi ketiga negara yang mengalami kehilangan tutupan hutan primer tertinggi pada 2019 seluas 324.000 hektare. Global Forest Watch sudah memberikan catatan, bahwa definisi hutan primer dalam data mereka adalah hutan tropis alami lembap dewasa yang belum dibabat sampai habis dan ditanam kembali dalam sejarah yang belum terlalu lama. Catatan lain yang juga dinyatakan adalah kehilangan tutupan pohon tidak sama dengan deforestasi.
Menurut KLHK, terminologi hutan primer ala Global Forest Watch kurang tepat jika disandingkan dengan definisi di Indonesia. Soalnya, apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka hutan primer versi Global Forest Watch sesungguhnya adalah hutan alam dan tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belinda menjelaskan perbedaan terminologi ini penting untuk diklarifikasi karena pengertian yang beda bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda. Perlu diluruskan bahwa istilah hutan primers GFW tidak seharusnya diterjemahkan langsung sebagai hutan primer, karena pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia.
Sejak melansir laporan kehilangan tutupan hutan, GFW memakai informasi tutupan hutan (canopy tree) secara serial untuk mengestimasi perubahan tutupan pohon (tree cover), seperti penjelasan World Resources Institute di sini. Dalam hal ini, tree cover akan mencakup apa pun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan (tahun sumber data, misalnya untuk GFW menggunakan tahun awal pengamatan tahun 2000). Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, pohon karet, belukar tua maupun agroforestri dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan. Dengan situasi tersebut, ketika muncul data tree cover loss, perubahan yang terdeteksi, terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut.
Pengertian ini tidak sesuai dengan Indonesia, karena di sini yang dimaksud dengan perubahan tutupan hutan khususnya terkait gross deforestasi hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam. Dalam perkembangannya, GFW juga melakukan penyempurnaan data. Untuk itu, juga dibangun data set yang menggambarkan hanya sebaran hutan alam saja. Data set ini dinamai “primary forest mask”, dan data set ini yang kemudian dipakai untuk membedakan keberadaan hutan alam terhadap vegetasi lainnya yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter. Perubahan tutupan hutan yang terjadi pada primary forest mask yang kemudian dirilis GFW dalam bentuk primary forest loss. Meski begitu primary forest mask pada dasarnya terdiri atas dua kelas utama juga, yaitu primary intact forest (hutan primer utuh) dan primary degraded forest (hutan primer terdegradasi). Di Indonesia primary intact forest mendekati apa yang sering disebut hutan primer. Sedangkan primary degraded forestmendekati pengertian kelas hutan sekunder.
Kosistensi Hutan Primer Indonesia
Menurut data dari KLHK dalam bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektar, yang terdiri dari kawasan yang masih berhutan 86,9 juta hektar, (hutan primer 45,3 juta ha, hutan sekunder 37,3 juta ha, dan hutan tanaman 4,3 juta ha) dan kawasan hutan non tutupan hutan 33,4 juta ha. Dari hutan primer seluas 45,3 juta hektar tersebut terbagi menjadi kawasan fungsi hutan konservasi (HK) 12,5 juta ha, hutan lindung (HL) 15,9 juta ha, hutan produksi terbatas (HPT) 9,8 juta ha, hutan produksi biasa (HP) 4,7 juta ha, hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 2,5 juta ha dan areal penggunaan lain (APL) 1,5 juta ha.
Konsistensi luas hutan alam primer yang diterbitkan pemerintah dalam hal ini KLHK perlu dipertanyakan karena KLHK sejak tahun 2011 di era pemerintahan Presiden SBY telah mengeluarkan moratorium pembukaan hutan alam primer dan gambut. Pada era Presiden Joko Widodo, moratorium pembukaan hutan alam primer dan gambut dipermanenkan pada Agustus 2019. Lebih lanjut, luasan area yang masuk ke dalam moratorium berada dalam angka stabil selama tiga tahun belakangan, yaitu sekitar 66 juta hektar. Pada revisi ke-16, luas areal moratorium seluas 66,3 juta hektare, dengan rincian 51,5 juta hektare kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, 5,3 juta hektare lahan gambut yang tak masuk areal konsesi perusahaan hutan produksi atau Areal Penggunaan Lain (APL), serta 9,5 juta hektare hutan alam primer yang belum menjadi konsesi di hutan produksi atau APL. Belakangan pemerintah menghentikan secara permanen pembukaan lahan gambut.
Anehnya angka 66 juta ha tetap dipertahankan bahkan pada 2022 KLHK menerbitkan peta indikatif penghentian pemberian perizinan berusaha persetujuan penggunaan kawasan hutan baru pada hutan alam primer dan lahan gambut (PIPPIB) seluas ± 66.511.600 hektar. Dengan rincian kurang lebih sama dari PIPPIB periode sebelumnya dimana 51,5 juta ha adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Padahal dalam rilis bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan lindung dan hutan konservasi yang masih dalam bentuk hutan alam primer tinggal tersisa 28,4 juta ha yang terdiri dari hutan konservasi 12,5 juta ha dan hutan lindung 15,9 juta ha. Lalu sisa 23,1 juta ha hutan konservasi dan hutan lindung diambil dari mana? Dalam hal ini, data KLHK diragukan konsistensinya.
Belum lagi kalau dihitung laju deforestasi yang terjadi setiap tahun, hampir dapat dipastikan 80 persen laju deforestasi tersebut terjadi pada hutan alam primer. Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya laju deforestasi 10 tahun terakhir (2013-2022) telah mencapai kurang lebih hanya 3,854 juta hektar. Perinciannya adalah 2013 seluas 730.000 ha, 2015 seluas 1,01 juta ha (terjadi El Nino dan kebakaran hebat), 2016 seluas 630.000 ha, 2017 seluas 480.000 ha, 2018 seluas 440.000 ha, 2019 seluas 460.000 ha (karena El Nino naik lagi) dan 2022 seluas 104.000 ha.
Keanehan dan inkonsistensi data hutan alam primer di Indonesia inilah yang membuat saya menyimpulkan adanya kontoversi tentang definisi hutan primer di Indonesia. ***