Pemerintah membuka peluang pendirian pabrik gula baru, terutama di wilayah Timur, meski ketersediaan lahan masih belum jelas. Kondisi ini mengkhawatirkan petani karena tanpa dukungan kebun tebu, pabrik yang ada hanya akan mengolah raw sugar (gula mentah) impor.
Produksi gula dalam negeri yang masih impor, baik gula konsumsi maupun gula industri, memang peluang empuk. Itu sebabnya, investor pun antre untuk membangun pabrik gula baru. Setidaknya, kini ada 8 investor yang sedang mengurus perizinan pabrik gula, 5 pabrik sudah beroperasi dan 4 pabrik dalam tahap pembangunan atau total 17 investor baru.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan), yang juga Kepala Satgas Kemudahan Berusaha, Syukur Iwantoro, investasi 17 pabrik gula itu bernilai Rp41,44 triliun dan akan membutuhkan lahan seluas 604.000 hektare (ha). Jika investasi terealisasi, maka akan ada tambahan produksi gula 2,35 juta ton. Dengan produksi gula konsumsi saat ini ditaksir 2,7 juta ton dari kebutuhan 3 juta ton, maka Indonesia bisa swasembada.
Pertanyaannya, apakah lahan ratusan ribu hektare yang dibutuhkan memang tersedia? Hal ini yang jadi sorotan petani. Pasalnya, petani tebu sudah berpengalaman pahit saat pemerintah memberi kelonggaran impor raw sugar karena pabrik gula baru yang ada mengalami kesulitan pasok tebu dan terjadi idle capacity. “Jangan asal memberikan izin. Hanya pabrik gula yang berbasis tebu saja yang diberikan izinnya. Jangan sampai masuknya pabrik gula itu malah membuat petani tebu mengalami kerugian,” ujar Sekjen Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Nur Khabsin, Jumat (20/7/2018).
Banyak pabrik gula baru tanpa didukung pasok bahan baku tebu memang bisa bermasalah buat petani. Pasalnya, jika mereka tergantung pada pasokan bahan baku gula mentah impor ketimbang tebu, maka petani yang akan terpukul. “Kalau itu yang terjadi, maka tebu petani akan menumpuk dan harga gula juga akan tertekan. Ini tentunya membuat petani tebu mengalami kerugian,” ujar Nur Khabsin.
Syukur sendiri menjamin lahan untuk kebun tebu tersedia, terutama di Lampung, NTT, NTB dan wilayah Timur lainnya. Investor bisa bekerjasama dengan masyarakat atau dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Bahkan dia menyebut Peraturan Menteri LHK Nomor 81 tahun 2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. “Kalau kawasan hutan ada. Siapa yang bilang tidak ada? Sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 81 tahun 2016, ini harus didukung dari berbagai pihak,” ujarnya.
Syukur benar. Data Agro Indonesia mencatat, Kementerian LHK pernah mengidentifikasi ada ketersediaan lahan yang cocok untuk tebu seluas 541.999 ha, di mana 187.061 ha di antaranya adalah kawasan hutan. Bahkan, Perhutani juga sudah menyiapkan lahan seluas 67.000 ha di Jabar-Banten, Jateng dan Jatim sejak tahun 2016. Namun, sayangnya, sampai kini belum ada berita lagi. AI