Beleid gambut boleh berganti. Namun, protes sepertinya masih akan terus mengalir. Pengaturan tentang tinggi muka air gambut yang belum banyak perubahan mengkhawatirkan banyak pihak akan mematikan roda usaha, mengurangi serapan tenaga kerja, dan berujung pada merosotnya sumbangan devisa negara.
Dalam PP 57/2016, soal tata air gambut memang diatur lebih rinci. Terutama soal titik pantau tinggi muka air. Meski demikian, batas muka air dari permukaan gambut paling rendah tetap 0,4 meter. Jika lebih rendah dari batas tersebut, gambut akan dinyatakan rusak dan harus dipulihkan. Jika tidak, maka sederet sanksi administrasi akan dijatuhkan. Mulai dari terguran tertulis, paksaan pemerintah, dan pembekuan izin lingkungan. Yang paling berat adalah pencabutan izin lingkungan — yang berarti operasional usaha harus dihentikan.
Menanggapi terbitnya PP 57/2016, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengaku masih akan mempelajarinya lebih mendalam. Hanya saja, dia mengusulkan agar titik pantau muka air gambut nantinya tidak ditempatkan di kanal. Melainkan di dalam areal pengelolaan. Alasannya, muka air gambut relatif lebih rendah di kanal ketimbang di areal pengelolaan. Ini dikarenakan sifat gambut dan topografinya. “Muka air gambut di areal pengelolaan bisa saja di atas 0,4 meter tapi di kanal mungkin saja kurang,” katanya.
Soal titik pantau air gambut, APHI juga sempat menyampaikan usulan dalam pembahasan Peraturan Menteri LHK tentang Pengelolaan Air Ekosistem Gambut. Usulan APHI adalah agar lokasi pemantauan ditentukan dengan mempertimbangkan homogenitas lahan. Selain itu, penempatan lokasi pemantauan mengacu pada wilayah pengelolaan dengan topografi yang serupa. Dengan pertimbangan tersebut, maka jumlah lokasi pemantauan bisa lebih sedikit, namun tetap sama efektifnya.
Selain soal lokasi pantau, Purwadi juga menekankan pentingnya penunjukkan otoritas resmi untuk pengukuran muka air gambut. Ini untuk mencegah adanya free rider, yang melakukan pengukuran dengan niat buruk. “Perlu ditunjuk siapa yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengukuran,” katanya.
Tidak tepat
Tanggapan yang lebih keras datang dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Belum berubahnya batasan tinggi muka air gambut dinilai Gapki menahan kinerja produksi sawit dan olahannya, yang saat ini menjadi andalan devisa Indonesia.
Kepala kompartemen riset lingkungan Gapki, Bandung Sahari menegaskan, penetapan batas 0,4 meter muka air sebagai indikator kerusakan gambut sangat tidak tepat. Selain tidak aplikatif, batasan itu juga tidak jelas dasar penetapannya.
Bandung memaparkan, air gambut akan menurun seiring musim kemarau. Bahkan, di hutan alam pun, air gambut bisa turun hingga lebih dari 0,8 meter. Atas dasar itu, tidak tepat jika kemudian lahan gambut dengan permukaan air gambut lebih rendah dari 0,4 meter dikategorikan rusak.
Kalaupun tetap dinyatakan rusak, kenyataanya tanaman sawit masih bisa tumbuh dengan produktivitas yang sangat baik. “Jadi, dinyatakan rusak dari sisi apa? Kimia? Biologi? Fisika? Kenyataannya lahan itu bisa dimanfaatkan. Itu berarti kan tidak rusak,” katanya.
Soal muka air gambut, Bandung menyarakan agar batasannya tidak diatur kaku melainkan fleksibel dengan rentang hingga 0,8 meter. Dia menegaskan, perkebunan kelapa sawit tidak mungkin mengeringkan lahan gambut, karena untuk tumbuh sawit tetap butuh pasokan air. “Lebih dari 0,8 meter sawit akan kekurangan air, sementara kalau kurang dari 0,4 meter sawit akan kebanjiran,” katanya.
Rentang ketinggian air gambut ini pun diakui secara internasional. Menurut Bandung, kriteria kelestarian kebun sawit di gambut pun — yang diatur oleh RSPO maupun ISPO — menetapkan rentang ketinggian air gambut yang berkisar 0,8-0,6 meter.
Usulan Gapki
Soal kriteria kerusakaan gambut, Gapki sebenarnya sudah menyampaikan usulan tertulis kepada Presiden Joko Widodo, Oktober 2014. Usulan itu ditegaskan kembali dalam surat yang disampaikan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya Siti Nurbaya, awal 2016.
Dalam suratnya, Gapki menyarakan agar kriteria kerusakan bukan dalam bentuk berapa kedalaman muka air, tetapi diganti dengan kriteria baku kerusakan gambut. Misalnya, “gambut menjadi hidrofobik”. Ini berarti gambut tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Kriteria ini dilengkapi nilai rerata kadar air kritis terjadinya hidrofobisitas. Untuk gambut saprik 150% w/w; gambut hemik 250% w/w; da gambut fibrik 350% w/w.
Sayangnya, usulan tersebut sejauh ini belum tertampung. Bandung menyayangkan sikap pemerintah yang mengabaikan usulan tersebut. Bandung bahkan mengungkapkan, pemerintah terkesan seperti sengaja mengabaikan usulan Gapki. Ini bisa terlihat dari tak pernah diundangnya Gapki dalam pembahasan gambut, khususnya revisi PP 71/2014. “Akhirnya usulan kami sampaikan dalam bentuk tertulis,” katanya.
Situasi ini sungguh disayangkan. Mengingat besarnya peran minyak sawit dan turunannya dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Gapki, pada tahun 2015 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor produk CPO dan produk turunannya mencapai 18,65 miliar dolar AS. Ini menjadikan minyak sawit sebagai penghasil devisa negara terbesar di Indonesia melampaui minyak dan gas (migas).
Industri sawit juga berperan sangat besar dalam pembukaan lapangan kerja. Total tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit mencapai 7,9 juta jiwa di 2015, meningkat dibandingkan tahun 2014 sebanyak 7,6 juta jiwa.
Bandung juga mengungkapkan, banyak contoh pengelolaan kebun sawit yang lestari di lahan gambut. Sebut saja di kebun Ajamu milik PT Perkebunan IV di Sumatera Utara yang telah berumur 60 tahun. Ada juga perkebunan di Indragiri Hilir, Riau yang mulai dikembangkan awal tahun 1990-an dan berproduksi dengan baik. Demikian pula kebun milik PT Socfindo di Negeri Lama Sumatera Utara yang kini telah berusia 80 tahun dan mampu menghasilkan panen 25 ton/hektare per tahun. Sugiharto
Mengapa Kemajuan Iptek Tidak Diakomodir?
Soal batas muka air 0,4 meter di bawah permukan gambut sejatinya juga menuai kritik dari banyak pakar. Termasuk Ketua Himpunan Gambut Indonesia, Supiandi Sabiham. Dia menuturkan, ketentuan yang membatasi muka air tidak boleh lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan sulit diterapkan.
Menurut Sabiham, jika mengacu ketentuan tersebut, maka seluruh lahan gambut yang dibudidayakan akan dikategorikan rusak. “Hasil kajian juga menunjukkan produksi buah sawit akan turun drastis,” kata Sabiham, yang juga guru besar IPB Bogor ini.
Sabiham juga menyatakan, pembatasan muka air gambut 0,4 meter tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon. “Emisi karbon pada lahan gambut dengan muka air pada rentang 0,4-0,7 meter ternyata tidak memiliki perbedaan secara nyata,” katanya.
Sementara itu pakar ilmu tanah IPB Basuki Sumawinata menyatakan, jika tujuanya untuk menjaga kelembaban gambut, maka penerapan teknologi tata air sudah sangat tepat. Teknologi itu menjaga gambut tetap basah sehingga memaksimalkan petumbuhan tanaman yang berarti meningkatkan penyerapan karbon, mengurangi risiko kebakaran, menahan subsidensi gambut, dan menjaga emisi gas rumah kaca.
Dia menyatakan seharusnya PP gambut bisa mengakomodir kemajuan ilmu dan teknologi agar sumberdaya gambut bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sugiharto