Sawit Rakyat di Hutan Bebas Pidana

Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) akhirnya melepas beban berat yang selama ini menggayuti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pasalnya, KLHK tak perlu menyeret rakyat ke penjara, yang selama ini telanjur berkebun sawit di kawasan hutan. Berbeda dengan korporasi, pelaku tetap terancam pidana serta pencabutan izin usaha.

Perkebunan sawit rakyat boleh bertepuk tangan dengan keputusan pemerintah dan DPR melahirkan UU Cipta Kerja (UUCK), yang sarat penentangan, terutama dari kaum buruh. Pasalnya, nasib kebun mereka — yang selama ini terkatung-katung tidak memiliki izin sah karena berada di kawasan hutan — bisa “diputihkan” lewat UU ini. Asalkan mereka sudah tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun terus-menerus, tindakan mereka hanya kena sanksi administratif. Selain itu, luasan kebun maksimal 5 hektare (ha).

Tak ada lagi sanksi pidana sesuai UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Inilah yang disebut Menteri LHK Siti Nurbaya sebagai keadilan restoratif (restorative justice) yang berpihak kepada masyarakat. “Jadi, tidak apa apa (main) langsung pidana. Masyarakat kini tidak mudah dikriminalisasi,” kata Siti jumpa pers virtual tentang UUCK, Rabu (7/10/2020).

Namun, perlakuan berbeda diterapkan untuk korporasi. Jika kebun rakyat di hutan bebas dari sanksi pidana berdasarkan pasal 17A, maka jika kebun sawit dibangun korporasi atau badan hukum, selain sanksi pidana, juga terkena sanksi administratif. Berdasarkan pasal 18, sanksi administratif berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif sampai pencabutan izin.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian — yang diperoleh dari KLHK sebagai bagian dari implementasi Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit — ada 3,37 juta ha kebun sawit yang ada di kawasan hutan. Luas kebun sawit rakyat, berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK tahun 2018, tercatat 272.469 ha, yakni seluas 119.537 ha di hutan konservasi dan 152.932 ha di hutan lindung.

Hilangnya sanksi pidana ini dinilai kontroversial oleh guru besar Fakultas Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo. “Ini pro-kontra karena hilangnya sanksi pidana,” katanya, saat diskusi daring FahutanTalks IPB, Kamis (15/10/2020).

Yang jadi soal, bagaimana kebun rakyat dengan luas di atas 5 ha? “Kalau beda 1-2 ha dari 5 ha, penyelesaiannya bagaimana?” katanya. Apalagi, faktanya, banyak kebun tanpa izin yang dikelola perseorangan yang luasnya lebih dari 5 ha. Bahkan, luasnya bisa puluhan hingga ratusan hektare. Menurut dia, jika mengacu pada UUCK, kebun pada kategori ini dikenakan pendekatan penegakan hukum karena tidak disediakan solusi administrasi maupun penataan kawasan hutan. AI

Baca juga:

Ketika Hukum Membedakan Rakyat
Bagaimana Jika Kebun Rakyat 5 Ha Lebih?
Agro Indonesia, Edisi No. 779 (20-26 Oktober 2020)