Sikap pemerintah yang tidak juga berubah soal kebijakan gambut dikhawatirkan memberi dampak serius dari aspek ekonomi dan sosial. Apalagi, dalam peta fungsi ekosistem gambut, tak hanya area yang dibebani izin usaha saja yang ditetapkan memiliki fungsi lindung. Ada juga areal penggunaan lain (APL) yang banyak dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan budidaya perkebunan yang ditetapkan sebagai fungsi lindung. Luasnya mencapai 2,5 juta hektare (ha). Pemerintah pun diserukan untuk lebih mendengar masukan para pihak.
Ketua Bidang Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pengurus Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto menegaskan, revisi kebijakan gambut perlu segera dilakukan karena aturan itu akan menyulitkan masyarakat yang sudah turun-temurun memanfaatkan lahan gambut untuk kehidupan.
Ketentuan mengenai tinggi muka air 0,4 meter, misalnya, tidak hanya mengkriminalisasi pengelolaan kebun sawit, namun juga bagaikan “guillotine” yang siap memenggal mati kehidupaan masyarakat yang hidupnya tergantung dari perkebunan sawit .
Untuk itu, Didik memohon agar Presiden Joko Widodo segera merevisi PP ini, khususnya pasal-pasal kontroversial tersebut. “Saya kira Bapak Presiden perlu diberi masukan bahwa ada 344.000 kepala keluarga (KK) yang hidupnya bergantung pada kebun sawit di lahan gambut,” katanya, pekan lalu.
Kebijakan pemerintah seharusnya melindungi investasi di industri sawit dalam upaya memperkuat ekonomi domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Apalagi, pada tahun 2017 menteri keuangan mengatakan ekonomi indonesia mengandalkan peningkatan konsumsi domestik sebagai antisipasi kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump.
Selain merevisi, Presiden Jokowi perlu mendengar masukan dari para pemangku kepentingan yang terlibat langsung. Mereka berulang kali menyampaikan teriakan dan jeritan permintaan perlindungan lewat berbagai forum agar tidak mematikan industri sawit. Suara para pemangku kepentingan harus didengar. Presiden perlu berimbang dan tidak sepihak hanya mendengar masukan para ‘pembisik’ yang belum tentu memahami persoalan ini dengan baik serta sarat dengan berbagai kepentingan.
“Sayang jika pemerintahan Jokowi yang sejak awal dikenal sebagai pro rakyat nanti akan dikenang sebagai pemerintahan yang ‘mematikan’ usaha perkebunan sawit rakyat dan tidak melindungi industri dalam negeri.”
Seharusnya, kata Didik, Presiden Jokowi lebih berorientasi memperkuat ekonomi domestik. Karena itu, sumber pertumbuhan ekonomi melalui perkebunan sawit rakyat dan investasi perlu terus didorong. Semangat Presiden Trump dalam melindungi dan menyejahterakan rakyat Amerika bisa ditiru.
Ancam pekebun rakyat
Suara kekhawatiran juga disampaikan petani kelapa sawit. Kebijakan gambut dinilai mengancam kelangsungan hidup pekebun rakyat. “Jika kebijakan itu benar-benar diterapkan, maka petani rakyat akan tercekik,” ujar Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Anizar S kepada Agro Indonesia.
Menurut Anizar, petani rakyat kelapa sawit terancam kehilangan mata pencariannya walaupun pemerintah menerapkan sistem land swap atau ganti rugi uang terhadap lahan kebun sawit mereka yang harus dipindahkan dari lahan gambut.
“Selama ini, para petani itu melakukan kegiatan perkebunan di dekat rumah mereka dan sudah turun-temurun. Jika dipindahkan ke tempat lain, mereka akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kegiatan usahanya,” kata Anizar.
Begitu juga jika diganti dengan uang, dengan SDM yang masih lemah, petani rakyat tidak akan mampu mengelola dana hasil ganti rugi itu secara maksimal. “Bisa-bisa, dapat uang langsung beli mobil atau motor,” ujarnya.
Untuk itu, Anizar meminta pemerintah untuk berpikir ulang dalam mengambil keputusan. Apalagi jika keputusan tersebut berkaitan dengan kegiatan ekonomi rakyat.
Dia menyebutkan, kebijakan pemerintah untuk menghapus kegiatan bisnis di lahan gambut akan membuat investor menjadi bingung dan enggan melakukan investasi di Indonesia.
“Dulu mereka diberikan izin untuk melakukan kegiatan bisnis di lahan gambut. Tetapi kenapa sekarang kok lahan itu harus steril dari kegiatan bisnis? Kenapa tidak sejak dari awal saja pemerintah melarangnya? Ini kan membuat investor bingung,” ucapnya
Amanah UUD
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), Darmono Taniwiryono menyatakan, kebijakan pemerintah seharusnya dapat memenuhi tuntuntan kepentingan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan hukum sesuai yang diamanahkan oleh UUD 45 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Tujuan pembangunan berkelanjutan itu di antaranya pemberantasan segala bentuk kemiskinan di semua tempat, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi. Tujuan lain yakni menggalakkan pertanian berkelanjutan dan hidup sehat serta mendukung kesejahteraan untuk semua usia. Oleh karena itu, segala kebijakan yang dilahirkan — termasuk soal gambut 2016 — haruslah memiliki kajian akademis yang bersifat holistik.
Suara dari stakeholder sawit tentu tak bisa diabaikan, Apalagi, peran besar sawit yang hanya terasa di tingkat lokal tapi juga nasional. Menurut Gapki, pada tahun 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor produk CPO dan produk turunannya mencapai 18,65 miliar dolar AS. Ini menjadikan minyak sawit sebagai penghasil devisa negara terbesar di Indonesia melampaui minyak dan gas (migas).
Industri sawit juga berperan sangat besar dalam pembukaan lapangan kerja. Total tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit mencapai 7,9 juta jiwa di 2015, meningkat dibandingkan tahun 2014 sebanyak 7,6 juta jiwa. Sugiharto
APHI Berharap Masih Bisa Jalankan Usaha
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyikapi dengan hati-hati paket kebijakan gambut yang baru dilansir kementerian LHK. Meski demikian, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto menyatakan harapan aggota APHI agar pelaku usaha HTI tetap bisa menjalankan usahanya.
“Kami berharap agar tetap mendapat kesempatan berusaha,” katanya.
Seperti halnya sawit, pengelolaan HTI dan industri hilirnya memberi sumbangan cukup besar pada penerimaan devisa, pembukaan lapanga kerja, dan pengaman sosial masyarakat.
Mengacu kepada peta KHG dan peta fungsi ekosistem gambut, maka ada 101 unit manajemen HTI di lahan gambut dengan luas 2,6 juta hektare (ha). Sekitar 1,5 juta ha (hampir 60%) berada di fungsi lindung, hanya sekitar 1,1 juta ha di fungsi budidaya.
Jika HTI berhenti beroperasi, rentetan dampak tak dikehendaki akan sangat merugikan. Selain kehilangan investasi dan potensi devisa, bakal ada jutaan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Berdasarkan hitungan APHI, ada sedikitnya Rp130 triliun investasi yang sudah tertanam saat ini.
Berhentinya operasional HTI akan menghentikan kontribusi terhadap PNBP. Sebagai gambaran, dari 2,6 juta ha HTI bisa menghasilkan produksi kayu sebanyak 35 juta m3, di mana kontribusi PNBP bisa mencapai Rp189 miliar/tahun dengan PBB (pajak bumi dan bangunan) sebesar Rp146 miliar/tahun.
Devisa pun berpotensi menurun, khususnya dari ekspor bubur kayu dan kertas yang saat ini nilainya mencapai 6 miliar dolar AS. Paling tidak, penurunan devisa bisa mencapai 60% dengan asumsi 60% areal HTI berubah menjadi fungsi lindung.
Dari sisi tenaga kerja, paling tidak ada 2,5 juta orang tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang bekerja pada pengelolaan HTI. Sementara pada industri bubur kayu dan kertas, jumlah tenaga kerja langsung mencapai 680.000 orang dan tenaga kerja tidak langsung mencapai 1,1 juta orang. Sugiharto
ANALISIS FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN PETA TEMATIK LAINNYA
Wilayah | Jumlah
KHG |
Indikatif Fungsi Lindung Ekosistem Gambut | Indikatif Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut | Luas Total KHG | |||||
Fungsi Lindung –
Kubah Gambut |
FL-Kubah Gambut
+ Kawasan Lindung : HL, CA, SM, TN, Tahura, TW (Kawasan Hutan) |
FL-Kubah Gambut
+ Kawasan Lindung : HL, CA, SM, TN, Tahura, TW (Kawasan Hutan) + Kawasan Lindung (PR-RTRWP) |
Non Kubah
Gambut |
Non Kawasan
Lindung : HP, HPT, HPK, APL (Kawasan Hutan) |
Non Kawasan
Lindung (PR-RTRWP) |
(Ha) | (%) | ||
Sumatera | 207 | 4.356.864 | 4.961.563 | 4.985.913 | 5.247.665 | 4.642.965 | 4.618.616 | 9.604.529 | 100,00 |
Kalimantan | 190 | 2.887.484 | 4.086.373 | 4.094.203 | 5.517.333 | 4.318.445 | 4.310.614 | 8.404.818 | 100,00 |
Sulawesi | 3 | 21.001 | 27.684 | 28.305 | 42.290 | 35.607 | 34.985 | 63.290 | 100,00 |
Papua | 465 | 1.967.983 | 3.250.897 | 3.290.061 | 4.627.184 | 3.344.270 | 3.305.106 | 6.595.167 | 100,00 |
INDONESIA | 865 | 9.233.332 | 12.326.517 | 12.398.482 | 15.434.472 | 12.341.287 | 12.269.321 | 24.667.804 | 100,00 |
Sumber: Kementerian LHK