Ikut Proses atau Mati

Ilustrasi pohon sawit

Ketika isu tentang komitmen anti deforestasi yang dicanangkan sejumlah raksasa sawit dalam bendera IPOP (Indonesia Palm Oil Pledge) sedang panas-panasnya, pemerintah justru mengambil langkah berani untuk memutihkan perkebunan yang arealnya mencaplok kawasan hutan.

Inilah kebijakan baru yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan yang diteken Presiden Joko Widodo pada 22 Desember 2015. PP tersebut merupakan pengganti dari PP No. 10 tahun 2010 jo. PP No. 60 tahun 2012.

Sejatinya, PP 104/2015 lebih banyak mengatur penyederhanaan perubahan kawasan peruntukan kawasan terkait percepatan pembangunan proyek strategis yang menggunakan kawasan hutan (lihat boks). Namun, soal pemutihan kebun di kawasan hutan terselip di pasal peralihan beleid tersebut.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK San Afri Awang kebijakan tersebut ditujukan untuk pembenahan perizinan. “Ini agar tertata. Tata kelolanya biar benar,” kata dia di Jakarta, (17/2/2016).

Kebijakan pemutihan kebun yang terlanjur beroperasi di kawasan hutan sebenarnya bukan baru kali ini saja dilakukan. Sebelumnya kebijakan itu diatur dalam PP 60/2012. Saat itu, kebun yang terlanjur beroperasi di kawasan hutan bisa mengajukan izin dengan mengajukan permohonan kepada Kementerian LHK (dulu Kementerian Kehutanan). Mereka diberi waktu selama 6 bulan sejak PP itu terbit, 6 Juli 2012.

Namun, PP 104/2015 lebih revolusioner dibanding pendahulunya. Pasalnya, perkebunan yang mendapat pemutihan tidak hanya yang beroperasi di kawasan Hutan Produksi (HP) atau Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), tapi juga di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung. Pembedanya, jika di HP atau HPK, perkebunan bisa mengajukan izin yang berlaku selamanya, maka di Hutan Konservasi dan Hutan Lindung perusahan kebun hanya diberi kesempatan beroperasi untuk satu daur saja.

Awang menjelaskan, PP 60/2012 menjadi dasar dari kebijakan saat ini. Berdasarkan PP tersebut, ternyata masih banyak perkebunan yang terlanjur beroperasi di kawasan hutan tapi belum mengurus izin untuk memanfaatkannya. Itu sebabnya, Kementerian LHK pun membuka kesempatan sekali lagi bagi perkebunan tersebut. “Jadi, masih ada yang tertinggal. Ini yang mesti ditata,” katanya.

Menurut Awang, mereka yang beroperasi di hutan tanpa izin Kementerian LHK sesungguhnya melanggar hukum. Namun, kenyataannya, mereka bisa beroperasi sementara negara harus kehilangan potensi pendapatan dari pungutan dan pajak. Di sisi lain, perkebunan tersebut juga menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Produksi sawit perkebunan itu pun memberi kontribusi bagi negara dalam bentuk devisa.

“Kalau perkebunan itu distop, tenaga kerja yang dihidupkan pasti akan terdampak,” katanya.

Awang menepis kebijakan kali ini adalah hasil negosiasi antara perusahaan perkebunan dengan Kementerian LHK. Dia menegaskan, kebijakan pemutihan kebun diambil murni berdasarkan logika. “Saya nggak kenal siapa mereka. Ini common sense saja. Daripada mereka selama ini nggak bayar pajak, karena ilegal,” katanya.

Berdasarkan hitung-hitungan Kementerian LHK, setidaknya ada 1 juta hektare (ha) perkebunan yang akan mengajukan permohonan pemutihan. Mereka diberi kesempatan selama satu tahun sejak terbitnya PP 104/2015 untuk mengajukan permohonan. “Kalau sudah kami beri kesempatan, belum juga ikut proses, ya matikan saja,” katanya.

Ratusan perusahaan

Asal tahu saja, mengacu kepada PP 60/2012, terdapat 229 perusahaan kebun yang mengajukan permohonan untuk mendapat izin dari Kementerian LHK. Kebanyakan perkebunan itu berada di Kalimantan Tengah dan Riau. Bahkan, terdapat nama-nama tenar dalam industri kelapa sawit yang mengajukan permohonan, seperti PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk atau PT SMART Tbk.

Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan inventarisasi terhadap penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural yang pernah dilakukan Kementerian Kehutanan bersama sejumlah instansi penegak hukum lainnya, termasuk kepolisian, kejaksaan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Hasil penyisiran mengungkapkan, di Kalimantan saja, setidaknya ada 2.000 perusahaan perkebunan dan pertambangan yang beroperasi secara ilegal karena memanfatkan kawasan hutan secara tidak prosedural.

Sebagai gambaran, untuk Kalimantan Tengah, tim Kementerian Kehutanan menemukan 899 perusahaan kebun dan tambang tidak menggenggam izin yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Termasuk di antaranya adalah 268 perusahaan kebun dengan luas 3,7 juta ha.

Meski ada ratusan perusahaan yang mengajukan permohonan, namun Awang mengungkapkan tak banyak perusahaan kebun yang lolos verifikasi untuk kemudian mengurus izin di Kementerian LHK. “Jumlahnya hanya 30-an saja,” katanya.

Perusahaan perkebunan yang ingin mendapat pemutihan memang tak sembarangan. Ada syarat yang mesti dipenuhi, sama seperti halnya pada PP 6/2012. Syarat itu adalah perusahaan kebun itu memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Izin kebun tersebut harus diterbitkan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Menurut Awang, perkebunan yang memiliki izin sesuai RTRW, namun berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 izin tersebut berada di kawasan hutan, maka izin tersebut bisa mengajukan permohonan untuk mendapat izin pelepasan kawasan hutan. “Jadi, perkebunan itu tetap harus memiliki izin sesuai Perda RTRW. Jika tidak, tidak akan kami proses permohonannya,” katanya.

Bagi perkebunan yang izinnya berada di kawasan HPK, maka izin yang bisa diajukan adalah pelepasan kawasan hutan. Sementara untuk yang berada di kawasan HP, perusahaan perkebunan harus mendapat izin Tukar Menukar Kawasan Hutan. Mereka yang ingin mengajukan permohonan diberi waktu paling lama satu tahun setelah terbitnya PP 104/2015.

Sementara bagi perkebunan yang berada di kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung, tak ada batasan waktu untuk mengajukan. Meski demikian, mereka hanya diberi kesempatan beroperasi selama satu daur. “Sekitar 25 tahun. Tapi nanti akan diatur lebih detil dalam peraturan teknis,” kata Awang.

Awang menegaskan, pihaknya tak akan serampangan dalam mengabulkan permohonan yang masuk. Verifikasi secara detil terhadap ruang yang dimanfaatkan akan dilakukan. Jika memang izin kebunnya berdasarkan Perda RTRW di luar kawasan hutan, padahal berada di kawasan hutan berdasarkan UU 41/1999, baru permohonannya bisa diproses.

Meski kental dengan kontroversi, Awang menyatakan terbitnya PP ini sudah melewati diskusi yang intens dengan instansi dan lembaga terkait. “Ini sudah berdebat dengan Sekneg dan kementerian terkait. Perkebunan ini kan memiliki izin yang sesuai perda RTRW-nya,” katanya. Sugiharto

Tim Terpadu sebagai Penentu

Meski menyelipkan soal pemutihan izin perkebunan, namun PP 104/2015 diterbitkan dalam semangat percepatan proyek strategis yang menggunakan kawasan hutan seperti listrik, waduk dan infrastruktur lainnya. PP ini menyederhanakan prosedur perubahan kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan. PP Ini juga dirancang menyesuaikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, San Afri Awang mengungkapkan, untuk tukar-menukar kawasan hutan berdasarkan PP 104/2015 bisa diterbitkan izinnya sebelum lahan pengganti ditata-batas. Sedangkan untuk pelepasan kawasan hutan kini prosedurnya menghilangkan tahapan persetujuan prinsip. PP 104/2015 juga mengatur bahwa Hutan Produksi Konversi (HPK) dapat menjadi lahan pengganti. Pada ketentuan lama, hal ini tidak bisa dilakukan.

Yang cukup keras dari PP 104/2015 adalah dilakukannya kajian oleh tim terpadu (timdu) dalam proses pelepasan kawasan hutan. Hasil kajian timdu nantinya akan merekomendasikan dua hal. Melepas sebagian atau seluruhya areal yang dimohon. Jika berdasarkan hasil kajian timdu ternyata kawasan HPK yang dimohon masih berupa hutan produktif, maka timdu malahan akan merekomendasikan untuk dijadikan HP tetap. Sugiharto