Brexit dan Target 5 Miliar Dolar AS

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) harus diwaspadai secara cermat oleh pelaku usaha di Indonesia mengingat kebijakan Inggris dalam kegiatan perdagangan tidak lagi mengacu pada aturan yang ditetapkan Uni Eropa.

“Kita harus perhatikan secara cermat kebijakan yang akan dikeluarkan Inggris setelah negara itu keluar dari UE,” kata Abdul Sobur, pengurus Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurutnya, Inggris merupakan pasar besar bagi ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia. Terlebih negara tersebut juga menjadi pemimpin negara-negara persemakmuran yang terdiri atas 50 negara.

Sobur mengatakan, dengan pangsa pasar yang cukup besar itu, sudah selayaknya Indonesia mewaspadai perkembangan kebijakan yang akan dilakukan pemerintah Inggris pasca voting Brexit.

Inggris selama ini dikenal sebagai motor bagi Uni Eropa. Hal itu antara lain tercermin dari upaya Inggris mendorong Uni Eropa untuk mensyaratkan aturan SVLK terhadap produk kayu dan turunannya asal Indonesia. Negeri ini juga telah menandatangani aturan tersebut dan telah menerapkan kewajiban SVLK terhadap produk mebel dan kerajinan yang akan diekspor ke Uni Eropa.

“Karena kita telah menandatangani aturan itu, maka pemerintah harus mendorong negara-negara Uni Eropa untuk memberikan kemudahan kepada produk mebel dan kerajinan Indonesia,” ujarnya.

Sementara dengan Inggris, untuk mengantisipasi kebijakan yang diterapkan pemerintah London, Sobur meminta pemerintah dan pengusaha meningkatkan daya saing produknya. “Kita belum tahu kebijakan yang akan diambil Inggris. Karena itu, jalan satu-satunya saat ini adalah meningkatkan daya saing produk mebel dan kerajinan kita,” ujarnya.

Memang, ada keyakinan kalau Inggris tidak akan menerapkan aturan yang ketat bagi impor produk mebel dan kerajinan mengingat Inggris dan negara-negara Persemakmuran bukanlah produsen utama produk mebel dan kerajinan.

Jika Inggris memberikan kelonggaran terhadap impor produk mebel dan kerajinan, maka Indonesia tentunya akan bersaing keras dengan negara-negara produsen utama mebel dan kerajinan lainnya, terutama Tiongkok dan Vietnam.

“Nah, di sinilah kita perlu meningkatkan daya saing produk mebel dan kerajinan agar produk kita tidak tergusur oleh produk serupa dari negara-negara pesaing kita,” ujar Sobur.

Walaupun memiliki sumber bahan baku yang melimpah, ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia tidak bisa berjalan dengan baik. Selama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, ekspor mebel dan kerajinan Indonesia tidak pernah bergeser di angka 1,7-2 miliar dolar AS. Selalu tertinggal jauh dari Tiongkok dan Vietnam. Bahkan, nilai ekspor Indonesia juga kalah dengan Myanmar yang hampir mencapai tiga kali lipat dari Indonesia.

Padahal, pemerintah dan asosiasi yang menaungi pengusaha mebel dan kerajinan di negeri ini telah menetapkan target  pencapaian ekspor 5 miliar dolar AS pada tahun 2019 nanti.

Untuk mencapai target tersebut di tengah adanya pergolakan eksternal pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa, Sobur menilai hanya peningkatan daya sainglah yang bisa membuat target ekspor produk mebel dan kerajinan Indonesia bisa mencapai target yang ditetapkan. “Cuma daya saing yang bisa kita andalkan untuk menghadapi perkembangan yang terjadi di dunia internasional,” paparnya.

IE-CEPA

Sementara itu  Menteri Perdagangan Thomas Lembong memastikan perundingan kerjasama ekonomi Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia-Europen Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) akan segera dimulai. Hal tersebut setelah adanya kejelasan soal keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit).

Thomas mengatakan, dirinya telah bertemu dengan Komisioner Perdagangan Uni Eropa Cecilia Malmstrom pada  G20 Trade Ministers Meeting (TMM) di Shanghai, 9-10 Juli 2016 lalu‎.

“Setelah mendapat clearance dari London, Komisioner Malmstrom menyampaikan kepada saya bahwa negosiasi formal IE-CEPA dapat dimulai secepatnya,” paparnya, akhir pekan lalu.

Thomas berharap dalam pertemuan tersebut para negara anggota Uni Eropa dapat mendukung pembahasan ekonomi digital dan e-commerce pada pertemuan G20 tahun depan di bawah Presidensi Jerman. Selain itu, Thomas juga mengajak Uni Eropa untuk bekerja sama dalam pengelolaan sampah dan daur ulang plastik di Indonesia.

Menurut Mendag, para menteri perdagangan negara G-20 sepakat meningkatkan perdagangan global meski tengah menghadapi kendala lambatnya pemulihan ekonomi global. Dalam salah satu pernyataan, negara-negara G20 akan memberikan stimulus berupa 7 langkah aksi konkret yang tertuang dalam G20 Strategy for Global Trade Growth (SGTG).

“Para menteri yang membidangi perdagangan di negara-negara anggota G-20 setuju untuk bekerja lebih keras lagi agar dapat mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan,” paparnya.

Menurutnya, ketujuh langkah tersebut adalah mengurangi biaya perdagangan, memanfaatkan koherensi kebijakan perdagangan dan investasi, mendorong perdagangan jasa, meningkatkan pembiayaan perdagangan, mengembangkan trade outlook index,mendukung pengembangan e-commerce, serta menangani perdagangan dan pembangunan.

Para menteri menyampaikan harapan agar ke depan tidak ada lagi langkah pembatasan perdagangan setidaknya hingga 2018. Selain itu, menargetkan seluruh negara anggota G20 untuk mengurangi biaya perdagangan yang salah satunya melalui komitmen penyelesaian proses ratifikasi Trade Facilitation Agreement (TFA) WTO pada akhir 2016.

Dalam hal ini, Mendag memberikan contoh, langkah yang telah dilakukan Indonesia sudah tepat bagi peningkatan pertumbuhan perdagangan dan investasi, yakni melalui paket reformasi kebijakan ekonomi yang telah berlangsung 12 kali dan mulai berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

G20 juga akan serius meningkatkan sinergi kebijakan perdagangan dan investasi global dengan menyepakati G20 Guiding Principles for Global Investment Policy Making. Hal ini sebagai sumbangan historis panduan non-binding tata aturan investasi yang pertama kali disepakati di tingkat internasional.

“Hal ini, diharapkan dapat memberikan kenyamanan kepada investor maupun regulator, serta dapat mendorong koherensi kebijakan perdagangan dan investasi di tingkat nasional, regional, maupun internasional,” tandas dia.

Mendag juga memberikan perhatian penuh terhadap risiko dari pergolakan eksternal yang meningkat menjelang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit). “Sentimen Brexit bisa mempengaruhi kondisi perekonomian global, mengingat Inggris adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia,” katanya.

Menurutnya, dampak tidak langsung Brexit lebih menimbulkan ketidakpastian dibandingkan dengan dampak langsungnya, meskipun Inggris bukanlah mitra dagang utama Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, ekspor Indonesia ke Inggris tercatat sebesar 364 juta dolar AS pada kuartal I/2016 dan menduduki peringkat ke-21 dari seluruh mitra ekspor terbesar Indonesia. B Wibowo

Dokumen V-Legal Setara Lisensi FLEGT

Dokumen V-Legal Indonesia memang sudah dipastikan akan disetarakan sebagai lisensi FLEGT. Namun, butuh setidaknya sampai akhir tahun ini sampai hal itu bisa direalisasikan.

Demikian salah satu hasil pertemuan Joint Implementation Committee Indonesia-Uni Eropa ke 4, 18 Mei 2016. Joint Implementation Committee (JIC) Indonesia-UE, adalah sebuah forum yang dibentuk untuk memonitor pelaksanaan Perjanjian VPA. Pertemuan di Brussels ini merupakan pertemuan ke empat, dengan tujuan menindaklanjuti Pernyataan Bersama oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden UE Jean Claude Juncker bahwa Indonesia telah memenuhi semua persyaratan untuk memperoleh Lisensi FLEGT.

Pertemuan JIC menilai semua kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam memenuhi semua Rencana Aksi Perjanjian VPA sekaligus membahas prosedur dan tahapan yang harus dilalui sebelum pemberlakuan Lisensi FLEGT. JIC yakin bahwa Lisensi FLEGT untuk Indonesia akan dapat diberlakukan sebelum akhir tahun ini dan akan menetapkan tanggal pemberlakuan Lisensi FLEGT pada pertemuan yang ke 5. Meski demikian, Indonesia dan Uni Eropa telah menyepakati agar produk kayu Indonesia yang telah dilengkapi dokumen V Legal tetap bisa lebih mudah melewati proses uji tuntas (due diligence) untuk masuk pasar Eropa.

Sebelum pemberlakuan Lisensi FLEGT, UE harus melakukan amandemen terhadap regulasinya untuk memasukkan semua produk kayu yang tercakup dalam Perjanjian VPA dan juga mengikutsertakan informasi tentang otoritas Lisensi FLEGT Indonesia. Setelah Regulasi tersebut diadopsi oleh Komisi Eropa (EC), maka Parlemen Eropa serta Dewan Menteri UE akan melakukan deliberasi selama maksimum 2 bulan untuk mereview regulasi tersebut sebelum pemberlakuannya.

Setelah Regulasi diberlakukan, maka akan operasional di wilayah UE setelah 90 hari. Selama periode sebelum Lisensi FLEGT operasional, Otoritas Berwenang dan operator kayu di 28 negara anggota UE akan bersiap untuk menerima ekspor produk kayu berlisensi FLEGT dari Indonesia. Otoritas Berwenang bertanggungjawab untuk menerapkan Regulasi Kayu UE (EU Timber Regulation – EUTR) yang melarang operator kayu di Eropa untuk mengedarkan produk kayu ilegal di pasar Eropa.

JIC juga membahas ekspor produk kayu Indonesia selama periode transisi sebelum pemberlakuan Lisensi FLEGT dan peran Dokumen V-Legal SVLK dalam memenuhi persyaratan Regulasi Kayu UE selama periode transisi tersebut.

UE sepakat untuk menginformasikan kepada Otoritas Berwenang di negara anggota UE bahwa Indonesia telah memenuhi semua persyaratan utama Perjanjian VPA dan akan menjadi negara pertama yang menerima Lisensi FLEGT.  Ini berarti Otoritas Berwenang dapat mempertimbangkan kemajuan Indonesia dalam masa transisi selama berbagai pihak mengambil langkah-langkah terakhir sebelum pemberlakuan Lisensi FLEGT.

JIC membahas Rencana Aksi Jangka Panjang yang akan menjamin perbaikan terus menerus dalam sistem perdagangan kayu legal dari Indonesia. Sugiharto