Digoyang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, manajemen IPOP menjelaskan bahwa janji tersebut merupakan inisiatif dan komitmen nyata sektor swasta. Komitmen tersebut diharapkan dapat menularkan semangat dan prinsip berkelanjutan kepada para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit. Dukungan dari pemerintah terhadap IPOP akan berdampak besar terhadap upaya transformasi kelapa sawit menuju keberlanjutan di masa mendatang.
“Pelaksanaan IPOP sesungguhnya menitikberatkan pada peningkatan kualitas daya saing sektor kelapa sawit Indonesia yang akan berkontribusi terhadap pencapaian target pembangunan Indonesia,” kata Direktur Eksekutif IPOP, Nurdiana Darus di Jakarta, Jumat (28/8/2015).
Dia menjelaskan, komitmen berkelanjutan sulit dihindari karena perkembangan konsumen dan pasar saat ini mengarah pada perspektif ini. Dari total sekitar 30 juta ton produksi CPO Indonesia, sebanyak 22 juta ton diekspor ke luar negeri. Selain itu, saat ini hampir seluruh produk konsumen yang digunakan di Indonesia memiliki kebijakan global sourcing yang mengarah pada komitmen berkelanjutan.
Menurut Nurdiana, sektor swasta memahami fenomena tersebut. Sektor swasta menyadari bahwa keseluruhan mata rantai kelapa sawit tidak akan bertahan dalam jangka panjang, apabila tidak dilakukan transformasi terhadap sektor ini. “Jika reputasi kelapa sawit Indonesia buruk, maka tidak akan ada permintaan dari pasar karena masyarakat tidak ingin menggunakan berbagai produk olahan kepala sawit dari praktik yang tidak bertanggungjawab,” katanya.
Ini artinya, produksi kelapa sawit Indonesia akan tidak terpakai. Padahal, 42% kelapa sawit Indonesia adalah milik para petani. Ujungnya, petani juga yang dirugikan dan kehilangan mata pencaharian.
Negara juga akan dirugikan karena Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Di lain sisi, kebutuhan masyarakat terhadap minyak sawit sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Nurdiana mengakui, masih ada kendala seperti masih kurangnya soliditas dari seluruh aktor dunia kelapa sawit yang mendorong kelestarian dan masih bekerja dengan standar keberlanjutan masing-masing. Namun, diperlukan komitmen dan aksi nyata untuk mendorong upaya transformasi ini.
“Hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar kita adalah aset Indonesia yang terkait erat dengan berbagai target yang dimiliki negara, termasuk reduksi emisi. Pelaksanaan IPOP dimaksudkan juga untuk mendukung negara dalam mencapai target tersebut,” ujarnya.
Dia menjelaskan, IPOP akan dilaksanakan melalui kolaborasi para pihak khususnya pemerintah, di mana komitmen termasuk konsep HCS/HCV dan definisi deforestasi, masih membutuhkan diskusi antarberbagai pihak. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh tim manajemen IPOP. Manajemen IPOP berkonsultasi dengan pihak terkait dan bekerja sama dengan berbagai mitra untuk dapat menemukan solusi dan pelaksanaan yang seimbang antara lingkungan, masyarakat dan pembangunan dengan didukung analisa ilmiah yang kokoh.
IPOP juga akan bekerja sama dengan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) agar dapat mengetahui lebih dalam permasalahan para petani sawit dan bersama-sama dengan mitra lainnya mencari solusi yang terbaik untuk mereka.
Nurdiana mengklaim, SPKS mengakui bahwa kehadiran IPOP adalah inisiatif revolusioner yang ditunggu-tunggu karena dapat membangun skema yang adil antara petani dan perusahaan serta memberi akses lebih luas terhadap pasar. Selain itu, akan terbuka kesempatan peningkatan kapasitas petani dalam membudidayakan sawit. “Lebih jauh lagi, hubungan simbiosis antara perusahaan dan petani juga dipercaya dapat meminimalisir konflik sosial dan menghormati hak-hak buruh perkebunan,” katanya.
Nurdiana menuturkan, pelaksanaan IPOP akan dilakukan secara bertahap dengan harapan bahwa para perusahaan anggota memiliki waktu untuk berinteraksi dan membantu perusahaan lain di luar IPOP untuk mencapai standar keberlanjutan yang sama. Perlakuan dengan petani juga khusus, di mana IPOP dan mitra harus bekerjasama untuk memastikan manfaat dari pelaksanaan ini. Harapannya, berbagai modalitas ini akan dapat digunakan untuk memperkuat ISPO sebagai sertifikasi resmi Indonesia.
Greenwashing
Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi memperingatkan IPOP jangan sekadar menjadi greewashing bagi raksasa-raksasa sawit. “Dengan kata-kata yang indah, mereka mengklaim pasokannya sudah bebas deforestasi,” kata vanda.
Faktanya, banyak perusahaan pemasok dan anak usaha dari grup perusahaan IPOP yang melanggar janji yang dibuat. Setidaknya 9 perusahaan yang berhasil diungkap Greenomics ternyata terus membabat hutan alam di konsesinya, dan baru dihentikan begitu Greenomics mengungkapkan ke publik.
Vanda menyatakan, Greenomics mencoba mengambik peran pemantauan di tingkat lapangan tentang bagaimana IPOP diimplementasikan. Dia memandang, kelemahan IPOP saat ini adalah tidak adanya pemantauan yang baik.
Menurut Vanda, seluruh hasil pemantauan Greenomics dipresentasikan ke pemerintah, perusahaan yang menandatangani IPOP dan GAPKI sebagai bahan masukan. Greenomics juga mempublikasikan laporan-laporan hasil monitoring utk meminta IPOP meng-address temuan lapangan tsb guna dicarikan solusi menurut versi IPOP. “Sayangnya, dari kasus yg kami ekspos, hingga sekarang belum ada solusi IPOP yg jelas dan konkrit,” cetus vanda. Sugiharto
Pemerintah Tidak Bisa Paksa Swasta Langgar Janji
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan, Indonesia memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur berbagai aspek di tanah air termasuk lingkungan hidup.
“Saya sangat mendukung kalau kita harus menjaga lingkungan hidup kita. Tapi soal caranya, biarkan kita yang menentukan,” kata Hikmahanto saat diskusi “IPOP dalam Perspektif Lingkungan Hidup dan Kehutanan” di Jakarta, Jumat (28/8/2015).
Soal kelapa sawit, misalnya, Indonesiatelah memiliki ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sebagai standar untuk pengelolaan perkebunan berkelanjutan. Jika memang ISPO bisa diterapkan secara tepat, maka seharusnya Indonesa tidak perlu takut menghadapi tekanan asing. Berbekal ISPO, kata dia, pemerintah dan pelaku usaha bisa bersama-sama memberi penjelasan kepada mereka yang mengkampanyekan pengelolaan kebu sawit di Indonesia buruk.
Terkait adanya IPOP, Hikmahanto menilai itu adalah janji yang dibuat sendiri oleh perusahaan yang menekennya. Walaupun hal itu dilatar-belakangi adanya tekanan pasar, pemerintah dinilai tidak bisa memaksa perusahaan yang meneken IPOP untuk melanggar janji tersebut. Apalagi secara legalitas, mereka telah memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.
“Pemerintah tak bisa memaksa mereka untuk menurunkan standar yang dibuat janji tersebut karena malah akan menjadi bulan-bulanan,” katanya.
Meski demikian, karena janji tersebut terkait dengan hajat hidup orang banyak, maka pemerintah bisa mengambil langkah strategis. “Untuk itu, perlu dilakukan asessment seperti seberapa besar pasar yang menekan tersebut terhadap pangsa produk sawit Indonesia. Jika kecil, kita bisa saja fokus ke pasar yang lebih besar yang tidak menekan,” katanya.
Langkah strategis lain adalah melalui KADIN melakukan renegosiasi dengan pasar yang menekan agar mau memahami bahwa kondisi di Indonesia banyak perkebunan terutama skala rakyat yang belum bisa memenuhi standar ala oleh para penandatangan IPOP. “Mungkin bisa dibuat semacam time frame sehingga semua bisa comply,” katanya. Sugiharto