SKB Diperkuat, Perhutani Balik Arah

KELUHKAN RENDAHNYA HPP GULA

Indonesia boleh jadi memiliki semua potensi untuk mencapai swasembada gula. Iklim yang mendukung budidaya tebu dan lahan yang tersedia luas sudah lebih dari cukup sebagai prasyarat. Namun, itu semua seperti tiada artinya ketika bangsa ini gagal melaksanakan hal yang lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan, koordinasi.

Ya, koordinasi yang buruk membuat upaya swasembada gula yang dirancang dengan baik bisa berakhir diatas kertas. Pengalaman selama ini membuktikan hal itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah beberapa kali mengalokasikan lahan hutan, namun perluasan kebun tebu baru tak signifikan akibat koordinasi yang buruk di lapangan. Berulangnya situasi tersebut pun membayangi upaya swasembada gula yang telah dititahkan Presiden Joko Widodo saat ini.

Sejatinya, langkah perbaikan koordinasi sudah dilakukan dengan membentuk Tim Percepatan Pencadangan Lahan Untuk Investasi Pertanian Khususnya Industri Gula Berbasis Tebu, Jagung, dan Sapi. Tim dibentuk langsung atas instruksi Presiden Joko Widodo. Awalnya, tim dibentuk atas surat keputusan bersama (SKB) Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Legalitas Tim kemudian diperkuat setelah direvisi pertengahan tahun 2016, di mana Menteri BUMN ikut menandatangani SKB.

Tim yang menjadi gerbang utama rencana investasi gula itu kontan kebanjiran proposal. Menurut Ketua Tim, Agus Justianto, ada 27 calon investor kebun tebu yang terdiri atas 13 pabrik yang sudah beroperasi dan 14 lainnya merupakan rencana pabrik baru. Berdasarkan identifikasi Tim, luas kebutuhan lahannya adalah 710.000 hektare (ha). “Meski demikian, ketersediaan lahan yang cocok seluas 541.999 ha, di mana 187.061 ha di antaranya adalah kawasan hutan,” kata Agus Justianto, yang juga Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bidang Ekonomi Sumber Daya Alam.

Ada empat skema penyediaan lahan yang bisa dijalani. Pertama, skema tukar-menukar kawasan hutan, yang didasarkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan No P.32/Menhut-II/2010 jo P.27/Menhut-II/2014. Skema ini akan mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL).

Kedua, lewat izin pinjam pakai kawasan hutan, yang dasar aturannya adalah Peraturan Menteri LHK P.50/Menlhk/Setjen/KUM.1 /6/2016. Ketiga, bisa juga melalui skema izin pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Menteri LHK No P.14/Menlhk/2015. Pintu terakhir adalah skema kerjasama berdasarkan Peraturan Menteri LHK No P.12/MenLHK/2015 atau P.81/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/2016. Tiga skema terakhir tidak akan mengubah peruntukan dan fungsi hutan.

Keempat skema tersebut bisa diimplementasikan pada kawasan hutan produksi (HP) atau pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Jika kawasan hutan yang hendak dimanfaatkan berstatus hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), maka skema yang bisa dijalankan bisa berupa kerjasama, yang berarti tidak mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan atau skema pelepasan kawasan hutan Peraturan Menteri LHK No P.51/MenLHK/Setjen/KUM.1/6/2016 — yang akan mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan atau APL.

Agus mengungkapkan, sebagian lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan kebun tebu berada di Jawa. Ini berarti akan melibatkan Perum Perhutani sebagai BUMN penguasa hutan Jawa. Total lahan yang dibutuhkan adalah 57.351 ha dengan rincian 15.869 ha untuk pabrik gula yang telah beroperasi dan 41.482 ha untuk pabrik gula yang direncanakan akan dibangun. Perhutani sendiri sudah menyiapkan lahan seluas 67.000 ha yang tersebar di Jawa Barat-Banten seluas 22.001 ha, Jawa Tengah (19.492 ha), dan Jawa Timur (21.207 ha)

Agus menyatakan, calon investor yang mengajukan proposal menunjukan keseriusan untuk membangun kebun tebu. Mereka juga telah beberapa kali terjun ke lapangan untuk memastikan kesiapan lokasi.

Ingatkan

Namun, progres investasi kebun tebu yang awalnya berjalan mulus, ternyata harus mengalami dinamika. Pangkal soalnya, Perhutani ternyata melaju sendirian. Alih-alih bekerjasama dengan calon investor yang telah lebih dulu menjalani proses permohonan melalui Tim Percepatan Pencadangan Lahan, Perhutani malah ngebut merealisasikan kebun tebu dengan mitra sesama BUMN, yaitu PT Perkebunan Nusantara dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

“Tiba-tiba mereka (Perhutani) membuat MoU (nota kesepahaman) bukan dengan investor yang kami fasilitasi,” kata Agus di Jakarta, Senin (16/1/2017).

Dia mengingatkan tentang adanya Tim Percepatan. Untuk itu, komunikasi dan konfirmasi atas rencana pengembangan investasi kebun tebu perlu dilakukan. Apalagi, Tim sejatinya dibentuk langung  atas instruksi Presiden Joko Widodo. Selain itu, Kementerian LHK tetap harus dilibatkan dalam proses persetujuan pemanfaatan kawasan hutan untuk perkebunan tebu.

Menurut Agus, manuver Perhutani mulai terasa pasca dilantiknya Direktur Utama Perhutani, Denaldy M Mauna menggantikan Mustoha Iskandar per 24 Agustus 2016. Tak lama setelah dilantik, Denaldy langsung meneken MoU tentang ‘Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Budidaya Tebu’, Rabu (26/10/2016), dengan PT Perkebunan Nusantara III holding perkebunan dan PT Rajawali Nusantara Indonesia. Sementara untuk pembiayaan juga digandeng PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk serta PT Bank Rakyat Indonesia (Persero). Selain sinergi dengan lima BUMN tersebut, Perhutani juga menggandeng perusahaan swasta nasional PT Kebun Tebu Mas.

Agus memastikan pihaknya akan meminta klarifikasi atas langkah yang telah diambil Perhutani. Dia ingin menggali informasi, apakah Perhutani memiliki rencana bisnis yang berbeda pasca pergantian Dirut. Kondisi keuangan Perhutani dan neraca sumber daya hutan yang tak seimbang saat ini menjadikan masa depan Perhutani penuh tantangan. “Perhutani kan sedang struggle untuk survive. Makanya kami perlu tahu bagaimana kebijakannya,” kata Agus.

Apa yang berkembang saat ini menjadi contoh bagaimana koordinasi sangat sulit dilakukan, meski swasembada gula sudah menjadi salah satu prioritas nasional.  Agus pun mengakui hal ini. “Koordinasi ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan,” katanya. Sugiharto

Perhutani Masih Buka Pintu untuk Swasta

Perum Perhutani memastikan terbuka dengan semua calon investor pembangunan kebun tebu. Adanya kerjasama yang lebih maju, tak lepas dari keseriusan BUMN perkebunan untuk segera merealisasi investasinya.

Direktur Utama Perhutani, Denaldy M Mauna menyatakan, Perhutani tidak membatasi kerjasama pembangunan kebun tebu hanya dengan pihak tertentu. “Tidak hanya dengan BUMN, dengan swasta pun kami terbuka,”katanya di Jakarta, Rabu (18/1/2017).

Dia menyatakan akan terus bekerjasama dengan Tim Percepatan Pencadagangan Lahan Untuk Investasi Pertanian Khususnya Industri Gula Berbasis Tebu, Jagung, dan Sapi, yang menjadi koordinator untuk pembangunan kebun tebu. Dijelaskan, meski mengusung sinergi BUMN, namun bukan berarti Perhutani menutup pintu untuk bekerjasama dengan perusahan swasta. “Daftar (calon investor tebu) dari Kementerian LHK tetap kami pertimbangkan,” katanya.

Yang menjadi pertimbangan adalah komitmen calon investor untuk menjaga hutan Perhutani tetap lestari. Selain itu, kemampuan investor dalam menanam, eksistensi pabrik dan pengalaman pengelolaan kebun tebu.

Perhutani sudah meneken MoU tentang ‘Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Budidaya Tebu’ bersama PT Perkebunan Nusantara III holding perkebunan dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.  Sementara untuk pembiayaan juga digandeng PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk serta PT Bank Rakyat Indonesia (Persero). Selain sinergi dengan lima BUMN tersebut, Perhutani juga menggandeng perusahaan swasta nasional PT Kebun Tebu Mas.

Ruang lingkup kerja sama adalah penyediaan lahan kawasan hutan untuk budidaya tanaman tebu dengan pola agroforestry mulai dari pengelolaan bibit, angkut hasil, peningkatan produksi dan produktivitas tanaman tebu, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan tanaman tebu, penyediaan tenaga ahli budidaya tanaman tebu, jaminan pembelian (offtaker) atau pengolahan hasil budidaya tanaman tebu serta penyediaan/pendanaan modal kerja untuk kegiatan kerja sama budidaya tanaman tebu dengan kredit sindikasi.

Khusus untuk kerja sama tebu, Perhutani mensyaratkan kewajiban penanaman tebu dibanding tanaman kehutanan dengan rasio yang seimbang untuk tetap menjaga kelestarian sumber daya hutan. Detil syarat implementasi kerja sama akan ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) oleh masing-masing BUMN.

Menurut Denaldy, kerjasama yang disepakati mengelami perkembangan cukup bagus. Saat ini, sedang diinventarisasi lahan-lahan yang benar-benar cocok untuk pengembangan tebu. Sugiharto