Peta Jalan 2016-2021 Jadi Bekal Pengurus Baru

Kayu HTI

Ketua umum APHI periode 2016-2021 punya tugas berat untuk mengembalikan kejayaan kehutanan Indonesia. Namun, ada bekal bagus yang diwariskan dari kepengurusan saat ini. Bekal itu adalah Road Map Pembanguna Hutan Produksi Tahun 2016-2045.

Dokumen tersebut disusun berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo. Dokumen itu akan diluncurkan secara resmi pada Musyawarah Nasional APHI, 19-20 Oktober 2016. “Road map tersebut merupakan masukan APHI periode 2011-2016 kepada Permerintah untuk mendorong optimalisasi pengelolaan hutan produksi sebagai sumber bahan baku industri kehutanan nasional,” kata Ketua Umum APHI, Sugiono di Jakarta, Kamis (13/10/2016).

Asal tahu, ini bukan kali pertama road map pembangunan hutan produksi dibuat. Sebelumnya, sudah ada dua dokumen serupa, yang capaiannya tak menggembirakan. Itu sebabnya, Sugiono berharap pengurus APHI periode yang akan datang dapat mendorong implementasi peta jalan tersebut untuk menempatkan usaha kehutanan sebagai sektor unggulan strategis dan membangkitkan kembali peran sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional.

Dalam peta jalan tersebut, APHI menawarkan pengklasteran yang mengintegrasikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) yang dikelola perusahaan dan izin berbasis masyarakat dengan industri untuk mengoptimalkan potensi hutan produksi. Pengklasteran diproyeksikan mampu memberikan devisa tahunan sebesar 97,51 miliar dolar AS, setara dengan Rp1.268 triliun dan menyerap tenaga kerja hingga 11,5 juta orang serta dana investasi swasta sebesar 166 miliar dolar AS atau setara Rp2.158 triliun sampai dengan tahun 2045.

Salah satu jalan untuk mengoptimalkan hutan produksi adalah dengan meningkatkan produktivitas hutan alam dan membangun hutan tanaman dimulai 2016 hingga 2045. Dibutuhkan luas bersih 17,05 juta hektare (ha) hutan tanaman yang akan menghasilkan kayu bulat sebanyak 572 juta m3/tahun.

Untuk itu, dibutuhkan tambahan investasi hutan tanaman baru seluas 14,25 juta ha dengan memberikan ruang kelola secara luas kepada izin berbasis masyarakat. Adapun untuk Hutan Alam akan dilakukan pengelolaan secara optimal pada areal seluas 20 juta ha yang akan menghasilkan kayu bulat sebanyak 28 juta m3/tahun.

Dengan pendekatan klaster, maka pembangunan hutan tanaman didorong untuk terintegrasi dengan industri yang meliputi panel kayu, kayu gergajian, kayu serpih (chips), bubur kertas (pulp), kayu energi serta hasil hutan bukan kayu. Pola klaster ini akan mengatasi persoalan infrastruktur, yang akan sangat berat jika dibebankan kepada izin-izin berbasis masyarakat.

Kebijakan 

Road map yang disusun juga mengungkap sejumlah kebijakan yang dibutuhkan. Di antaranya soal kepastian areal kerja melalui pemberian izin yang bersifat final — yang hak kepemilikannya setara dengan HGU untuk mempermudah akses dan skema pendanaan ke lembaga keuangan.

Kebijakan lainnya adalah peningkatan produktivitas hutan melalui sinergitas penelitian dan pengembangan, baik melalui pemuliaan benih maupun pengembangan sistem silvikultur intensif (SILIN) dan pengendalian hama penyakit.

Sementara untuk integrasi izin berbasis masyarakat, kebijakan yang dibutuhkan adalah pengembangan skema “inti plasma” antara HTI dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa, atau Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam pembangunan HTI. Pemerintah juga diharapkan memberikan dukungan kebijakan dan fasilitasi pengembangan hutan tanaman kemitraan antara pemegang IUPHHK/IPHHK dan masyarakat dengan komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Kebijakan lain yang juga dibutuhkan adalah penguatan sistem sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan bersertifikasi legalitas kayu (VLK). Sistem sertifikasi tersebut diharapkan bisa terus meningkat keberhterimaannya di pasar Internasional.

Pemerintah juga perlu memberi insentif pengurangan biaya ekspor produk olahan bagi pemegang sertifikat PHPL dan VLK. Di hulu, pemberian jaminan perpanjangan izin dan kepastian dari tumpang tindih izin diperlukan.

Kebijakan penting yang juga perlu diambil adalah keleluasaan peredaran dan pemasaran hasil hutan, termasuk kebijakan perdagangan hasil hutan. Ini untuk mengatasi distorsi harga yang membuat log (kayu bulat) punya bandrol lebih rendah ketimbang biaya produksinya. Pemerintah juga perlu membuat kebijakan untuk menyeimbangkan beban pungutan menjadi lebih rasional. Sugiharto

Siti Nurbaya: Saya Punya Kepentingan untuk Hadir

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan pentingnya industri kehutanan bagi Indonesia. Itu sebabnya, dia berharap Munas APHI bisa menghasilkan keputusan-keputusan untuk mengembalikan kejayaan industri kehutanan di tanah air.

“Kita semua tentu berharap agar industri kehutanan semakin bagus, bisa kembali ke masa kejayaan industri kehutanan,” katanya di Jakarta, Jumat (14/10/2016).

Dia menuturkan, secara konteks, Munas yang digelar pekan ini memiliki arti penting untuk mendorong peningkatan produksi secara berkelanjutan. Namun, dia juga mengingatkan, peningkatan produksi tersebut jangan sampai melupakan persoalan lingkungan.

“Yang tertinggal dari pengelolaan di masa lalu adalah soal lingkungan. Ke depan, produksi dan lingkungan harus sejalan dan diharmonisasikan,” kata Nurbaya.

Dia juga mengingatkan tentang agenda-agenda penting pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup, khususnya perhutanan sosial. Untuk itu, program APHI juga harus diharmonisasikan dengan isu tersebut.

“Ini juga menjadi arahan Pak Presiden saat pertemuan beberapa waktu lalu,” kata Nurbaya.

Secara konten, program APHI nantinya harus bisa mendorong pengelolaan hutan selaras dengan program perhutanan sosial pemerintah seperti hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat (HTR).

Menurut Menteri Nurbaya, apa yang terjadi di Jawa sangat luar biasa. Industri kehutanan saling mendukung dengan pertumbuhan hutan rakyat. Dampaknya, selain hutan rakyat yang semakin luas, industri kehutanan pun bisa terus meningkatkan kapasitas produksinya.

Nah, di luar Jawa, anggota APHI diharapkan juga bisa menarik pertumbuhan HTR.

Terkait hal ini, APHI sudah merancang Road Map Pembangunan Hutan Produksi Tahun 2016-2045. Dalam dokumen tersebut, APHI menawarkan konsep pola klaster untuk pengelolaan hutan dimana hutan tanaman didorong terintegrasi dengan industri seperti kayu serpih, bubur kertas, panel kayu, kayu olahan, kayu energi, dan hasil hutan bukan kayu.

Terkait road map tersebut, Menteri Nurbaya mengaku masih akan mempelajarinya. Dia menyatakan, Kementerian LHK mendorong adanya pengelompokan antara kelompok atau koperasi HTR dengan industrinya. Industri juga berperan sebagai off-taker dari produksi masyarakat. “Jadi didekatkan antara kelompok koperasi dengan industri,” katanya.

Ditanya soal siapa calon yang akan didukung, Menteri Nurbaya menegaskan, Kementerian LHK mengambil posisi netral. Menurut dia, APHI diisi oleh orang-orang hebat dan pandai untuk memilih siapa yang layak sebagai pemimpin. “Ini kan demokrasi. Jadi kami tidak mendukung salah satu calon. Saya juga sudah instruksikan kepada Sekjen dan pejabat terkait untuk tetap netral,” katanya.

Menteri Nurbaya memastikan dirinya akan hadir pada Munas APHI. Jika berhalangan hadir pada saat pembukaan, karena sedang serius mengejar proses ratifikasi Persetujuan Paris, maka dia berjanji untuk tetap hadir pada saat Munas berlangsung. “Saya punya kepentingan untuk hadir,” katanya. Sugiharto