Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan kesiapannya menghadapi gugatan dari perusahaan yang keberatan dengan sanksi yang diberikan pemerintah terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Namun, sejauh ini pengusaha nampaknya lebih memilih melakukan pendekatan yang lebih halus, termasuk mengadu ke Presiden Joko Widodo.
Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Togar Sitanggang menuturkan pihaknya tidak melakukan advokasi khusus terhadap perusahaan perkebunan yang dikenai sanksi oleh pemerintah. Apalagi, dari tujuh perusahaan perkebunan yang dibekukan izinnya oleh Kementerian LHK, hanya ada satu perusahaan yang merupakan anggota GAPKI, yaitu PT Langgam Inti Hibrindo (LIH), yang berlokasi di Provinsi Riau.
“Sejauh ini pihak LIH tidak mengajukan permohonan perlindungan kepada kami. Mereka bisa menghadapi sanksi tersebut secara mandiri,” katanya, Jumat (31/12/2015). Dari informasi yang diperoleh Agro Indonesia, pihak perusahaan memang telah menjelaskan persoalan yang dihadapinya melalui surat yang ditembuskan ke Presiden Jokowi, yang meminta perlindungan hukum.
Menurut Togar, terhadap sanksi yang diberikan Kementerian LHK, GAPKI mempersilakan anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. “Jika mau menggugat ke PTUN, silakan. Jika mau mengambil langkah lain pun silakan,” katanya.
Meski demikian, Togar menyayangkan adanya sanksi yang diberikan pemerintah terhadap perusahaan perkebunan. Apalagi jika areal perkebunan perusahaan yang diberi sanksi berada pada provinsi yang belum beres Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi-nya.
Dia menuturkan, banyak kasus di mana perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan disalahkan, karena dianggap mengelola konsesi dengan merambah hutan. Pasalnya, berdasarkan RTRW, kawasan tersebut masih berstatus kawasan hutan. Sebaliknya, begitu konsesi tersebut didiamkan karena RTRW-nya masih bermasalah, kemudian terjadi kebakaran, pemegang HGU perkebunan kembali disalahkan karena dinilai lalai menjaga konsesinya. “Jadi, kami disalahkan terus,” keluh dia.
Beri kesempatan
Langkah yang lebih adem juga ditempuh perusaha-perusahaan kehutanan. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) hanya berharap pemerintah memberi kesempatan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) untuk tetap beroperasi dan melaksanakan rehabilitasi penanaman pada lahan eks kebakaran yang ada di dalam konsesi. Hal itu untuk mencegah lahan menjadi areal terbuka yang kembali bisa menjadi sumber api. Pemerintah bisa melakukan pengawasan ketat agar pelaksanaan penanaman transparan.
“Sementara untuk areal dengan tingkat kerawanan sosial tinggi, kegiatan penanaman bisa dilakukan dengan kegiatan kemitraan antara masyarakat dan perusahaan pemegang izin,” kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Rahardjo Benjamin.
Akibat sanksi tersebut, saat ini sekitar 1 juta hektare (ha) lahan tidak dapat dioperasikan. Padahal, kebakaran di areal pemegang izin terjadi bukan karena perusahaan membakar, tetapi karena faktor eksternal. Kebakaran hutan pun tidak hanya terjadi di konsesi perusahaan kehutanan, tapi juga terjadi di lahan masyarakat, hutan open access, taman nasional dan areal moratorium.
Sampai saat ini, tidak ada kepastian kapan pembekuan izin dicabut, meski perusahaan telah mengupayakan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Selain sanksi pembekuan, pemerintah juga bereaksi dengan tidak mengizinkan penyiapan lahan baru untuk penanaman pada lahan gambut, sementara lahan eks kebakaran diambil alih pemerintah. Ketentuan ini rencananya akan dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah.
Devisa
Kebijakan pemerintah tersebut dinilai telah menimbulkan ketidakpastian usaha dan ketidakpastian hukum bagi pemegang izin kehutanan yang telah berinvestasi sesuai dengan luasan areal dan masa konsesi izin. Dampaknya serius. Pasokan bahan baku industri, terutama serpih dan bubur kayu, menurun. Indikasinya, pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri pada triwulan III tahun 2015 sebesar 6,56 juta m3 turun 29% dibandingkan triwulan II tahun 2015 yang sebesar 9,26 juta m3. Penurunan terjadi terutama dari daerah bencana kebakaran hutan dan lahan.
Kondisi tersebut bisa berujung pada melemahnya kinerja ekspor, menurunnya devisa, perolehan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berakibat pada melemahnya perekonomian nasional. Penerimaan devisa dari industri pulp saat ini yang mencapai 5,6 miliar dolar AS dipastikan akan menurun tajam pada tahun 2015 dan pada tahun-tahun mendatang.
Dampak lanjutan lainnya adalah PHK karyawan serta pemutusan kontrak kerjasama dengan kontraktor dan suplier. Saat ini terdapat sekitar 1 juta Tenaga Kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terserap dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri. Situasi tersebut bisa membuat keresahan meluas di kalangan karyawan dan masyarakat sebagai tenaga kerja langsung maupun tidak langsung, yang berpotensi menimbulkan gejolak sosial di daerah yang terkena pembekuan dan pencabutan izin.
Untuk itu, Rahardjo berharap agar pemerintah bisa mengizinkan kembali kegiatan operasional IUPHHK. Ini untuk untuk menghidari stagnasi kegiatan di lapangan dan meninjau ulang kebijakan pembekuan dan pencabutan izin. “Ke depan seyogyanya diarahkan pada pembinaan kepada pemegang izin,” katanya.
MEA
Sementara itu , Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida mengkritik keras pemerintah karena memberikan sanksi pencabutan dan pembekuan izin HTI. Langkah pemerintah itu akan mematikan industri pulp dan kertas tahun 2016. “Padahal, tahun 2016 sudah masuk pasar bebas Asean (MEA). Kalau pasokan bahan baku berkurang, industri pulp dan kertas tahun depan akan terancam,” jelasnya.
Menurutnya, dengan berkurangnya pasokan bahan baku sama saja dengan memaksa tutup pabrik pulp dan kertas. Tentu bukan hanya perusahaannya saja yang rugi, tapi pemerintah juga dari berkurangnya setoran pendapatan.
“Tidak mungkin perusahaan HTI membakar hutannya dengan sengaja. Investasi di sektor HTI mencapai Rp60 triliun dengan nilai ekspor 5,6 miliar dolar AS dan tuduhan pembakaran HTI akan merusak bisnis industri pulp dan kertas,” ujarnya. B Wibowo/Sugiharto
Daya Saing dan Tenaga Kerja Terancam
Bahaya PHK massal akibat pembekuan izin sejumlah perusahan perlu disikapi pemerintah dengan bijak. Apalagi, yang terdampak adalah kelompok industri yang selama ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan berkontribusi besar terhadap ekspor.
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Aris Yunanto mengatakan, dampak PHK massal sangat berbahaya jika tidak ditangani secara serius dan simultan. “Jika dampak PHK nantinya sudah sampai pada tindakan destruktif, merusak pabrik dan fasilitas kerja, sangat berbahaya,” ujar Aris mengingatkan.
Dia mengatakan, pemerintah dan semua pihak sebaiknya mengantisipasi dampak PHK massal tersebut dan memikirkan langkah agar para tenaga kerja yang selama ini hidup dari industri kehutanan bisa tetap mendapatkan penghasilan untuk keluarganya, selain memikirkan pencegahan dari tindakan yang merusak iklim ekonomi.
“Pemerintah juga harus membantu pengusaha untuk melakukan perubahan dan eksistensi usahanya. Karena kontribusi dari para pengusaha kehutanan sangat tinggi bagi ekonomi masyarakat,” katanya.
Sementara itu Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Pranata mengatakan, saat ini jumlah industri hasil hutan mencapai 80 industri.
“Produksi pulp mencapai 6,4 juta ton/tahun dan produksi kertas 10,4 juta ton/tahun. Sedangkan ekspor pulp mencapai 3,5 juta ton dengan nilai 1,72 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,5 triliun dan ekspor kertas sebesar 4,35 juta ton dengan nilai 3,74 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,2 triliun,” katanya.
Pranata menilai, dengan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi yang tidak hanya di areal terbakar saja, tetapi diseluruh areal operasi, maka target pertumbuhan industri pulp dan kertas sebesar 3% hingga 4% pada tahun depan tidak akan tercapai.
“Kami akan mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar peraturan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi di seluruh areal operasi HTI dicabut. Industri pulp dan kertas memiliki daya saing yang tinggi dan menyerap ribuan tenaga kerja,” ujar Pranata. B Wibowo/Sugiharto