Melindungi Petani Tembakau

Guna menciptakan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang berimbang, pemerintah harus mampu menjaga kas pengeluaran dan pemasukan. Jika aliran pengeluaran jauh lebih besar dari pemasukan, maka APBN akan mengalami defisit dan untuk menambalnya, mau tak mau pemerintah harus mencari pinjaman baik di dalam negeri maupun pinjaman dari luar negeri.

Karena itu, agar APBN bisa sehat, pemerintah begitu gencar mencari dana pemasukan. Salah satu sumber pemasukan yang diandalkan pemerintah adalah pendapatan dari cukai produk tembakau.   

Pendapatan cukai dari sektor itu selama ini sudah terbukti sangat membantu pemerintah dalam memperoleh pemasukan negara. Data  Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyebutkan pembayaran pajak produk tembakau pada 2015 mencapai Rp173,9 triliun, yang terdiri atas cukai tembakau, pajak daerah, dan PPN rokok.

Sementara itu, data BPS pada 2014 menunjukkan industri hasil tembakau (IHT) merupakan penyumbang ekspor yang signifikan terhadap negara, dengan peningkatan nilai sebesar 52% sejak 2010 sampai dengan 2014.

Sembagai sumber pendapatan sangat besar, secara logika sektor industri produk tembakau harus dijaga jangan sampai ambruk. Jik ambruk, maka sumber pendapatan pemerintah juga goyah.

Namun, karena desakan yang cukup besar dari banyak kalangan dan berkaitan erat dengan sektor kesehatan, pemerintah diminta untuk membatasi peredaran produk tembakau di dalam negeri.

Tentu saja kondisi itu memicu pro dan kontra. Ada masyarakat yang pro dengan kebijakan pembatasan produk tembakau ada juga kelompok masyarakat yang anti dengan pembatasan produk tembakau.

Jalan tengahpun telah ditempuh melalui pembentukan RUU   Pertembakauan. Dalam RUU itu, pemerintah telah menetapkan pelbagai aturan mengenai pembatasan peredaran produk tembakau di dalam negeri. Namun, di sisi lain, pemerintah juga telah menetapkan pelbagai langkah-langkah untuk melindungi petani dna industri hasil tembakau.

RUU tersebut dinilai telah menjadi jalan tengah terbaik dari upaya meningkatkan kesehatan masyarakat serta perlindungan terhadap petani dan industri produk hasil tembakau.

RUU Pertembakauan merupakan aspirasi dan kebutuhan hukum berbagai pemangku kepentingan yang diharapkan dapat memperbaiki regulasi dari berbagai aspek, seperti pengelolaan tembakau baik dari sisi budidaya, kepentingan petani, produksi, tata niaga, penerimaan negara, maupun aspek ketenagakerjaan.

Memang RUU tersebut hingga saat ini belum juga disahkan menjadi UU sehingga masih terjadi kebimbangan dan kebingungan di masyarakat mengenai isu tersebut.

Dalam kondisi seperti ini.pemerintah disarankan untuk sementara waktu lebih mengendalikan pembahasan dan komunikasi politik mengenai pengendalian tembakau di kalangan masyarakat.

Pasalnya, hal ini sangat sensitif. Apalagi di tengah upaya untuk terus mengeruk cukai hasil tembakau, pemerintah juga menaikkan tarif. Padahal kesejahteraan petani tembakau masih memprihatinkan.