Segudang Tudingan Miring IPOP

Syahdan, sejumlah bos perusahaan perkebunan sawit raksasa bertandang ke Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, di kantornya awal Agustus lalu. Salah satunya adalah Daud Dharsono, Presiden Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk, yang merupakan bagian dari Golden Agri Resources (GAR) — imperium bisnis kelompok Sinar Mas di kebun sawit dan olahannya.

Selain Daud, hadir juga pentolan dari Musim Mas, Asian Agri, Cargill, Wilmar, dan perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Kelima perusahaan tersebut adalah para pemain utama di bisnis perkebunan sawit dan turunannya.

Ada apa? Rupanya, mereka berkeluh kesah sulitnya memenuhi janji yang pernah mereka buat sendiri untuk membebaskan rantai pasokan (supply chain) dari deforestasi — yang dituangkan dalam Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). “Mereka meminta agar dicarikan jalan keluar,” tutur San Afri, di sela diskusi “IPOP dari Perspektif Lingkungan Hidup dan Kehutanan” di Jakarta, Jumat (28/8/2015).

IPOP diteken GAR, Cargill, Wilmar, Asian Agri, dan Kadin pada 24 September 2014. Belakangan, Musim Mas ikut meneken IPOP, Maret 2015. Kabarnya, raksasa lainnya, Astra Agro Lestari (AALI) juga bakal meneken janji tersebut dalam waktu dekat. Yang menarik, IPOP diteken di sela Konferensi Tingkat Tinggi PBB untuk perubahan iklim di New York. Hadir langsung menyaksikan saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Chairul Tanjung.

IPOP sesungguhnya manis sebagai sebuah janji. Sebab, raksasa-raksasa tersebut menyatakan akan membebaskan pasokannya dari deforestasi. Ini mencakup seluruh operasionalisasi perusahaan dan anak usaha di seluruh dunia. Mulai dari minyak sawit dan produk turunannya yang diperdagangkan sampai pada semua pemasok pihak ketiga. Metode High Carbon Stock (HCS) dijadikan indikator bebas deforestasi.

Asal tahu saja, raksasa-raksasa sawit ini adalah penguasa bisnis sawit di negeri ini, mulai dari kebun, penyulingan hingga perdagangannya. Menurut Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), raksasa-raksasa sawit tersebut menampung hampir 90% seluruh Tandan Buah Segar (TBS) dan dan minyak sawit mentah (CPO) Indonesia, termasuk  di dalamnya TBS dari 4,5 juta hektare (ha) kebun sawit yang dikelola rakyat. Dengan prinsip IPOP yang mencakup seluruh  mata rantai perusahaan, maka mau tidak mau janji tersebut berdampak sistemik pada seluruh industri minyak sawit nasional.

Hambat pertumbuhan

Ini yang jadi perhatian Kementerian LHK. Meski janji untuk bebas deforestasi sangat positif dari sisi perlindungan hutan, namun hal itu bisa menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat. Pasalnya, dengan metode HCS yang diterapkan IPOP, maka tak boleh lagi ada pembukaan sawit pada lahan yang memiliki stok karbon minimal 30 ton/ha. Ini mencakup lahan dengan tutupan vegetasi hutan sekunder dan belukar tua.

Padahal, lahan yang banyak dimanfaatkan oleh rakyat untuk menanam sawit umumnya memiliki tutupan hutan pada kategori yang dilarang menurut HCS tersebut. Demikian juga pada kawasan hutan produksi konversi yang sudah dilepas Kementerian LHK untuk perkebunan. “Jadi, praktis pengembang kebun sawit baru terhenti, dan banyak daerah yang bakal zero growth. Apakah ini yang disebut pro rakyat?” kata San Afri yang sejak masih menjadi peneliti kerap berkutat pada isu-isu kerakyatan.

Contoh di Papua. Terdapat 4,1 juta ha kawasan hutan yang bersatus Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) — yang memang dicadangkan dilepas mengantisipasi pembangunan, termasuk perkebunan sawit. Sebanyak 2,9 juta ha atau 71,7% di antaranya memiliki tutupan vegetasi yang didominasi hutan sekunder.

Demikian juga di Papua Barat. Dari 1,4 juta ha kawasan hutan yang bersatus HPK, sebanyak 934.196,69 ha atau 62,34% di antaranya memiliki tutupan vegetasi yang didominasi hutan sekunder.

Langkahi pemerintah

Jadi, jangan heran jika kemudian muncul dugaan ada udang di balik batu dari IPOP. Selain mencegah tumbuhnya industri sawit nasional, IPOP juga dipandang melanggengkan penguasaan bisnis sawit oleh para raksasa. Pendeknya, IPOP malah memunculkan wajah kartel berkedok perlindungan hutan. “Ini menghalangi masuknya pemain baru,” kata San Afri.

Terbukti, beberapa perusahaan dibekukan perdagangannya karena dinilai melanggar IPOP. Sebut saja PT VMA (kelompok Eagle High Plantation) dengan luas areal kebun 20.325 ha dan PT PMP (grup ANJ) dengan luas areal 23.424 ha yang dinilai membuka hutan sekunder di Papua Barat. Padahal dua perusahaan itu mendapat izin pelepasan kawasan hutan pada tahun 2013 dan 2012, jauh sebelum IPOP diteken.

Sejumlah perusahaan yang sebenarnya anak usaha dari raksasa-raksasa IPOP pun sebenarnya merasakan dampaknya. PT SC seluas 18.860 ha dari grup Wilmar dihentikan pembukaan hutan sekundernya. Bahkan, PT SIP dengan luas lahan 20.143 ha — yang merupakan anak usaha GAR — harus berhenti total karena mayoritas lahannya adalah hutan sekunder.

Soal perlindungan hutan, Indonesia sejatinya sudah menerapkan rambu-rambu yang ketat melalui peraturan perundang-undangan yang sah untuk mencegah deforestasi. Indonesia bahkan, kata San Afri, dengan sukarela menerapkan moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut. Cakupannya mencapai 65 juta ha.

Bukan itu saja. Pada pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, Kementerian LHK juga mewajibkan dilakukannya kajian hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value) untuk mempertahankan hutan yang memiliki fungsi konservasi. Selain itu, pengembang kebun sawit juga diminta untuk menerapkan pola mosaik sehingga bisa menjadi koridor satwa.

“Untuk pengembangan kebun kelapa sawit, Indonesia juga punya sertifikat pengelolaan kebun sawit lestari, ISPO. Harusnya kita dukung supaya kebun rakyat bisa memenuhinya,” kata San Afri.

Atas dasar itu, San Afri pun memandang ada kewenangan pemerintahan yang dilangkahi oleh IPOP, yang berdampak pada ekonomi rakyat. Yang berbahaya, ada wilayah bangsa berdaulat yang diatur oleh sekelompok swasta.

“Ini adalah pelanggaran undang-undang dasar bahwa pemerintah harus menyejahterakan rakyatnya. Adalah tidak berdaulat jika kewenangan negara diatur oleh swasta,” kata San Afri. Sugiharto

Siapa yang Mengatur IPOP?

Meski dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menko Perekonomian Chairul Tanjung, sesungguhnya penandatanganan IPOP tidak sepengetahuan pemerintah.

Deputi Menko Perekonomian bidang Pangan dan Pertanian, Musdhalifah Machmud menuturkan bagaimana proses sebelum IPOP diteken. Menurut dia, sebelum delegasi Indonesia berangkat ke KTT Perubahan Iklim di New York Desember 2014, sempat ada sejumlah wacana terkait pengelolaan kelapa sawit di Indonesia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat yang difasilitasi KADIN Indonesia. Para pelaku awalnya keberatan. Namun, ketika terkait perdagangan, maka mereka sepertinya kesulitan untuk menolak. “Saat itu, tidak mengemuka soal adanya penandatanganan janji atau apapun,” katanya.

Sampai sepekan sebelum keberangkatan, bahkan pada saat keberangkatan, informasi soal penandatangan janji juga tidak ada. “Jadi, sebenarnya agenda penandatangan IPOP tidak ada. Seperti ada sesuatu yang diatur yang sebenarnya belum pas, tapi diteken di depan presiden dan menko,” kata dia.

Langkah mendorong IPOP kemudian berlanjut. Kadin beberapa kali mencoba memengaruhi kebijakan pengelolaan kebun sawit untuk penerapan IPOP melalui Kantor Menko Perekonomian. Namun, Kantor Menko Perekonomian menegaskan, Indonesia secara resmi memiliki ketentuan pengelolaan kebun sawit lestari yang diatur lewat ISPO. “ISPO ini adalah sertifikat perkebunan sawit yang dikelola berkelanjutan,” katanya. Sugiharto