Rupiah Melemah, Industri Kehutanan Berharap Insentif

Industri kayu lapis

Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS terus mengalami pelemahan, bahkan sudah mencapai Rp14.500 per dolar AS, Jumat (20/7/2018). Meski saat ini belum memberi pengaruh pada bisnis kehutananan, namun jika fenomena ini terus berlanjut, akan memberi dampak negatif dalam jangka panjang. Dukungan dari pemerintah untuk menjaga iklim usaha diperlukan agar bisnis kehutanan tetap memiliki daya saing.

Tren melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS terus berlangsung tahun ini. Pada Jumat (20/7/2018), nilai tukar Rupiah sudah menembus Rp14.500 per dolas AS. Jika dihitung sejak awal tahun, Rupiah sudah melemah 6,54%. Rekor nilai mata uang Garuda terhadap Dolar AS tersebut merupakan yang terendah sejak Oktober 2015.

Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rufi’ie meyakini, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS saat ini tidak akan memberi pengaruh langsung pada kinerja ekspor produk kayu Indonesia. Pasalnya, kinerja ekspor banyak dipengaruhi oleh musim pembelian oleh konsumen.

“Produk kayu itu ada musim dimana pembelian meningkat, ada juga saat menurun,” katanya, di Jakarta, Jumat (20/7/2018).

Dia menjelaskan, saat ini adalah musim panas dimana buyer Amerika Serikat dan Eropa biasanya menghabiskan kocek untuk berlibur. Ini membuat permintaan produk kayu, terutama furnitur, melemah.

Permintaan produk furnitur, ujar Rufi’ie, biasanya akan kembali naik pada musim dingin. Adanya musim pembelian juga terjadi pada produk kayu lainnya. Untuk kayu lapis dan moulding, misalnya, akan banyak dipengaruhi olehmusim pembangunan infrastruktur di Negara konsumen, yang biasanya jatuh pada awal tahun.

“Jadi volatilitas nilai tukar tidak akan berpengaruh langsung,” katanya.

Meski meyakini pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tidak akan berdampak langsung, Rufi’ie menyatakan nilai tukar yang stabil tetap dbutuhkan. “Makanya pemerintah tetap melakukan intervensi,” katanya.

Untuk menahan laju pelemahan Rupiah, Bank Indonesia sudah mengumumkan untuk mempertahankan level suku bunga di 5,25%.

Sebagai catatan, tahun 2016 nilai ekspor produk kayu Indonesia tercatat 9,2 miliar dolar AS. Jumlahnya kemudian meroket menjadi 10,7 miliar dolar AS pada tahun 2017. Untuk tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan nilai ekspor produk kayu bisa mencapai 12 miliar dolar AS. (lihat tabel)

Suku bunga pinjaman

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyatakan menguatnya dolar AS dipastikan akan menambah pengeluaran yang mesti dibayarkan oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan (IUPHHK). Pasalnya, pembayaran Dana Reboisasi (DR) untuk kayu bulat ditetapkan dalam mata uang Dolar AS.

“Menguatnya Dolar AS pasti akan berpengaruh pada pengeluaraan pembayaran DR,” kata dia.

Penetapan pembayaran DR dalam mata uang Dolar AS ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 58 tahun 2007 tentang Perubahan PP No 35 tahun 2002 tentang DR. Pertimbangan pembayaran DR dalam mata uang Dolar AS pada saat itu adalah dibukanya keran ekspor log.

Berdasarkan PP No 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis  Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, tarif DR untuk log dengan diameter di atas 49 cm ditetapkan bervariasi tergantung jenis dan region.

Misalnya, untuk kayu jenis komersial 1 seperti meranti di Sumatera dan Sulawesi, tarif ditetapkan sebesar 14,5 dolar AS per m3. Sementara untuk kayu jenis rimba campuran tarif DR ditetapkan 12,5 dolar AS per m3.

Untuk region Kalimantan dan Maluku, tarif DR kayu jenis komersial 1 ditetapkan sebesar 16,5 dolar AS. Sementara untuk jenis rimba campuran, tarif DR ditetapkan 13,5 dolar AS per m3. Untuk region Papua dan Nusa Tenggara, tarif Dr ditetapkan 13,5 dolar AS per m3 untuk kayu jenis komersial 1 dan  11 dolar AS per m3 untuk jenis kayu rimba campuran.

Sementara untuk jenis kayu lainnya dan jenis kayu indah, tarif DR ditetapkan bervariasi antara 16-20 dolar AS per m3, tergantung jenis.

Sementara kayu bulat kecil ditetapkan sebesar 4 dolar AS per m3. Untuk kayu bulat sedang yang memiliki diameter 30-49 cm,  tarif yang ditetapkan berdasarkan beleid tersebut bervariasi berkisar 10,5-14 dolar AS per m3 bergantung jenis dan region.

Purwadi menyatakan, meski akan ada tambahan dana untuk membayar DR akibat melemahnya Rupiah, namun hal itu tidak akan berdampak langsung bagi pemegang konsesi pengusahaan hutan. Pasalnya, kewajiban pembayaran DR biasanya dilekatkan pada harga log yang dijual kepada industri. “Jadi kalau penguatan dolar AS, harga log biasanya akan ikut naik,” katanya.

Dia memastikan melemahnya Rupiah terhadap Dolar AS tidak akan berpengaruh pada pelaku usaha pengusahaan hutan pada jangka pendek. Pengaruh pelemahan Rupiah baru akan terjadi jika fenomena ini terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.

Pasalnya, melemahnya Rupiah biasanya akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga pinjaman perbankan. Padahal modal kerja para pemegang IUPHHK banyak bergantung pada pinjaman perbankan. Misalnya untuk pembelian alat-alat berat.

“Kalau suku bunga naik, pasti saat jatuh tempo, akan ada kenaikan kewajiban pembayaran,” katanya.

Purwadi menyayangkan fenomena yang saat ini terjadi. Pasalnya, bisnis IUPHHK saat ini baru mulai bangkit lagi seiring dengan membaiknya harga log. Ini ditandai dengan mulai beroperasinya beberapa IUPHHK yang sempat tidak aktif. Namun pelemahan nilai tukar Rupiah, bisa menggangu gairah yang sedang tumbuh itu. Untuk itu, Purwadi berharap pemerintah bisa memberikan jaminan bagi perbaikan iklim usaha sehingga daya saing usaha kehutanan bisa dipertahankan.

Buyer tekan harga

Di hilir, melemahnya Rupiah terhadap Dolar AS juga diyakini tidak akan berpengaruh banyak, termasuk soal peningkatan keuntungan yang diterima dari aktivitas ekspor. Pasalnya, buyer tidak bodoh untuk mengetahui nilai tukar Rupiah yang melemah sehingga menekan harga pembelian.

“Kalau Dolar Naik, buyer tidak otomatis mau menerima kenaikan harga. Mereka bertahan karena tahu, produsen tanah air masih bisa mendapat selisih dari harga jual,” kata Ketua Asosiasi Industri Kayu Olahan dan Kayu Gergajian Indonesia (ISWA) Soewarni.

Meski tidak berpengaruh dalam jangka pendek, Soewarni memastikan dalam jangka panjang pasti akan memberi pengaruh bagi pelaku industri pengolahan kayu. Untuk itu dia kembali menekankan agar pemerintah bisa memberi bantuan supaya produk kayu di Indonesia mengalami peningkatan daya saing. Caranya dengan bersunguh-sungguh menghapus eknomi biaya tinggi.

Menurut Soewarni, komitmen untuk membuat iklim usaha yang kondusif sejatinya sudah ada di pemerintah pusat di bawah kendali Presiden Joko Widodo. Sayangnya, komitmen itu seringkali mentok di level pemerintah daerah.

Contoh saja, kebijakan untuk menghapus persyaratan izin gangguan (HO) dan SIUP dalam pengurusan sertifikasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Namun kenyataanya di daerah hal itu tidak dilaksanakan karena adanya peraturan daerah yang tetap mewajibkannya. “Presiden memang pangkas perizinan, tapi di bawah kurang jalan,” kata Soewarni.

Soewarni juga berharap pemerintah bisa mengundang investor lebih banyak ke tanah air she ingga pengolahan bahan baku kayu menjadi produk akhir bisa dilakukan sepenuhnya di tanah air. Untuk itu proses perizinan harus dibuat sederhana dan tak berbelit-belit.

Dia menyatakan, sudah ada langkah bagus dari pemerintah dengan menerbitkan kebijakan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Eleketronik (online single submission/OSS). Namun praktiknya tentu masih butuh pembuktian. “Kita tahu ada perizinan satu pintu. Memang satu pintu, tapi mejanya banyak,” katanya. Sugiharto

Ekspor produk kayu Indonesia

No. HS Uraian V-legal Diterbitkan Berat (Ton) FOB (.000 USD)
48 Paper 33.650 2.513.827,53 2.219.406,16
47 Pulp 2.419 2.453.484,84 1.495.833,34
44 Panel 29.404 1.278.961,07 1.461.763,17
94 Furniture 68.198 222.335,70 1.016.137,17
44 Wood Working 17.545 962.910,11 726.675,29

Sumber: SILK, KLHK (21/7/2018).