Upaya pemerintah untuk menjalankan program reforma agraria mendapat respons positif dari anggota Komisi IV DPR Darori Wonodipuro. Meski demikian dia mengingatkan, reforma agaria tidak menerabas peraturan perundang-undangan yang bisa berujung penjara.
Darori menyatakan akan lebih baik jika hak yang diberikan pada masyarakat atas tanah reforma agraria adalah hak pakai. Hak ini bisa dimanfaatkan secara turun menurun, namun tidak bisa diperjualbelikan. “Bukan hak milik. Kalau hak milik cenderung untuk dijual,” katanya, Jumat (21/4/2017).
Dia mengungkapkan banyak contoh bagaimana transmigran menjual hak milik lahannya, untuk kemudian kembali ke kampung halamannya. Ada juga hak ulayat yang akhirnya dijual sehingga anak-cucu malah menjadi transmigran di kampung sendiri. “Pengawasan pun harus ketat, jangan sampai salah sasaran,” katanya.
Darori juga mengingatkan, agar kawasan hutan yang dilepas adalah yang tidak bervegetasi dan hanya pada kawasan hutan yang memang dicadangkan untuk dikonversi (HPK).
“Proses reforma agraria harus tetap menghargai UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan jadi pelepasannya harus sesuai prosedur,” katanya.
Hal lain yang juga diingatkan adalah tetap mempertahankan luas hutan minimal 30% dalam satu Daerah Aliran Sungai (DAS). Ini untuk memastikan hutan bisa menjalankan fungsinya. Sementara lahan-lahan yang diutamakan adalah areal bekas konsesi HPH atau HTI terlantar.
Darori menekankan agar kebun yang dibuka tidak sesuai prosedur jangan masuk sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). Jika dilakukan hal itu akan melanggar UU No 18 tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan. Pemutihan pada kebun yang dibuka tidak sesuai prosedur bisa dipidana 20 tahun dengan denda Rp50 miliar. Sementara pejabatnya terancam penjara 15 tahun dan denda Rp10 miliar. “Berisiko ketika nanti sudah tidak menjabat. Harus hati-hati,” katanya.
Sugiharto
Baca juga:
KLHK Siap Lepas 4,8 Juta Hektare Hutan Untuk Reforma Agraria, Ini Rinciannya