Di tengah peringatan Presiden Joko Widodo kepada para menteri kabinetnya untuk fokus dan mengoptimalkan serapan anggaran negara (APBN) tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) justru menghadapi persoalan organisasi dan berpotensi jadi masalah hukum terkait penggunaan anggaran. Ratusan unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tidak jelas statusnya dan tak memiliki landasan hukum untuk menggunakan keuangan negara melalui APBN.
Ini memang kabar mengejutkan. Pasalnya, sejak awal Juli 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya secara serentak telah melantik puluhan pejabat eselon III, yang diikuti pelantikan ratusan pejabat eselon IV oleh masing-masing pejabat eselon I LHK. Namun, pelantikan itu nyatanya masih menyisakan masalah, karena ratusan pejabat unit pelaksana teknis (UPT) LHK di daerah malah tidak tersentuh.
Kondisi ini tidak sederhana, mengingat keberadaan UPT sangat vital dan merupakan pengguna anggaran terbesar kementerian LHK, sekitar 60%-70%. Maklum, sebelum dilebur menjadi Kenterian LHK, Kemenhut punya 189 UPT. Itu sebabnya, Inspektorat Jenderal (Itjen) LHK pun mengingatkan Menteri Siti, lewat telaahan status UPT di lingkup Kementerian LHK, terkait keberadaan dan implikasi penggunaan anggaran UPT tersebut.
Dari telaahan Itjen yang diperoleh AgroIndonesia, keberadaan seluruh UPT lingkup LHK dianggap tidak ada dengan keluarnya Permen LHK No. P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian LHK. Pasalnya, status UPT itu tidak dicantumkan atau dijelaskan dalam ketentuan peralihan terkait status UPT yang ada. Nah, dari sini implikasi paling serius muncul, yakni penggunaan keuangan negara melalui APBN. “Hal ini mengakibatkan seluruh kegiatan dan program yang dilaksanakan UPT tersebut melalui APBN yang ada tidak memiliki dasar hukum atau payung hukum,” demikian tulis telaahan yang ditembuskan ke seluruh eselon I KLHK dan ditandatangani Irjen Imam Hendargo Abu Ismoyo.
Pengamat hukum Dr Sadino menilai, kondisi ini berbahaya karena bisa menimbulkan implikasi hukum serius jika terjadi pencairan dana APBN, terutama buat kepala UPT. “Jika keberadaan UPT tidak ada aturannya tapi bisa mencairkan anggaran, berarti akan ada temuan dari BPK. Temuan ini jika ditelusuri ternyata ada perbuatan melawan hukum, misalnya dengan modus memalsukan dokumen, seperti membuat kop surat atau stempel baru yang tak ada dasar hukumnya, untuk bisa mencairkan anggaran, maka bisa dibidik dengan pasal korupsi karena ini melibatkan uang negara,” ujar Sadino.
Namun, Menteri Siti Nurbaya ternyata optimis tak ada masalah dengan keberadaan UPT eks Kemenhut. “Nggak ada masalah, dalam Perpres ada yang mengatur UPT tetap bisa berjalan,” kata Siti di Jakarta, Rabu (19/8/2015). Begitu pula dengan penggunaan anggaran. Tidak ada masalah. Semoga saja. Meski menurut Sadino, Perpres tidak bisa jadi landasan hukum untuk mengatur anggaran. AI