Pelajaran Pahit dari Palembang

Putusan Pengadilan Negeri Palembang atas gugatan perdata yang diajukan pemerintah kepada PT Bumi Mekar Hijau (BMH), pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI) bisa jadi pelajaran. Tak selamanya pemerintah bisa menang di meja hijau.

Ya, hukum bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan, bahkan oleh pemerintah. Meski sejak awal, pemerintah cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengkampanyekan BMH menyebabkan kebakaran seluas 20.000 hektare (ha), nyatanya berdasarkan fakta-fakta persidangan majelis hakim punya pandangan lain. Majelis hakim yang beranggotakan Parlas Nababan (ketua), Kartidjo (anggota), dan Eli Warti (anggota) memutuskan tidak mengabulkan gugatan pemerintah agar BMH membayar ganti rugi materiil dan pemulihan lingkungan senilai Rp7,6 triliun, Rabu (30/12/2015) (lihat: Semua Pihak Hormati Putusan Perdata Bumi Mekar Hijau, hal. 6)

Sejatinya, Kementerian LHK sangat pede alias percaya diri untuk bertarung di meja hijau soal kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan. Jadi, jangan heran jika Kementerian LHK berani menantang mereka — yang diberi sanksi karena diduga sebagai penyebab bencana kebakaran– untuk mengajukan gugatan, jika tak puas dengan hukuman yang dijatuhkan.

Asal tahu saja, per Desember 2015, ada 23 perusahaan yang telah dijatuhi sanksi administrasi oleh Kementerian LHK. Rinciannya, 3 perusahaan dihukum pencabutan izin, 16 perusahaan dihukum pembekuan izin dan 4 perusahaan lainnya disanksi paksaan pemerintah (lihat tabel). Selain itu, masih ada perusahaan yang sedang dalam Tahap Penyusunan Sanksi Administrasi (14 Perusahaan) dan Tahap Pengawasan (19 Perusahaan) sehingga total ada 56 perusahaan.

“Kalau ada indikasi yang mau maju ke PTUN, ya jalan saja. Kan memang harus beradu dan ada tempatnya. Nggak masalah,” cetus Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, Kamis (17/12/2015).

Terhadap sanksi yang dijatuhkan, Menteri Nurbaya menjelaskan, hal itu adalah amanat dari Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam Pasal 76 ayat 2 UU PPLH memang diuraikan jenis sanksi administrasi yang terdiri atas teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan, dan pencabutan izin. Namun, pembekuan dan pencabutan izin yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah izin lingkungan. Bukan izin operasionalnya.

Menteri menjelasan, pembekuan izin bisa dilakukan setelah ditambah dengan evaluasi kinerja yang dilakukan bagi perusahaan pemegang IUPHHK. Sementara pembekuan izin bagi perusahan perkebunan bisa langsung diambilalih oleh pemerintah pusat jika pemerintah daerah sebagai penerbit izin perkebunan tidak mengambil tindakan apapun.

Meski demikian, tetap saja hal itu bisa menjadi celah yang bisa mementahkan sanksi pemerintah jika perusahaan mengajukan gugatan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Tapi seperti dinyatakan Menteri Nurbaya, pihaknya siap jika ada yang mengajukan gugatan. “Ya kita beradu saja, Nggak apa-apa,” katanya.

Solusi teknis

Jika tantangan Kementerian LHK direspons, boleh jadi jajaran Menteri Nurbaya bakal super sibuk bersidang. Apalagi, di jalur pengadilan perdata, selain menggugat BMH, Kementerian LHK juga mengugat perusahaan perkebunan PT Surya Panen Subur, PT Jatim Jaya Perkasa, dan IUPHHK sagu, PT National Sago Prima. Sementara 16 perusahaan lainnya sedang disusun gugatan perdatanya. Bahkan, kalau menghitung perusahaan-perusahaan yang kini sedang dievaluasi Kementerian LHK karena di konsesinya terdapat kebakaran, bisa mencapai lebih dari 400 perusahaan.

Meski demikian, kalangan pelaku usaha sepertinya tak mau mengambil langkah frontal mengugat balik Kementerian LHK. Mereka memilih cara halus untuk meluluhkan sanksi yang dikenakan dengan memberi penjelasan tentang langkah-langkah yang dilakukan ke depan untuk pencegahan kebakaran kembali terulang.

Menteri Nurbaya mengakui, pasca dijatuhkannya sanksi administrasi, ada beberapa perusahaan yang memberi penjelasan kepada Kementerian LHK. “Sudah ada jawaban yang intinya (pengelolaan) diperbaiki. Mereka juga menyampaikan harapannya,” kata Nurbaya.

Dia mengungkapkan, dalam jawabannya perusahaan-perusahaan tersebut juga berharap agar tak seluruh lahan eks kebakaran diambil alih oleh pemerintah. Pasalnya, hal itu akan menggangu proses produksi perusahan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Merespons penjelasan tersebut, Menteri Nurbaya menyatakan sedang melakukan pembahasan bersama jajarannya untuk menentukan kebijakan teknis yang akan diambil. Dia menekankan, perusahaan-perusahan yang diberi sanksi sejatinya adalah ‘anak’ dari pemerintah juga.

“Sekarang sedang kami rapatkan untuk mencari solusi teknisnya. Buat saya, yang penting yang akan datang nggak boleh lagi kebakaran,” kata Nurbaya sambil menambahkan bahwa kebijakan pengambilalihan areal konsesi yang terbakar merupakan kebijakan dari Presiden Joko Widodo. Sugiharto

‘Mereka Bilang, Patuhi Saja Aturan yang Berlaku’

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya terhadap 23 perusahaan yang dikonsesinya terjadi kebakaran, mulai dari mencabut izin usaha, membekukan izin lingkungan serta paksaan kuasai lahan, membuat bingung pengusaha. Kemana mereka harus mengadu?

Kebingungan itu terungkap ketika sejumlah pengusaha yang sempat ditemui Agro Indonesia terkait sanksi yang dijatuhkan Kementerian LHK. Misalnya, pembekuan izin lingkungan ternyata berlaku menyeluruh terhadap izin dalam satu hamparan. Dia memberi contoh kawasan kebun yang dikelolanya seluas 10.000 hektare (ha), sementara lahan yang terbakar terdapat di 5 titik dalam kawasan. Namun, pembekuan diberlakukan terhadap seluruhnya.

Ini kasus menarik, memang. Bayangkan, Menteri LHK Siti Nurbaya memutuskan pembekuan izin perusahaan, tapi dalam amarnya yang dibekukan adalah izin lingkungan. Sementara dalam amar putusan lainnya, perusahaan dilarang melakukan operasional usaha sampai selesai proses pidananya.

Padahal, kebakaran yang terjadi sebetulnya bukan disengaja. Kebakaran terjadi akibat perbuatan penduduk yang kebetulan masih ada 50 warga di dalam areal kebun. Penduduk tersebut belum sempat ‘dikeluarkan’ karena berbagai alasan teknis di lapangan. Dan seperti biasa, setiap musim kemarau, para petani tersebut menyiapkan lahan pertaniannya dengan cara membakar lahan. Akibatnya, perusahaan kena getahnya. Pasalnya, dari citra landsat, titik panas itu terdapat di dalam konsesi perusahaan. “Itu memang betul dan tidak bisa dipungkiri,” kata seorang petinggi perusahaan perkebunan yang tak mau disebut jatidirinya. Perusahaannya termasuk yang disanksi pembekuan izin lingkungan.

Dari sisi perusahaan, dia menilai dirugikan akibat ulah penduduk tadi, karena di samping sempat membakar tanaman sawit perusahaan, sanksi pemerintah juga dijatuhkan. Di sisi lain, upaya perusahaan memberi penjelasan kurang mendapat tanggapan dari Kementerian LHK.

Dia mengaku sudah menghubungi pihak kepolisian, dan Kementerian LHK lewat Ditjen Penegakan Hukum (Gakum) Lingkungan Hidup untuk menjelaskan alasan terjadinya kebakaran. Namun, aparat tidak mau tahu. “Mereka hanya bilang, patuhi saja aturan yang berlaku,” katanya.

Buat pengusaha perkebunan, pembekuan izin dinilai tidak adil. Pasalnya, dalam membangun perkebunan sawit itu sudah diatur oleh Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Misalnya mulai membuat sekat bakar hingga membuat menara pengawas dan banyak lagi yang harus dipenuhi. Jadi, apabila terjadi kebakaran di luar kemampuan mereka, maka harusnya tidak serta merta izinnya dibekukan secara menyeluruh.

Pengusaha tadi memberi contoh. Di kawasan kebun sawitnya yang sempat terbakar pada Juni 2015, pada Agustus sudah ditanami kembali. Namun, ternyata areal itu tidak boleh ditanami, meski ketentuan pinalti tadi baru diterima November 2015. “Ini kan konyol,” katanya.

Mengapa tidak protes, bahkan menuntut ke pengadilan? Sebagai pengusaha dia mengaku tidak mau repot melawan pemerintah. Banyak alasannya. Apalagi, HGU juga sudah diagunkan ke bank, serta banyak karyawan yang harus diperhatikan. Inilah pertimbangan perusahaan mengapa tidak mau melawan.

Dia mengaku, sejak dibekukan, perkebunannya sudah didatangi aparat polisi, dan belakangan juga didatangi SPORC. Entah siapa lagi yang bakal datang. Pusing AI