Oleh: Ali Djajono (Perencana Madya, Pada Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian LHK)
Artikel ini merupakan lanjutan isu Pembangunan KPH pasca UU 23 tahun 2014 yang pernah muat di Opini Agro Indonesia (edisi 10 Desember 2017), dengan tujuan untuk menggaungkan kembali pembangunan dan operasionalisasi KPH, karena permasalahan kelembagaan KPH di Daerah-daerah rata-rata sudah tuntas dari mulai pembentukan Organisasi dan pengisian personilnya.
Sebagaimana diketahui KPH mulai digencarkan dan didorong sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2007 Jo No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, yang realisasinya baru nyata terlihat sejak tahun 2009, dengan bentuk pendekatan-pendekatan kebijakan dan kelembagaan yang masing mengacu pada Peraturan-peraturan sebelum UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan. Saat itu Pusat dan beberapa Daerah (Provinsi maupun Kabupaten) antuasias membangun dan mengoperasionalisasikan KPH.
Terbitnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merubah mainset pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) termasuk kehutanan yang awalnya sampai ke tingkat Kabupaten/Kota menjadi hanya sampai ke Tingkat Provinsi, mengakibatkan pasang surut laju pembangunan KPH dan operasionalisasinya. Pemberlakuan UU No 23 tahun 2014 memaksa semua Provinsi melakukan konsolidasi kelembagaan Daerah, termasuk didalamnya KPH, sehingga membuat pembangunan KPH terkendala, walaupun Pusat masih tetap antusias menyiapkan fasilitasi untuk operasionalisasi KPH (termasuk menyiapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan).
Mulai tahun 2018 hampir semua Provinsi telah melakukan konsolidasi dan menuntaskan kelembagaan KPH.Saatnya sekarang “Menggerakkan kembali”, mempercepat kembali pembangunan dan operasionalisasi KPH agar tidak terlambat lagi dalam mengatasi isu-isu lingkungan dan kehutanan yang semakin krusial di lapangan.Artikel ini Penulis siapkan secara ringkas menyangkut Kondisi Kelembagaan KPH saat ini, Tantangan-tantangan yang kemungkinan dihadapi, Bagaimana Peran Daerah dan Peran Pusat.
Kondisi Kelembagaan KPH
Pasca konsolidasi di masing-masing provinsi seluruh Indonesia berdasarkan catatan penulis sd Maret 2018 telah terbentuk kelembagaan KPH sebagaimana Matrik/tabel.
Dengan kondisi kelembagaan terinci sebagai berikut: a). Provinsi yang membentuk kelembagaan sama dengan unit wilayah KPHnya sebanyak 9 (Sembilan) Provinsi (Aceh, Kepri, Bengkulu, DIY, Bali, NTT, Sulsel, Sultra, Sulut)’ b). Provinsi yang membentuk kelembagaan yang menangani 1 (satu) atau lebih unit wilayah KPH, sebanyak 20 (dua puluh) Provinsi.
Tantangan
Situasi dan fakta di masing-masing provinsi seperti itu, masing-masing KPH dihadapkan pada tantangan-tantangan dalam pengembangan dan operasional KPH ke depan. Paling tidak ada enam tantangan yang dihadapi khususnya di tingkat kelembagaan KPH.
Pertama, Bagi Kelembagaan KPH yang menangani lebih dari 1 Unit Wilayah KPH, maka akan dihadapkan pada tantangan antara lain: a) Luasnya wilayah KPH yang harus dikelola, b) Implementasi lebih dari satu Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP). Kondisi ini memerlukan penanganan yang lebih intensif dan kesiapan Sumberdaya Pengelolaannya.
Kedua, Pasca UU 23 tahun 2014, banyak pengalihan PNS dari Kabupaten/Kota yang selama ini mengurusi kehutanan ke Pemerintah Provinsi dan sebagian besar ditempatkan di kelembagaan KPH.Namun kompetensi para SDM tersebut selama ini lebih banyak mengurusi administrai kehutanan bukan operasional pengelolaan.Kondisi ini mengakibatkan tersedianya sumber daya pengelola KPH, namun tidak didukung oleh kompetensi yang memadai.Tantangannya adalah bagaimana mengoptimalkan kondisi ketersedian SDM ini untuk optimalisasi operasionalisasi KPH sesuai dengan potensi dan permasahan yang ada di wilayah KPH yang bersangkutan.
Ketiga, Dalam matrik pengaturan urusan kehutanan di UU 23 tahun 2014 terdapat kegiatan pengelolaan hutan yang berbeda tingkatan Pelaksanaan kegiatannya. Contoh: terdapat satu tugas dan fungsi yang penting sampai tingkat lapangan tetapi kewenangannya justru hanya di Pemerintah Pusat, yaitu Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, sebagaimana dicantumkan dalam lampiran BB. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan, Sub Urusan Pengelolaan Hutan pada kolom 3 (Pemerintah Pusat). Sedangkan pada Sub Urusan yang sama terkait Rehabilitasi ada di kolom 4 (Pemerintah Provinsi) menyatakan bahwa Pelaksanaan Rehabilitasi di Luar Kawasan Hutan Negara pengelolaan yang harus ada sinkronisasi akibat perbedaan antara pengaturan di UU 23 dan UU teknis. Tantangannya adalah bagaimana KPH diperankan dalam kegiatan-kegiatan tersebut.
Keempat, Terdapat kebijakan prioritas Nasional yang akan menjadi fokus dari Pemerintah Pusat dan sudah menjadi fokus dari kementerian/lembaga yang bisa jadi tidak sama dengan prioritas Provinsi apalagi tingkat spesifik lokal KPH. Tantangannya adalah bagaimana KPH mengoptimalkan dan mensinkronkan potensi KPH masing-masing dengan kebijakan prioritas Pemerintah. Keberhasilan langkah sinkroniasasi dan optimalisasi akan mewujudkan proses sinergi yang punya dampak manfaat di tingkat Nasional, Provinsi dan spesifik lokal.
Kelima, Wilayah KPH dengan segala kondisinya merupakan potensi yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan tidak hanya oleh sektor kehutanan saja tapi oleh sektor-sektor lainnya (misal: pangan, perkebunan, peternakan, pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan dan lain-lain). Tantangannya adalah bagaimana KPH dapat mengakses sumberdaya sektor kehutanan (misal: PSDH/DR, DAK) dan mengoptimalkan sumberdaya di sektor lain untuk operasionalisasi KPH, serta yang terpenting adalah bagaimana KPH dapat mengakses sumberdaya tersebut.
Keenam, Penguatan kelembagaan KPH menuju kemandirian melalui pembentukan Pola Pengelolaan Keungan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD) untuk bisa memanfaatkan potensi-potensi yang ada dalam rangka memperoleh kemanfaatan secara sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pihak. Tantangannya adalah bagaimana KPH mempersiapkan diri dengan segala perangkatnya dan berkomunikasi/berkoordinasi dengan pihak terkait yang diperlukan dalam rangka mempersiapkan kecukupan proses pembentukan PPK BLUD.
Peran Daerah
Di tingkat Daerah (Gubernur, Dinas, Bappeda, BKD, pihak daerah terkait lainnya) perannya adalah bagaimana mengawal implementasi pengelolaan hutan yang ada dengan kondisi penyiapan kelembagaan yang sudah ada saat ini, serta menyiapkan kebijakan-kebjakan pendukung di tingkat Daerah yang diperlukan. Peran-peran tersebut antara lain: a) memastikan pembangunan dan operasionalisasi KPH masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD), b) menyiapkan perangkat peraturan-peraturan Tingkat Daerah untuk mendukung implementasi pemanfaatan potensi yang ada di wilayah KPH, c) Memastikan integrasi dan sinkronisasi pembangunan antar sektor yang bisa di integrasikan dalam wilayah-wilayah KPH, d) Memastikan peningkatan kompetensi SDM di tingkat KPH untuk menjamin optimalisasi pengelolaan hutan.
Peran Pusat
Di tingkat Pusat (khususnya Kementerian LHK dan UPTnya di Daerah) peranya adalah bagaimana memainkan peran strategis sebagai Institusi yang menyiapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria untuk diacu seluruh Indonesia, serta menyiapkan kebijakan-kebijakan yang “KPH responsive” yang bisa menjadi Instrumen pemicu dan insentif dalam mempercepat operasionalisasi KPH. Tanpa peran strategis Pusat, gairah operasionalisasi KPH (pasca konsolidasi organisasi) akan meredup yang pada gilirannya mengakibatkan terancamnya kondisi lingkungan dan kehutanan di tingkat tapak.
Peran Pusat yang mendasar antara lain: Pertama, di lingkup internal Kelembagaan Kementerian LHK adalah menyatukan langkah antara Direktorat KPHL pada Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) dan Direktorat KPHP pada Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dalam proses-proses penyiapan kebijakan pendukung dan fasilitasi serta pendekatan kegiatan di lapangan.
Kedua, Kemampuan masing-masing Eselon I di lingkup Kementerian LHK untuk mengoptimalkan peran-peran KPH dalam mengimplementasikan Program Pemerintah Pusat yang menjadi tanggung jawab masing-masing Eselon I, tanpa menyertakan peran KPH dikawatirkan program-program tidak berkelanjutan di tingkat lapangan, karena kurang pedulinya KPH terhadap program tersebut.
Ketiga, Penyiapan insentif kebijakan dalam bentuk peraturan perundangan baik yang terkait langsung dengan operasionalisasi KPH maupun jenis-jenis kebijakan lapangan yang tidak terkait langsung dengan pengelolaan KPH.
Keempat, Bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri menyiapkan kebijakan pengaturan Sumber Daya Manusia (SDM) KPH yang kompeten dalam pengelolaan hutan di KPH, tanpa dorongan kebijakan ini dikawatirkan penempatan SDM oleh Pemerintah Daerah cenderung hanya mempertimbangkan aspek administrasi dan bahkan politis,
Kelima, Dorongan Kementerian LHK untuk pemahaman pihak terkait (Kementerian/Lembaga tingkat Pusat, Swasta, Masyarakat umum, LSM, Perguruan Tinggi dll) bahwa saat ini para pengelola tingkat lapangan yang ada hanya KPH.
Konsolidasi dan kemantapan kelembagaan KPH di seluruh Indonesia pasca pemberlakuan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah terjadi mulai tahun 2018 ini (dengan segala tantangannya) perlu dimanfaatkan momennya oleh semua pihak dan pemangku kepentingan sektor kehutanan untuk mempercepat kembali gerak langkah implementasi pengelolaan hutan di tingkat tapak.
Tabel Rekapitulasi Jumlah Lembaga dan Rincian Unit Wilayah KPHL dan KPHP setiap Provinsi.
Provinsi | Lembaga (ditetapkan via Pergub) | Jumlah Unit Wil KPHL dan KPHP (ditetapkan via SK menteri LHK) |
Aceh | 6 | 6 |
Sumut | 16 | 34 |
Riau | 13 | 32 |
Kepulauan Riau | 6 | 6 |
Sumbar | 10 | 11 |
Jambi | 11 | 17 |
Babel | 8 | 12 |
Sumsel | 14 | 24 |
Bengkulu | 7 | 7 |
Lampung | 14 | 17 |
DIY | 1 | 1 |
Bali | 4 | 4 |
NTB | 11 | 23 |
NTT | 22 | 22 |
Kalbar | 17 | 34 |
Kalteng | 18 | 33 |
Kalsel | 8 | 10 |
Kaltim | 12 | 20 |
Kaltara | 14 | |
Sulsel | 16 | 16 |
Sultra | 25 | 25 |
Sulbar | 12 | 13 |
Sulteng | 13 | 21 |
Gorontalo | 6 | 7 |
Sulut | 6 | 6 |
Malut | 11 | 17 |
Maluku | 11 | 22 |
Papua Barat | 8 | 8* |
Papua | 12 | 14** |
Jumlah | 316 | 475 |
Ket: Data diolah dari Dit. KPHP (Ditjen PHPL), Dit KPHL(Ditjen PDASHL) dan Dit. RPP (Ditjen PKT)Kementerian LHK per Maret tahun 2018.
*Papua Barat Unit Wilayah KPHL/KPHP sesuai SK Menhut sejumlah 22 Unit Wilayah KPHL/KPHP
**Papua Unit Wilayah KPHL/KPHP sesuai SK Menhut sejumlah 56 Unit Wilayah KPHL/KPHP