Impor Akhirnya Ditempuh Industri

Langkah Kementerian LHK yang memerintahkan pencabutan tanaman menuai kritik tajam. Selain dinilai tak sesuai etika rimbawan, aksi tersebut juga bisa berdampak besar terjadinya shortage bahan baku. Kalau sudah begini, industri bubur kayu dan kertas bakal kesulitan, yang ujungnya akan berdampak pada penerimaan devisa dan penyerapan tenaga kerja.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Profesor Yanto Santosa mengkritik langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjatuhkan sanksi bagi tiga perusahaan HTI. Dia mengingatkan, pemerintah memiliki peran pembinaan agar pemanfaatan sumber daya alam memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

“Kesan yang muncul saat ini adalah semakin banyak sanksi yang dijatuhkan, kinerjanya semakin bagus. Ini tidak tepat,” kata Yanto ketika dihubungi, Jumat (17/3/2017).

Langkah Kementerian LHK yang mengobral sanksi sebagai bagian dari kinerja bisa dilihat dari rencana memasukan denda perdata ke dalam capaian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Semakin banyak sanksi denda diberikan semakin tinggi PNBP yang diperoleh. “Ini jelas tidak tepat,” katanya.

Dia mengingatkan, seluruh komponen bangsa seharusnya solid dalam mendukung pengembangan komoditas unggulan nasional, seperti hasil hutan dan kelapa sawit. Yanto merujuk pada apa yang dilakukan Malaysia yang mendukung penuh kelapa sawit. “Jangan justru saling menyalahkan,” katanya.

Apalagi, meski sempat terjadi kebakaran, kenyataan lahan tersebut tidak mengalami kerusakan. Faktanya, lahan bekas terbakar justru meningkatkan kesuburan. Kondisi ini bisa dilihat secara kasat mata di lapangan. Yanto menyatakan, bukti bahwa lahan bekas terbakar tidak rusak sudah ditegaskan dalam putusan hakim pada kasus PT Bumi Mekar Hijau, di Sumatera Selatan. “Ini seharusnya bisa menjadi yurispudensi,” kata dia.

Yanto mengingatkan, lahan bekas terbakar yang ditanam ulang sejatinya adalah bagian dari kawasan hutan dengan fungsi produksi. “Jadi, kalau masih bisa dimanfaatkan untuk produksi, ya sebaiknya ditanam kembali,” katanya.

Yanto justru mempertanyakan jika Kementerian LHK mau mengubah fungsinya sebagai hutan lindung atau hutan konservasi. Menurut dia, perubahan itu seharusnya melalui jalur review Rencana Tata Ruang dan Wilayah  (RTRW) — yang sudah pasti akan memakan waktu panjang. “Saya mempertanyakan jika alasannya lahan tersebut akan direstorasi. Restorasi berarti mengembalikan kondisi lahan seperti semula. Langkah ini bukan perkara mudah. Apalagi, lahan yang terbakar belum tentu rusak,” katanya.

Belum becus

Dia juga mengingatkan kemungkinan bakal terjadinya kurangnya pasokan bahan baku tanaman bagi industri kehutanan, karena larangan penanaman kembali di lahan eks terbakar. Padahal, perusahaan HTI pasti sudah mempersiapkan rotasi produksi secara berkesinambungan dalam beberapa tahun ke depan. Adanya jeda antar-umur tanaman ini akan mengurangi pasokan bahan kayu ke industri bubur kayu dan kertas di hilir. “Ketika suplai bahan baku berkurang, negara juga yang dirugikan,” katanya.

Yanto khawatir jika pelaku usaha akhirnya kapok dan memilih untuk mencabut investasinya. Sementara pemerintah belum tentu mampu mengelola lahan yang ada. “Kenyataan membuktikan pemerintah belum becus mengelola hutan dan lahan,” katanya.

Ancaman terhadap investasi HTI dan industri turunannya dipastikan akan mempengaruhi perekonomian yang berujung pada lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat. Yanto mengingatkan, jika tugas pemerintah yang utama adalah menyejahterakan masyarakat.

Dia pun menegaskan, pencabutan tanaman sangat jauh dari etika rimbawan. Padahal, Kementerian LHK sedang memperingati Hari Bakti Rimbawan. “Rimbawan diminta untuk mencabut pohon yang sudah ditanam, tidak sesuai etika,” tegas Yanto.

Aneh

Sementara itu, pakar gambut IPB Dr Basuki Sumawinata juga tak sependapat dengan aksi KLHK. Menurutnya, lahan bekas kebakaran sewajarnya ditanami kembali. Apalagi, status lahan tersebut merupakan lahan konsesi untuk produksi. “Kalau lahan itu berizin, mestinya kan tugasnya memproduksi kembali,” katanya.

Basuki mempertanyakan, jika lahan yang sudah diberikan izin usaha tak boleh ditanami kembali. “Kalau tidak boleh ditanami, itu tujuannya apa? Ini kan aneh. Disuruh berusaha, tapi tidak boleh ditanami,” kata dia.

Basuki juga mempertanyakan kebijakan pemerintah yang melarang melakukan penanaman di lahan bekas kebakaran. Sebab, di negara-negara lain, lahan bekas kebakaran juga dilakukan penanaman. “Kalau solusinya lahan habis kebakaran tidak boleh ditanami kembali, lantas solusinya apa? Apakah pemerintah yang akan menanami lahan tersebut? Saya yakin mereka tidak mampu menanami lahan seluas itu,” katanya.

Menurut Basuki, kalau solusi yang diambil pemerintah terhadap lahan bekas kebakaran tidak boleh ditanami, maka dipastikan dunia usaha di sektor HTI dan perkebunan sawit akan suram. “Padahal sektor HTI dan perkebunan kelapa sawit terbukti telah menggerakan perekonomian Indonesia, menyerap banyak tenaga kerja, dan penghasil devisa yang besar,” tandas Basuki.

Kekurangan

Sementara Anggota Dewan Pakar Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan mengingatkan pemerintah, larangan untuk merehabilitasi lahan eks kebakaran dengan tanaman pokok HTI bisa mengakibatkan terjadinya shortage bahan baku bagi industri bubur kayu dan kertas. “Saat ini saja impor bahan baku kayu sudah terjadi,” katanya ketika dihubungi, Sabtu (18/3/2017).

Rusli menuturkan, kebijakan pemerintah seharusnya mempertimbangkan investasi miliaran dolar yang sudah ditanamkan. Investasi tersebut memiliki multiplier effect besar. Mulai dari penerimaan devisa, pajak, dan berbagai penerimaan negara. Dia juga mengingatkan, investasi itu menyerap ribuan tenaga kerja. “Kebijakan pemerintah seharusnya juga melihat karyawan langsung dan tidak langsung. Kalau industri ini kekurangan bahan baku, pekerja di sana mau makan apa?” katanya.

Dia melanjutkan, di tengah kondisi ekonomi global yang lesu, pemerintah sudah seharusnya mengamankan investasi dengan kebijakan yang adil bagi semua. Meski berstatus pengusaha, sejatinya mereka adalah rakyat Indonesia juga. “Begitu juga karyawan yang bekerja di perusahaan. Mereka kan rakyat Indonesia juga yang harus diperlakukan adil,” katanya.

Rusli menuturkan, kebijakan yang tidak adil bisa membuat pelaku usaha angkat kaki dan memindahkan investasinya ke Tiongkok, Vietnam, Kamboja, atau Myanmar. Ini sudah pernah terjadi di masa lalu. “Tapi karyawannya kan tidak bisa ikut pindah,” katanya. Sugiharto

Membaca Kekurangan Bahan Baku

Kekhawatiran terjadinya kekurangan (shortage) bahan baku yang diklaim Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) memang tidak main-main. Dari data Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) dua raksasa yang terkena sanksi pemerintah, ternyata ketiga HTI yang terkena sanksi merupakan tulang punggung pemasok kayu untuk pabrik pulp. Bahkan, untuk RAPP estate Pelalawan, tahun 2017 ini rencananya akan memasok kayu sebanyak 1,506 juta m3. Jumlah ini merupakan pasok terbesar dari total 34 HTI yang jadi pemasok bahan baku untuk RAPP.

Volume pasokan RAPP estate Pelalawan tahun 2017 sendiri menurun tajam sampai 25,8% dibandingkan setahun sebelumnya. Tahun 2016, rencana pasok estate Pelalawan ini mencapai 2,032 juta m3 dan nyaris terealisasi semua. Tidak diketahui dengan pasti apakah penurunan RPBBI 2017 untuk estate Pelalawan terkait dengan kebakaran yang terjadi. Namun, sampai Februari 2017, dari unit ini saja industri pulp RAPP sudah memperoleh 416.040 m3 bahan baku kayu.

Penurunan pasok yang paling kasat terjadi pada pabrik pulp PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. (IKPP) milik APP. Salah satu pemasok kayu perusahaan publik ini adalah HTI PT Bumi Andalas Permai (BAP), yang terbakar hebat bersama dengan dua pemasok kayu IKPP lainnya di Sumatera Selatan — PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries — pada tahun 2015.

Berdasarkan RPBBI 2106, PT BAP memasok bahan baku kayu sebanyak 1,283 juta m3, yang direalisasikan 998.519 m3. Namun, dalam RPBBI 2017, kontribusi PT BAP turun drastis, kalau bukan habis sama sekali, tinggal 15.000 m3!

Hal yang sama juga terjadi untuk dua pemasoknya di Sumsel: BMH dan SBA Wood Industries. Padahal, dari dua HTI ini ada pasok yang lumayan. Tahun lalu, keduanya masing-masing menyumbang pasok kayu 234.000 m3 dan 240.010 m3, dengan realisasi masing-masing 181.378 m3 dan 214.276 m3. Untuk RPBBI 2017, kedua HTI ini hanya menyisakan masing-masing 15.000 m3.

Entah apakah penurunan itu terkait dengan kebakaran atau sesuai janji direksi APP akan memutus kerjasama dengan pemasok yang bersalah melakukan pembakaran. “APP akan memutuskan hubungan kerjasama dengan pemasok kayu yang terbukti bersalah melakukan pembakaran dengan sengaja,” kata Direktur APP, Suhendra Wiriadinata (AgroIndonesia, edisi 13-19 Oktober 2015). Namun, dari realisasi RPBBI 2016 ternyata masih ada pasok dari dua HTI tersebut. Tahun ini juga masih tercatat ada, meski hanya 15.000 m3, dan dari BMH sampai Maret juga sudah terealisasi 3.307 m3.

Turun

Yang jelas, secara total terjadi penurunan pasok bahan baku kayu serpih untuk RAPP maupun APP tahun 2017. Jika 2016 RAPP masih berani pasang rencana dapat pasok 10,840 juta m3 kayu serpih untuk memberi makan mesin pulp berkapasitas 2,09 juta ton/tahun, pada 2017 ini mereka hanya menyebut rencana pasok kayu serpih 7,28 juta m3, turun 32,8%.

Bagaimana menutup kekurangan? Impor akhirnya jadi pilihan. Tahun lalu, RAPP diketahui mengimpor kayu dari MNH Importers & Exporters Pte, Ltd. sebanyak 438.069 m3 dan terealisasi 141.902 m3. Tahun ini? Sesuai dengan penurunan pasok dari HTI lokal, impor pun meledak menjadi 1,53 juta m3. Rencananya, RAPP mengimpor bahan baku itu dari KTS Logs Marketing Sdn. Bhd., yang per Maret 2017 sudah terealisasi hampir 550.000 m3.

Penurunan yang sama juga dialami IKPP (APP). Tahun 2016 mereka berani memasang pasok kayu dari hutan tanaman sebesar 12,891 juta m3 — yang terealisasi 9,405 juta m3 — untuk memberi makan mesin pulp berkapasitas 2,945 juta ton/tahun dan terealisasi 2,889 juta ton. Tahun ini, pasok kayu serpih turun hampir sejuta kubik tinggal 11,944 juta m3. Sejauh ini, IKPP tidak memasukkan rencana melakukan impor kekurangan pasok bahan baku.

Padahal, ini yang menarik, kemungkinan penurunan kemungkinan bisa lebih besar. Pasalnya, PT Sekato Pratama Makmur (SPM), Riau sedang mengalami sanksi dari Kementerian LHK tahun ini. Namun, data RPBBI menunjukkan tahun 2017 ini IKPP akan memperoleh pasok dari SPM sebanyak 1,151 juta m3 atau naik 184,8% dari rencana 2016 yang hanya 404.263 m3! Ali Akbar