“Momen besar ini harus jadi perhatian publik,” kata Sandra McGuire, Team Leader Communication untuk EU FLEGT and REDD Facilities, European Forest Institute (EFI). Sandra dikontrak pemerintah Inggris merancang strategi komunikasi untuk mendukung implementasi perjanjian kemitraan sukarela Forest Law Enforcement Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT) — termasuk yang dijalin antara Uni Eropa dengan Indonesia. Perjanjian kedua pihak itu menjadi yang terdepan di antara negosiasi antara Uni Eropa dengan negara-negara lainnya.
Indonesia bahkan bersiap untuk mengapalkan produk kayu yang dilengkapi lisensi FLEGT ke Eropa sebelum tahun ini berakhir, dengan Inggris menjadi negara tujuan. Momen inilah yang dirancang Sandra agar bisa diliput besar-besaran oleh media dan menyedot perhatian publik Eropa, bahkan Dunia.
Dalam bahasa Sandra, dalam pertemuan yang digelar dengan sejumlah pemangku kepentingan di Indonesia, Kamis (4/2/2016), kedatangan produk kayu Indonesia yang dilengkapi lisensi FLEGT harus menjadi “Big Bang” terkait isu pencegahan perdagangan kayu ilegal.
Namun, Sandra sepertinya perlu merancang ulang persiapan yang sudah disiapkannya. Langkah politis warga Inggris yang memilih untuk memutuskan keluar dari Uni Eropa dan kemudian populer sebagai Brexit (British Exit) adalah alasannya. Dalam referendum yang hasilnya diumumkan 24 Juni 2016 itu, sebanyak 52% warga Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
Indonesia Co-Director Multistakeholder Forestry Programme (MFP) III, Achmad Edy Nugroho mengungkapkan, konsekuensi dari Brexit adalah kemungkinan penambahan pelabuhan negara yang akan menjadi tujuan pertama kayu berlisensi FLEGT dari Indonesia. Ini untuk memberi penegasan bahwa lisensi FLEGT diterima di Uni Eropa tanpa pemeriksaan. “Kemungkinan Belgia, yang juga merupakan markas Uni Eropa,” kata dia, pekan lalu.
Selain soal pelabuhan negara tujuan, Edy menyatakan, Brexit belum perlu disikapi berlebihan, meski harus tetap dicermati. Apalagi, ada proses setidaknya dua tahun sampai Inggris akhirnya benar-benar keluar dari UE. “Sampai proses administrasi tuntas, seluruh hukum dan perjanjian dalam payung Uni Eropa tetap berlaku bagi Inggris,” katanya.
MFP merupakan lembaga kerjasama Indonesia-Inggris yang banyak mendorong isu FLEGT dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Seperti sudah diketahui, setelah meneken perjanjian FLEGT tahun 2013, Indonesia-Uni Eropa akhirnya menuntaskan negosiasi perjanjian. Uni Eropa pun akhirnya menyetujui untuk mengakui dokumen V-Legal berbasis SVLK sebagai lisensi FLEGT sehingga bisa masuk pasar UE tanpa prosedur uji tuntas (due dilligence) seperti diwajibkan dalam regulasi importasi kayu (EUTR). Persetujuan Uni Eropa itu diumumkan setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Komisi UE dan Jean-Claude Juncker, dan Ketua Dewan UE Donald Tusk, Kamis (21/4/2016) di markas UE Brussel, Belgia.
Tetap eksis
Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Putera Parthama menyatakan, Brexit seharusnya tidak berpengaruh terhadap perjanjian yang sudah disepakati antara Indonesia dengan Uni Eropa. Meski Inggris, negara yang banyak mendukung Indonesia dalam negosiasi FLEGT pada akhirnya mundur dari Uni Eropa, namun Uni Eropa tetap eksis. “Regulasi Uni Eropa mengatur bagaimana prosedur anggotanya yang keluar, terkait dengan agreement dengan negara ketiga. Dan ini akan memakan waktu,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Putera, sampai posisi tersebut lebih jelas, maka Indonesia akan fokus pada perjanjian yang sudah diteken dengan Uni Eropa. Dia memastikan, Uni Eropa akan tetap mengakui perjanjian dengan Indonesia, dan tidak akan mengubah posisinya. Ini berarti produk kayu Indonesia tetap akan mendapat keistimewaan untuk bisa masuk pasar Uni Eropa tanpa pemeriksaan.
Bilateral
Jika perjanjian dengan Uni Eropa dipastikan tetap aman, lantas bagaimana nantinya jika Inggris sudah dipastikan keluar dari UE? Menurut penasihat senior MFP Agus Sarsito, yang juga Lead Negosiator untuk perjanjian FLEGT, pasca lepas dari Uni Eropa, Inggris memang tidak akan lagi terikat dengan EUTR. Meski demikian, Agus yakin, dengan posisi Inggris yang selama ini mendukung langkah-langkah untuk mempromosikan perdagangan kayu legal, maka posisi negara itu tidak akan berubah.
Meski demikian, katanya, perjanjian bilateral dengan pemerintah Inggris perlu dibangun. Ini untuk memastikan produk kayu Indonesia tetap bisa mendapat kemudahan masuk ke negara itu. Bila perlu Inggris bisa langsung mengakui V-Legal Indonesia, sehingga produk kayu Indonesia bisa masuk ke Inggris lewat jalur hijau.
“Seperti halnya dengan Australia, perjanjian bilateral dengan Inggris diharapkan bisa memberi pengakuan untuk dokumen V-Legal,” katanya.
Pasar Inggris memang perlu diamankan. Pasalnya, Inggris sejatinya adalah pasar utama produk kayu Indonesia di Eropa. Inggris juga merupakan pasar utama produk kayu Indonesia di Eropa.
Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas kayu (SILK), tahun 2015 Inggris masuk dalam 10 besar negara tujuan untuk nilai ekspor. Inggris berada di posisi 10 dengan nilai ekspor 226.787,15 dolar AS. Total ekspor produk kayu dengan V-Legal pada tahun 2015 adalah 9,8 miliar dolar AS.
Untuk tahun ini, per 15 Juli, dari total nilai ekspor 6,1 miliar dolar AS, pasar Inggris menyerap produk kayu Indonesia senilai 287.207,71 dolar AS, dan berada di posisi ke delapan dari 10 besar. Sugiharto
SVLK Bukan Atas Permintaan Negara Lain
Gonjang-ganjing Brexit bisa memunculkan polemik soal SVLK. Pasalnya, Inggris yang merupakan salah satu pendukung utama dalam pembangunan SVLK dan negosiasi perjanjian FLEGT, akhirnya malah keluar dari UE.
Namun, Agus Sarsito, penasihat senior MFP yang juga Lead Negosiator untuk perjanjian FLEGT menegaskan, sudah tidak pada tempatnya lagi menggugat SVLK. Dia menegaskan, SVLK dirancang untuk memenuhi komitmen Indonesia untuk memberantas pembalakan dan perdagangan kayu liar. “Jadi, SVLK dibangun karena Indonesia membutuhkannya. Bukan atas desakan apalagi pesanan negara lain,” katanya.
Dalam proses pembangunan SVLK, memang banyak negara yang memberi dukungan. Namun, Agus memastikan bagaimana sistem yang terbangun dan bagaimana dia berjalan, semuanya murni atas inisiatif bangsa Indonesia.
Dijelaskannya, SVLK dibangun multipihak, melibatkan pemerintah, pelaku usaha, akademisi, LSM dan masyarakat. Implementasinya pun tetap multipihak. Ini menjadikan SVLK transparan dan akuntabel, dan menjadi keunggulan Indonesia di pasar global.
Agus menyatakan, atas keunikan itu, SVLK menjadi rujukan untuk pengembangan sertifikasi kelestarian. Termasuk yang kini sedang dikembangkan untuk sertifikasi kelapa sawit lestari.
Dibangun sejak tahun 2007, SVLK terus megalami penyempurnaan. Saat ini SVLK berjalan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.30 tahun 2016 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 25 tahun 2016.
Berdasarkan ketentuan itu, SVLK bersifat mandatori, berarti wajib bagi seluruh pelaku usaha berbasis kayu. Untuk mendapat sertifikat SVLK, perusahaan kayu memang harus melewati proses audit yang memakan biaya. Namun, pemerintah sudah memfasilitasi para pelaku industri kecil dan menengah untuk bisa mendapatkan sertifikat SVLK. Sugiharto