Indonesia Masih Terus Impor Gula

Panjangnya jalur produksi dan distribusi yang terjadi dalam komoditas gula ditengarai menjadi salah satu penyebab meroketnya harga gula saat ini. Untuk menekan harga gula, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah memangkas jalur produksi dan distribusi itu dengan memberikan alokasi impor raw sugar (gula mentah) langsung ke produsen gula yang selama ini mendapatkan order giling dari importir lain yang mendapatkan izin impor raw sugar dari pemerintah.

“Selama ini, impor raw sugar dilakukan oleh Perum Bulog dan PPI yang kemudian digiling oleh produsen-produsen gula. Sekarang kita pangkas dengan memberikan langsung izin impor raw sugar kepada produsen gula,” ujar Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Jakarta, pekan lalu.

Terhadap delapan produsen gula yang seluruhnya bergerak dalam produksi gula rafinasi itu, Kemendag telah mengeluarkan alokasi impor raw sugar sebanyak 400.000 ton.

“Untuk tahap pertama, kami berikan alokasi impor sebanyak 400.000 ton raw sugar,” ujar Enggar. Dia tidak mau menetapkan kapan masa izin itu diberlakukan karena khawatir akan mempengaruhi harga gula di pasar internasional.

Selain memangkas jalur produksi, Kemendag juga menetapkan harga jual gula kristal putih  hasil importasi raw sugar 400.000 ton itu dengan harga eceran tertinggi sebesar Rp12.500/kg.

Agar HET sebesar Rp12.500/kg bisa dilaksanakan, Kemendag juga menginisiasi kerjasama antara 8 produsen tersebut dengan distributor gula yang akan memasarkan gula tersebut ke masyarakat konsumen.

“Fasilitas kemitraan antara produsen dan distributor gula ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan pasokan gula dan stabiitas harga gula pada level Rp12.500/kg,” ujarnya.

Enggartiasto mengatakan, ‎harga gula sebesar Rp12.500/kg ini merupakan amanat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).  Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Mendag memastikan unsur pemerintah akan menjalankan amanat ini melalui berbagai sinergi, termasuk dengan pihak swasta. Tujuannya, kata Enggar, tak lain untuk memperoleh keseimbangan, petani bisa tetap sejahtera, pedagang untung, dan konsumen mendapatkan harga terjangkau.

“Sudah menjadi tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama BUMN atau BUMD dan sektor swasta untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga barang kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau,” tegas Mendag.

Menurutnya, HET Rp12.500/kg akan diberlakukan Kemendag sepanjang tahun 2017 ini. Namun, jika terjadi gejolak harga yang sangat tajam, maka Kemendag akan memberikan laporan ke Kantor Menko Perekonomian, yang mungkin saja dapat mengubah kembali besaran HET tersebut.

Agar penerapan HET Rp12.500/kg bisa terlaksana, Kemendag akan memberikan cap berupa tulisan Rp12.500/kg pada kemasan gula yang dijual. Selain itu, Kemendag juga menggandeng  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi tindak-tanduk produsen dan distributor dalam menyalurkan dan menjual gula tersebut ke seluruh wilayah Indonesia.

Jika ada produsen atau distributor yang  melanggar kesepakatan, ungkap Mendag, KPPU akan mengambil tindakan hukum terhadap perusahan yang melakukan pelanggaran itu.

Berpengaruh

Enggar mengakui kalau kebijakan penetapan HET 12.500/kg itu akan berpengaruh terhadap produsen gula tebu di dalam negeri. Untuk itu, Kemendag akan mengajak produsen gula tebu di dalam negeri untuk membahas program tersebut.

“Kami akan berbicara juga dengan produsen gula tebu agar ada stabilitas harga,” jelasnya.

Kemendag mencatat, dalam kurun waktu empat tahun terakhir, tren harga gula menjelang Natal dan Tahun Baru (September-Desember) cenderung naik, meskipun tidak signifikan yakni antara 0,02%-0,38%.

Sedangkan harga rata-rata nasional gula pada Januari 2017 sebesar Rp14.087/kg atau turun 0,33% dibandingkan harga rata-rata Desember 2016 yang sebesar Rp14.133/kg. Harga rata-rata gula di beberapa daerah pada kisaran Rp12.933/kg di Yogyakarta sampai yang tertinggi Rp17.000/kg di Tanjung Pinang, Tanjung Selor dan Manokwari.

Untuk menekan harga gula di pasaran, pemerintah tahun lalu telah memberikan alokasi impor raw sugar maupun gula kristal putih kepada sejumlah instansi, baik BUMN maupun swasta.

Misalnya saja BUMN PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) tahun lalu mendapatkan alokasi impor raw sugar sebanyak 200.000 ton. Perum Bulog juga tahu lalu mencicipi manisnya impor gula setelah mendapatkan alokasi impor pertama sebanyak 100.000 ton dan yang kedua sebanyak 281.000 ton raw sugar. Ada juga 100.000 ton alokasi impor raw sugar yang diberikan kepada sejumlah BUMN lainnya.

Selain itu, alokasi impor raw sugar juga diberikan pemerintah kepada dua produsen gula yang baru beroperasi, yakni KTM dan sebuah produsen gula di Dompu, NTB, masing-masing sebanyak 49.000 ton dan 80.000 ton melalui pola commissioning.

Tidak Rugi

Kebijakan pemerintah menetapkan HET sebesar 12.500/kg diyakini tidak akan merugikan pihak produsen ataupun distributor. Pasalnya, ungkap Enggar, biaya produksi gula jauh di bawah harga  Rp12.500/kg.

Secara teoritis, ungkapnya, biaya produksi gula tidak lebih dari Rp6.500/kg. Bahkan jika pabriknya efisien, biaya produksinya cuma Rp5.500/kg.

“ Taruhlah pabriknya sangat jelek, biaya produksinya jug sekitar Rp8.000/kg,” ujar Enggar. Dengan begitu, jika dijual dengan harga Rp11.000/kg pun masih ada selisih Rp3.000/kg.

Namun, kalangan petani tebu di dalam negeri menilai kebijakan pemerintah memberikan alokasi impor raw sugar sebanyak 400.000 ton untuk kemudian digiling menjdi gula kristal putih dan dijual dengan harga Rp12.500/kg, sangat  merugikan.

“Kalau harga jual murah, tentunya harga tebu juga akan mengalami penurunan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Menurut Soemitro, sebenarnya harga tebu turun tak masalah sepanjang rendmen pabrik gula sangat tinggi. Yang jadi masalah saat ini adalah kebanyakan pabrik gula di negeri ini, terutama milik BUMN, memiliki rendemen yang rendah, sekitar 6% hingga 7%.

“Dengan tingkat rendemen sebesar itu, tentunya petani akan mengalami kerugian jika harga jual tebu mengalami penurunan,” jelasnya.

Dia juga menegaskan, kebijakan pemerintah tersebut akan membuat petani tebu yang saat ini sedang giat-giatnya melakukan budidaya tebu karena harga jualnya cukup baik, mengalami kekecewaan.

“Mereka bisa saja akan mengganti budidaya tebu dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan,” ucpnya. Jika itu terjadi, maka produksi tebu nasional akan sulit bertambah sehingga Indonesia tetap akan bergantung kepada pasokan impor untuk memenuhi kebutuhan gula di dalam negeri.

Dijelaskan, petani tebu di dalam negeri saat ini sudah cukup senang karena harga gula membaik, di mana harga lelang gula telah mencapai Rp13.000/kg.

“Seharusnya, sebelum pemerintah mengambil kebijakan, perhatikan dulu kondisi petani di dalam negeri. Seharusnya pemerintah memberikan perlindungan dan bantuan kepada petani,” katanya.

Produksi gula kristal putih (GKP) di Indonesia selama ini diperkirakan hanya mencpai 2,2 juta ton per tahun, sementara kebutuhan GKP nasionl mencapai 3,2 juta ton. Dengan begitu, harus ada importasi gula mentah setara 1 juta ton GKP.

Selain itu, untuk memenuhi kebutuha gula rafinasi di dalam negeri, pemerintah juga harus mengimpor seluruh kebutuhan raw sugar bagi produsen gula rafinasi di dalam negeri.

Untuk semester pertama tahun 2017 ini, pemerintah telah mengeluarkan alokasi impor raw sugar sebanyak 1,5 juta ton kepada 11 produsen gula rafinasi. Rencananya, alokasi impor raw sugar untuk industri gula rafinasi mencapai sekitar 3,4 atau 3,5 juta ton di tahun 2017 ini. B Wibowo