Bandrol Ilegal meski Punya HGU

Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit (Ilustrasi)

Terbitnya PP 104/2015 bisa menjadi jalan bagi pengusaha perkebunan untuk bisa beroperasi lebih tenang. Mereka bisa melengkapi izin kebun yang telah dimiliki lebih dulu dengan izin yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sehingga bisa beroperasi secara resmi.

Namun, terbitnya beleid tersebut justru ditanggapi dingin. Rumitnya prosedur yang mesti dilewati untuk bisa mendapat izin yang dimohon menjadi salah satu alasan.

Sunggu Situmorang dari Kompartemen Otonomi Daerah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, anggota Gapki tak terlalu antusias dengan terbitnya PP 104/2015. “Karena prosedurnya memang rumit,” katanya.

Hal itu bisa berkaca dari minimnya perusahaan yang memproses permohonan untuk mendapat izin dari Kementerian LHK berdasarkan ketentuan sebelumnya, PP 60/2012. Salah satu kerumitan yang harus dijalani adalah menyediakan lahan pengganti dalam proses tukar-menukar kawasan hutan, jika izin perkebunannya berada di kawasan hutan produksi (HP).

“Mencari lahan pengganti itu tidak mudah. Apalagi mendapatkan lahan yang luasnya setara dan clean and clear. Kalaupun ada, prosedur penataan batas yang dilewati juga tidak mudah,” katanya.

Sunggu juga tidak begitu yakin proses tukar-menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan akan lebih mudah dengan terbitnya PP 104/2015. Bahkan, bukan tidak mungkin prosesnya bisa lebih rumit karena untuk pelepasan kawasan hutan harus melibatkan tim terpadu (timdu).

Sementara itu, pengamat dan praktisi hukum sumber daya hutan, Sadino menyatakan, dinginnya tanggapan pelaku usaha perkebunan terhadap PP 104/2015 bisa dimaklumi. Pasalnya, kekuatan hukum perusahaan kebun yang memiliki izin perkebunan sesuai dengan RTRW yang diterbitkan oleh pemerintah daerah itu sesungguhnya cukup kuat.

“Mereka ini kan tidak ilegal, tapi punya izin. Bahkan, HGU-nya juga sudah diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN),” katanya.

Sadino justru mempertanyakan surat keputusan menteri kehutanan yang menunjuk kawasan hutan dengan mengabaikan kenyataan dan peristiwa-peristiwa hukum yang sudah terjadi di lapangan. Menurut dia, banyak kasus di mana perkebunan dan pembangunan infrastruktur sudah terbangun sebelum ada surat keputusan penetapan kawasan hutan. “SK penetapan kawasan hutan memaksa secara retroaktif. Kan tidak bisa,” katanya.

Dia juga menilai pelibatan tim terpadu dalam proses pelepasan kawasan hutan bakal membuat perusahaan perkebunan semakin enggan untuk mengurus izin versi Kementerian LHK. Apalagi, tak ada jaminan bahwa tim terpadu akan merekomendasikan untuk melepas seluruh kawasan hutan yang dikaji.

“Jadi, dari pada mesti mengurus izin ke Kementerian, perusahaan kebun akan memilih untuk tetap beroperasi normal. Toh mereka memiliki izin, juga sudah ada HGU-nya,” katanya.

Kritik

Sementara itu pengamat kehutanan IPB yang juga analis kehutanan dari Thamrin School, Togu Manurung, mengkritik keras terbitnya PP 104/2015. Menurut dia, dibukanya peluang pemutihan terhadap perkebunan yang beroperasi secara tidak prosedural di kawasan hutan tidak dapat dibenarkan. “Ini adalah kesalahan yang fatal,” katanya.

Apalagi, pemutihan tersebut juga diberikan bagi kebun yang beroperasi di kawasan konservasi. Dia mengingatkan, kawasan konservasi ditetapkan dengan mempertimbangkan banyak hal yang bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati.

Kebijakan tersebut juga memunculkan pertanyaan atas komitmen Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya untuk menjaga dan mempertahankan kawasan hutan. “Seharusnya pelanggaran penggunaan kawasan hutan ditertibkan. Bukan malah dikasih angin,” katanya.

Dia mengingatkan, izin perkebunan di kawasan hutan lekat dengan tata kelola pemerintahan daerah yang buruk. Banyak kepala daerah yang enteng meneken izin perkebunan demi mendapat imbalan tertentu. “Ini adalah modus dari para kepala daerah yang nakal,” kata Togu, yang pernah menjadi Tenaga Ahli Menteri Kehutanan di era MS Kaban.

Dia juga menyebut, langkah pemutihan ini bisa menjadi preseden buruk. Bukan tak mungkin ke depan akan banyak izin yang diterbitkan di kawasan hutan tanpa prosedural, untuk kemudian berharap ada pemutihan. Preseden itu sejauh ini sudah terbukti dengan dibukanya kembali pintu pemutihan kebun tanpa izin berdasarkan PP 104/2015, setelah sebelumnya sempat dibuka berdasarkan PP 60/2012. Sugiharto

Pembenahan Keterlanjuran Izin

Kilas balik ke belakang, terbitnya PP 60/2012 — yang kini digantikan dengan PP 104/2015 — tak lepas dari langkah Kementerian Kehutanan (kini Kementerian LHK) menggelar penertiban tambang dan kebun yang tidak prosedural sejak tahun 2010.

Langkah tersebut ternyata mencuatkan kegaduhan. Pasalnya, meski versi Kemenhut izin kebun dan tambang tersebut tak punya izin resmi, faktanya mereka umumnya sudah berbekal izin yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang mengacu pada RTRW setempat.

Kegaduhan makin keras tatkala sejumlah kepala daerah juga turut dilaporkan kepada aparat penegak hukum karena dinilai berperan dalam penerbitan izin kebun dan tambang tersebut.

Perlawanan pun berkobar. Sejumlah kepala daerah sempat melayangkan surat kepada Presiden bahwa investasi yang terlanjur ditanamkan pada kebun dan tambang tersebut bernilai triliun rupiah. Perlawanan paling keras dilakukan oleh lima bupati dan seorang pengusaha kebun di Kalteng yang memohon uji materi Undang-undang No.41/1999 tentang Kehutanan kepada Mahkmah Konsitusi (MK). Hebatnya, MK mengabulkan tuntutan tersebut dan memerintah kemenhut tidak sembarangan dalam proses penetapan kawasan hutan.

Penyelesaian kisruh tersebut sebenarnya sempat bolak-balik dibahas di Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Namun, tak juga menemukan titik terang, sampai Presiden akhirnya meneken PP 60/2012.

Tujuan terbitnya beleid tersebut diklaim untuk membenahi kawasan hutan. Pasalnya, banyak izin kebun dan tambang yang diterbitkan berdasarkan RTRW, namun berdasarkan UU Kehutanan berada pada kawasan hutan. PP 60/2012 pun diyakini bisa menjadi jalan untuk tercapainya kepastian kawasan hutan.

Kini, argumen tentang pembenahan kawasan hutan juga diajukan dalam penerbitan PP 104/2015. Setidaknya, itulah yang ditegaskan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan kementerian LHK San Afri Awang. “Ketentuan tersebut untuk membenahi keterlanjuran izin kebun dan tambang yang diterbitkan mengacu kepada RTRW,” katanya. Sugiharto