Pemerintah Janjikan Lahan Pengganti

Greenpeace/John Novis

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) bergeming soal beleid perlindungan dan pengelolaan gambut, meski ada banyak masukan konstruktif dari pelaku usaha hingga pakar. Setidaknya, sampai dilansirnya paket kebijakan terbaru yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 tahun  2016 tentang Perubahan PP No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut  (PP Gambut).

Paket kebijakan tersebut terdiri atas empat Peraturan Menteri (permen) LHK, yakni Permen LHK No P.14 tahun 2016 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem  Gambut; Permen LHK No P.15 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut; Permen LHK No P.16 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut; dan Permen LHK No P.17 tahun 2017 tentang Perubahan P.12 tahun 2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Paket kebijakan juga dilengkapi dengan dua keputusan menteri (Kepmen), yaitu Kepmen LHK tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dan Kepmen LHK tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut. “Paket kebijakan ini sudah ditandatangani Ibu Menteri LHK pada 9 Februari lalu,” kata Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono di Jakarta, Rabu (22/2/2017).

Paket kebijakan ini dipastikan memberi dampak bagi usaha budidaya berbasis lahan seperti perkebunan dan kehutanan. Berdasarkan paket kebijakan Kementerian LHK, telah ditetapkan peta indikatif 865 KHG dengan luas total 24,6 juta hektare (ha). Rinciannya,  di Sumatera ada 207 KHG seluas 9,6 juta ha, Kalimantan ada 190 KHG seluas 8,4 juta ha, Sulawesi 3 KHG seluas 63.290 ha, dan Papua dengan 465 KHG seluas 6,5 juta ha.

Menurut Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK, San Afri Awang, peta KHG tersebut disusun berdasarkan peta Lahan Gambut Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian, Peta Hidrologi/Jaringan Sungai Rupa Bumi Indonesia, Peta Sistem Lahan dan Peta Rawa dari Kementerian Pekerjaan Umum. “Peta KHG nasional disusun dengan skala 1:250.000,” kata dia.

Skala peta KHG mengikuti amanat dari PP Gambut. Berdasarkan ketentuan itu, skala untuk tingkat provinsi adalah minimal 1:50.000. Akurasi peta juga akan ditingkatkan dengan dukungan peta dari pemegang izin kehutanan dan perkebunan.

Dari 24,6 juta ha KHG, Kementerian LHK menetapkan seluas 12,26 juta ha mempunyai fungsi budidaya dan 12,39 juta ha memiliki fungsi lindung. Luas fungsi lindung ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu paling sedikit 30% dari seluruh luas KHG yang letaknya pada kubah gambut dan sekitarnya. Kriteria ini direplikasi jika ada lebih dari satu puncak gambut pada sebuah KHG.

Luas KHG dengan fungsi lindung bertambah jika masih ada gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih;  plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan ekosistem gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.

2,5 juta ha

Dari KHG dengan fungsi lindung yang sudah ditetapkan, ternyata ada sekitar 2,5 juta ha yang  telah dibebani izin kehutanan dan perkebunan. Sekitar 1,6 juta ha berupa izin HTI dan sisanya perkebunan.

Awang menyatakan, sesuai Permen LHK, KHG yang ditetapkan memiliki fungsi lindung tak bisa lagi dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya — meski sejatinya areal tersebut masuk dalam kawasan budidaya berdasarkan RTRW maupun peta kehutanan.

Awang melanjutkan, jika areal tersebut berada di areal usaha dan telah terlanjur dibudidayakan, maka sesuai dengan Permen LHK, areal tersebut dilarang untuk ditanami kembali setelah pemanenan. “Selanjutnya, wajib dilakukan pemulihan,” tegas Awang.

Dia menambahkan, dari 4 juta ha lebih kubah gambut di Sumatera, sebanyak 90% lebih berada di kawasan budidaya. Sedangkan dari seluas hampir 3 juta ha kubah gambut di Kalimantan, lebih dari 60% berada di kawasan budidaya.

Tukar guling

Kementerian LHK mengklaim telah menyiapkan bemper agar kebijakan perlindungan dan pengelolaan gambut tak sampai mengganggu dunia usaha. Bemper itu adalah tawaran untuk melakukan land swap atau tukar guling lahan jika 40% atau lebih konsesinya ditetapkan masuk dalam fungsi lindung.

Lahan pengganti yang disiapkan ada di tanah mineral. Selain itu, juga akan bebas, sebebas-bebasnya, dari potensi konflik dan tumpang tindih izin. “Kami siapkan yang paling clear and clean,” kata Awang

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian LHK, IB Putera Parthama menambahkan, sesuai arahan pemanfatan hutan produksi, ada sekitar 800.000 ha hutan yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang mengajukan land swap.  “Ada juga lahan HTI yang akan dicabut karena selama ini tidak aktif,” ujarnya.

Putera menambahkan, ada 101 unit manajemen HTI yang terdampak dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan gambut ini. Menurut dia, seluruh unit manajemen HTI nantinya diharuskan melakukan perubahan tata ruang HTI dan revisi Rencana Kerja Umum dengan mengacu peta fungsi ekosistem gambut.

Dasar hukum

Meski mengklaim siap dengan solusi agar kebijakan perlindungan gambut tak mengganggu dunia usaha, nyatanya bagaimana mekanisme land swap yang ditawarkan belum memiliki dasar hukum. Awang menyatakan, akan ada Permen LHK tersendiri yang mengatur tentang land swap ini. “Mudah-mudahan dalam waktu satu-dua pekan sudah bisa diterbitkan,” katanya.

Saat ini, detil bagaimana Permen LHK itu diimplementasikan masih dalam kajian mendalam. Termasuk bagaimana tata cara pengajuan tukar guling, luas lahan pengganti, dan hal detil lainnya. Yang sudah pasti, kata Awang, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan HTI di lahan pengganti. “Di lahan pengganti nantinya skema pengelolaan hutan tanaman  adalah 60% oleh unit manajemen dan 40% oleh rakyat,” katanya.

Untuk perkebunan, Kementerian LHK mengaku baru akan berkoordinasi dengan Kementan tentang solusi land swap yang disiapkan. “Kami akan berkoordinasi dengan Dirjen Perkebunan, Kementan,” katanya.

Awang memastikan, kebijakan perlindungan dan pengelolaan gambut tidak akan membuat pasokan bahan baku kayu berkurang tajam sehingga berdampak serus bagi industri pengolahan. Dia menyatakan, dengan adanya lahan pengganti, maka pemegang unit manajemen bisa segera melakukan penanaman sehingga bisa dipanen  tepat waktu. Sugiharto

KLHK: Pemerintah Tidak Semena-mena

Bergemingnya Kementerian LHK dari banyak masukan konstruktif dunia bisnis dan pakar soal pengelolaan gambut rupanya dilandasi kekhawatiran berulangnya bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2015.

“Kerugian akibat kebakaran bisa triliunan rupiah,” kata Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono.

Dia menegaskan, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di tahun 2015 tak boleh sampai terulang. Makanya, harus dilakukan pemulihan ekosistem gambut sesuai dengan fungsinya, terutama kawah gambut yang seharusnya tetap pada fungsi lindung.

Bambang juga menegaskan, pemerintah tak semena-mena kepada pelaku usaha. Penyusunan 4 Permen LHK dan dua keputusan MenLHK itu sudah melalui proses diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak yang relevan guna memperkuat substansi aturan perlindungan dan pengelolan gambut.

Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Kementerian LHk San Afri Awang menambahkan, kebijakan gambut yang diterbitkan tersebut adalah sebagai pelaksana instruksi Presiden Joko Widodo agar kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi. Untuk itu, dibutuhkan penegasan aturan main terkait pemanfaatan lahan gambut, sehingga sesuai dengan fungsinya, baik sebagai budidaya maupun lindung.

“Kita ingin konsisten agar jangan lagi terjadi kebakaran. Dan menekankan perlunya dilakukan pemulihan lahan gambut yang rusak agar dikembalikan sesuai fungsinya,” jelas dia. Sugiharto