Di tengah ancaman munculnya kembali kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), pemerintah merilis enam aturan teknis terkait areal gambut yang bisa menimbulkan kehebohan baru. Setidaknya, ada 2,5 juta hektare (ha) areal gambut yang telah dibebani izin usaha HTI dan Perkebunan harus dikosongkan. Aturan land swap alias lahan pengganti pun disiapkan kepada pengusaha.
Inilah paket baru kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan gambut, terutama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menimbulkan polusi kabut asap lintas negara. Paket ini terdiri dari empat peraturan menteri (Permen) dan dua keputusan menteri (Kepmen), yang diteken Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut). “Paket kebijakan ini sudah ditandatangani Ibu Menteri LHK pada 9 Februari lalu,” kata Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono di Jakarta, Rabu (22/2/2017).
Yang menarik, pemerintah ternyata tidak sekadar kekeuh dengan aturan main kontroversial terkait PP Gambut, yakni tinggi muka air gambut minimal 0,4 meter — untuk akan menentukan rusak-tidaknya gambut hingga terlarang dibudidayakan. KLHK ternyata juga telah menetapkan peta indikatif 856 Kesatuan Hidorologi Gambut (KHG), yang disusun berdasarkan peta Lahan Gambut dari Kementerian Pertanian, Peta Hidrologi/Jaringan Sungai Rupa Bumi Indonesia, Peta Sistem Lahan dan Peta Rawa dari Kementerian Pekerjaan Umum. Luasnya? Tercatat 24,6 juta hektare (ha).
Namun, dari luasan KHG itu, yang bisa dibudidayakan ternyata kurang dari separuh atau 12,26 juta ha. Sisanya seluas 12,39 juta ha ditetapkan memiliki fungsi lindung. Nah, dari sinilah potensi kehebohan bakal muncul. Mengapa? Karena di kawasan lindung ini ada areal seluas 2,5 juta ha yang sudah dibebani izin hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan. Untuk HTI tercatat 1,6 juta ha, dan sisanya (sekitar 900.000 ha) perkebunan.
Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan LHK, San Afri Awang menyatakan, sesuai Permen LHK yang baru dilansir, KHG yang telah ditetapkan memiliki fungsi lindung tak bisa lagi dimanfaatkan untuk budidaya. Lho, bagaimana dengan RTRW maupun peta kehutanan? Tetap harus hengkang, ternyata.
Untuk itu, kata Awang, pemerintah menawarkan land swap alias lahan pengganti agar kegiatan usaha tidak terganggu, terutama jika 40% atau lebih konsesinya masuk dalam fungsi lindung. “Kami siapkan lahan yang paling clear and clean,” tegas Awang.
Luar biasa. Untuk HTI, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) LHK, IB Putera Parthama mengaku ada sekitar 800.000 ha hutan yang bisa dimanfaatkan untuk land swap. Masih kurang, memang. Lalu, bagaimana untuk kebun? Nampaknya ini yang lebih rumit. Di mana mencari status lahan nonhutan seluas hampir 1 juta? Maukah pengusaha, apalagi rakyat, dipaksa pindah? Nah, semoga kerumitan ini sudah ada jawabannya di kantong pemerintah. Semoga. AI